Search
Close this search box.

Diskusi Santai: Homoseksual, Migrasi dan Menara Eiffel

 

Happy Together adalah Sebuah film asal Hongkong yang disutradarai oleh Wong Kar-Wai pada tahun 1997. Film ini mengisahkan sepasang gay asal Hongkong, Ho Po-Wing dan Lai Yiu-Fai,  yang bermigrasi ke Argentina untuk memulai sesuatu yang baru. Namun sayang, setelah sampai di Argentina, hubungan mereka putus. Romantika mereka memang diwarnai drama putus-sambung, hingga akhirnya Fai bertekad untuk tidak mau lagi terjebak dalam berhubungan dengan Ho, Fai pun bersikeras untuk putus.

Ourvoice Indonesia sebagai organisasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender (LGBT) mengadakan pemutaran film “Happy Together” ini pada tanggal 8 september 2012 yang bertempat di kantor Ourvoice Indonesia, dilanjutkan dengan diskusi santai bertema “Migrasi Kelompak Homseksual.” Wisnu Adi, seorang mahasisiwa S3 di Universitas EHESS Perancis yang memang fokus melakukan penelitian bertemakan homoseksual, diundang sebagai pembicara. Wisnu menampilkan hasil penelitian yang dia lakukan di Perancis terkait dengan migrasi dan homoseksual. Penelitian yang dia lakukan menggunakan metode analisis kualitatif dan melibatkan empat puluh orang gay Indonesia yang bermigrasi ke Perancis.

Pemutaran Film "Happy Together"

 

Diskusi Santai bersama Wisnu Adi Reksodirdjo membahas tentang Homoseksual, Migrasi dan Perancis

Wisnu memaparkan bahwasannya migrasi merupakan dampak dari globalisasi, yang mana perpindahan barang, manusia atau pun jender diperbolehkan. Migrasi merupakan fenomena yang unik yang saling terkait. Jaman dulu hanya laki-laki saja yang bermigrasi, namun sekarang perempuan, gay, lesbian dan waria pun bermigrasi. Pada kasus LGBT ada dua jenis faktor yang membuat LGBT bermigrasi, yakni pull factor (faktor penarik) dan push factor (faktor penekan). Faktor penarik yakni LGBT terpesona dengan kesejahteraan negara yang dituju sehingga LGBT pun bermigrasi. Adapun faktor penekan yakni kelompok LGBT merasa tidak nyaman dan tidak aman di negara ia berasal terkait dengan seksualitasnya sehingga LGBT pun bermigrasi. Kebanyakan LGBT hanya bermodal nekat untuk sampai di negara tujuan.

 

Temuan penelitian Wisnu memperlihatkan bahwa, ada tiga alasan gay indonesia untuk bermigrasi ke Perancis, yang pertama adalah karena melanjutkan sekolah atau kerja, kedua karena orang tua bercerai, yang ketiga adalah karena patah hati. Lalu mengapa yang dipilih adalah Perancis dan bukan Belanda, mengingat Perancis adalah negara konservatif yang tidak membolehkan pernikahan sejenis, alasan yang unik pun dilontarkan oleh responden, yakni karena menara Eiffel, karena suasana kotanya romantis dan orang-orang Perancis pun  romantis. Di Perancis  mereka berjejaring dengan gay-gay Indonesia lain dan dengan pola itu mereka bertahan untuk tinggal di Perancis.  Kemudian ketika sudah mapan di Perancis, 3 responden memilih untuk tidak berkomunikasi lagi dengan orang tua mereka namun tetap berkomunikasi dengan kakak atau adik di tanah air sedangkan 37 responden menyatakan tetap berkomunikasi dengan orang tua mereka. Namun untuk relasi pertemanan, empat puluh responden kompak menyatakan tetap berkomunikasi dengan teman-teman mereka yang ada di tanah air. Memang hubungan pertemanan adalah cinta terhebat, teman adalah ekspresi tertinggi dari kerelaan.  Mungkin karena itulah empat puluh responden tetap berkomunikasi dengan teman mereka di tanah air. (tgh)