Oleh: Imam Ocean
“Aku yakin nama aslinya bukan Franky”
Baru kali pertama ini aku membuat janji dengan seseorang lewat chatting. Dan aku sepenuhnya tidak yakin, apakah janji itu harus ditepati atau tidak. Mengingat Franky tidak mau menunjukkan gambar foto dirinya. Tidak ada alasan mengapa dia tidak mau memberikan. Dia hanya bilang, “Aku gak punya.” Tetapi dia menegaskan, bahwa profil dirinya tidak terlalu mengecewakan. Entah punya atau tidak punya, yang pasti aku sudah terlanjur berjanji menemuinya. Dan lagipula, aku tidak begitu mempermasalahkan atas ketiadaan penggambaran wajahnya. Padahal itu faktor utama. Bisa jadi ini semua karena aku sedang di puncak pelampiasan hasrat. Dan anehnya tak ada syarat wajah harus memikat. Yang penting aku bisa merasakan nikmat. Entah si Franky. Yang ada dipikirannya hanya uang, uang dan uang. Setiap kali mengetik tulisan, yang muncul selalu, Aku gak punya uang… Aku minta bayaran!
Memangnya aku ini bapaknya?
Aku juga butuh uang. Pengangguran kelas kakap sepertiku ini malah lebih butuh uang daripada dia. Paling-paling Franky hanya butuh uang untuk membeli Topi Miring atau paling tidak sebotol Whisky. Kalau aku, tarif setara mempekerjakan jasa pria panggilan—murahan sekalipun, lebih baik tidak. Masih banyak pilihan seks kilat yang tak berbayar—Alias gratis. Kalau hanya uang rokok dan makan di warteg, aku masih bisa menyediakan. Tetapi apakah semua akan berjalan baik-baik saja? Bagaimana kalau nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan? Kalau-kalau ternyata Franky hanya keren di nama. Tetapi kalau dia memang benar-benar keren, siapa yang untung? Padahal nomer ponselnya sudah aku kantongi. Kita sama-sama menggunakan provider termurah.
Ketemuan atau tidak ya?
—–
Sudah seminggu. Aku baru sadar kalau tujuh hari yang lalu aku telah memutuskan untuk membatalkan acara pertemuanku dengan Franky. Semuanya luntur bersama hilangnya keinginanku untuk merasakan betapa nikmatnya berhubungan badan dengan pejantan. Aku harus fokus untuk mencari pekerjaan. Bagaimanapun juga, aku sudah terlalu lama menjadi pengangguran. Terhitung sudah setengah tahun aku tak bekerja. Hanya merintis bisnis isi ulang pulsa hp kecil-kecilan. Tak cukup buat modal masa depan. Status S1 tampaknya hanya pajangan. Betapa dulunya Bapak dan Ibu selalu membangga-banggakan. Alangkah hebatnya aku setelah menyandang gelar itu. Bapak hanya lulusan SMA terbuka yang dengan keberuntungannya mampu membuka lahan wiraswasta yang tak disangka-sangka menjadikan dia jaya. Aku salut pada dia atas usaha kerasnya. Sementara ibu, hanyalah wanita rumah tangga seperti pada umumnya. Tak ada bedanya. Maklum saja, kata bapak, “Ibumu itu tidak tahu apa-apa… dia itu wong ndeso,” benar sekali. Ibu hanyalah orang kampung yang tidak tamat SMP. Dipaksakan berhenti sekolah gara-gara kurang ada biaya. Beruntung saja ibu ayu parasnya, entah bagaimana nasibnya kalau wajahnya tak secantik itu. Bisa jadi dia sudah ada di Arab Saudi menjadi tenaga kerja wanita yang sukses atau malahan stress karena gajinya tidak beres.
Sebuah informasi selentingan. Katanya ada yang membuka lowongan pekerjaan. semacam perusahaan yang bergerak di bidang pergudangan. Sayangnya aku awam. Tak pernah tahu apa itu pergudangan. Apakah sejenis pekerjaan yang kerjanya hanya menunggu di gudang? Atau sekedar mendata barang yang tersimpan. Tidak masalah. Aku harus mencobanya. Yang menjadi masalah justru Wawan. Adikku, lulusan STM tahun ini yang juga sedang gencar-gencarnya menebar surat lamaran pekerjaan. Mau tidak mau, kami berdua berbagi peruntungan. Siapakah yang akan bernasib baik pada akhirnya. Aku atau dia? Mengingat umurku yang seminggu lagi genap seperempat abad lebih dua belas bulan.
Seharusnya aku bukan?
Sedang asyik membuat surat lamaran di dalam kamar peraduan, mendadak hape-ku berbunyi. Muncul nama Franky di layar. Spontan langsung membuat konsentrasiku buyar. Aku bingung. Seketika itu juga aku canggung. Namun akhirnya rasa penasaranku juga lah yang akhirnya membuat jemariku ini menekan tombol OK dan mengucapkan halo.
“Apa kabar Bram?”
“Baik,” jawabku singkat dengan nada menahan gagap.
“Sibuk opo sekarang?”
“Lagi sibuk bikin surat lamaran,”
“Emangnya mau ngelamar siapa?…”
“Ada deh!”
“Bram, Ketemuan yuk—aku tuh penasaran banget sama dirimu”
“Ah masak?” aku mencoba untuk tidak mempercayai ucapannya.
“Jangan-jangan kamu gak suka sama aku ya? Pantesan minggu kemaren gak mau ketemuan!”
“Enggak lah… Kemaren aku ada tes panggilan kerja,” aku mencoba membuat alasan.
“Ooh… Kalau begitu bisa dong hari ini kita ketemuan?”
“Bisa aja—tapi jujur, aku sedang gak pegang uang sama sekali… Ada pun cuma bisa dibelikan gorengan bakwan”
“Ah—gak usah kuwatir… nanti aku yang traktir—aku tujuannya cuma ingin ketemu kamu tok!”
“Aduh… jadi tersanjung nih,” melayang aku dibuai oleh kata-katanya.
“Bukannya begitu… yang namanya umur—siapa tahu, besok aku atau kamu dipanggil sama sing nggawe urip!”
“Iya… betul“
“makanya itu, dari pada ada penyesalan di kemudian hari—kamu mau kan ketemuan?”
Tanpa babibu, aku mengiyakan pertanyaan terakhirnya. Dan setelah itu kami janji ketemuan di Pom bensin sebelah mini market depan rel kereta mati. Hilang sudah semangat yang tadi sempat ada untuk mencari kerja. Kini tertutup semua oleh nafsu membara atas ulah Franky. Lelaki Bujang yang katanya sebentar lagi akan melepas masa lajang. Masih ingat saat chatting minggu kemarin, dia butuh uang untuk membayar cicilan kredit sepeda motor bebeknya. Ditambah lagi permintaan sang calon istri yang ingin dilamar dengan mahar uang senilai lima puluh dollar. Profesinya sebagai pekerja serabutan tak bisa menjamin semuanya bisa dia atasi. Itulah mengapa dia butuh uang. Tetapi itu semua urusannya. Aku tak ada sangkut paut dengan kehidupan pribadinya. Kami berdua hanya manusia yang mencoba mencari senang, tanpa uang tanpa penghalang. Dan pastinya tidak ada yang bakal dirugikan. Harapku.
—–
Aku berada di dalam sebuah rumah besar. Franky menyebutnya mess. Dia membawaku ke tempat yang ternyata bukan tempat di mana dia tinggal. Dia bilang, tempat yang aku singgahi ini adalah milik teman-temannya yang kebetulan kosong ditinggal bekerja semua. Hanya ada aku, dia dan temannya, Manto. Franky mengenalkan Manto sebagai sahabatnya. Entah kenapa aku melihat Manto seperti melihat perasaan yang janggal. Seperti ada yang ia sembunyikan. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari pribadi seorang Manto. Aku dan Manto hanya sempat ngobrol satu menit. Selebihnya dia meninggalkan aku dan Franky berdua. Dan seketika itu pula aku langsung grogi. Beruntung sikap Franky begitu ramah. Ternyata raut muka yang dimilikinya tidak begitu menyakitkan kedua mataku. Badannya juga bagus. Itulah alasanku kenapa bersedia diajaknya ke tempat ini.
“ke kamar yuk!” sembari Franky menyeret tanganku.
—–
Di dalam kamar hanya ada ranjang tanpa seprei. Franky ternyata sengaja memilih kamar itu untuk alasan tertentu. Jelasnya, dia tidak mau bilang padaku. Sambil membersihkan debu di ranjang, dia membuka obrolan. Membahas ulang, tema percakapan sewaktu chatting lewat internet kemarin. Sambil ngobrol, kami duduk bersebelahan di atas ranjang. Hanya saja, dia terlihat sibuk ber-SMS-an dengan seseorang.
“SMS dari pacarnya ya?” protesku, karena dia tidak menatapku saat diriku menjelaskan mengapa aku masih muat memakai kaos olahraga sekolahku dulu yang kini kukenakan. Lantas dia kelabakan. Dan meminta maaf, “temanku sedang tanya alamat, gak enak kalo gak dijawab langsung,” tegasnya. Aku bisa mengerti. Mungkin aku juga begitu kalau dapat SMS dari keluarga atau teman. Mendadak Franky bertanya kepadaku, ”Wes terangsang ta?” dan spontanitas aku mengangguk sesuai dengan perintah otak. Seluruh badanku langsung menghangat.
Sebentar lagi aku pasti akan membara.
Franky memulai aksi. Tanpa basa basi dia menyulut api. Dengan berani dia menelanjangi diri. Mempertontonkan lekuk tubuhnya yang indah bak pahatan sang dewa seni. Perlahan aku menyentuhnya. Namun cepat sekali api itu menjalar di ragaku. Aku terbakar—dan…
Selamat datang di dunia imajinasi, pusatnya kreatifitas tanpa batas.
—–
Aku pulang.
Tubuhku pucat dan hanya bisa diam. Dikerumuni sanak kerabat dan beberapa teman sepermainan. Aku terpaku di keranda mayat. Dengan raga terbungkus kafan, aku siap diarak. Dengan tudung kain berwarna hijau daun bertuliskan huruf arab yang kalau diartikan—manusia pasti akan kembali kepadaNya. Dihiasi bunga melati yang wanginya bisa membuat bulu kuduk berdiri bila dicium malam hari. Wawan tidak menangis. Karena dia optimis kalau aku masih dalam golongan orang yang agamis. Namun, seketika itu juga Wawan menangis karena dia pesimis, bahwa kakaknya meninggal dunia dengan cara yang teramat sadis. Wawan pernah cerita, guru ngajinya pernah berkata, seseorang masuk surga atau neraka itu bisa dilihat dari cara meninggalnya. Sesuatu yang disebut Khusnul Khotimah.
—–
Penetrasi yang sejatinya baru kali ini aku alami langsung terhenti. Franky menciptakan darah. Aku merintih kesakitan. Tolong hentikan. Aku memohon. Akan tetapi, bukan kata maaf yang kudengar. Hanya sebuah pelukan dari belakang yang memberi jawaban. Bersamaan itu juga, tiba-tiba Franky memiting sekaligus mencekik leherku. Dengan refleks aku langsung berontak dan meronta. Namun dia tak memberikan kesempatan. Aku gaduh. Kuat aku mencoba lepas dari cekikan yang mirip dijerat setan. Sayang sekali, Manto datang membantu Franky untuk mencekikku. Wajahku melebur bersama dinding kamar. Darahku menghiasinya merah. Tetap saja masih ada sisa nyawa yang menuntunku untuk tetap meronta. Tetapi dengan mantapnya, mereka berdua memukuli kepalaku hingga mulut berbusa.
Aku sudah tak layak bergerak. Sekedar untuk memastikan, dililitkannya sehelai kain sarung tenun ke leherku yang sudah tergeletak. Keduanya menarik kuat sarung tersebut ke atas sambil menginjak punggungku. Setelah terdengar suara tulang patah, mereka baru yakin kalau diriku sudah bisa dinyatakan tak bernyawa. Di kemas dalam kardus bekas kulkas, aku dibuang begitu saja pas di bawah jembatan tol.
Ternyata menurut polisi, nama aslinya memang benar-benar Franky…
Gresik, 10 Desember 2010