Search
Close this search box.

Jakarta.Ourvoice – Suasana ramai di Cafe Tjikini, Jakarta Pusat saat beberapa aktivis perempuan saling bersapa dan diskusi kecil sebelum acara belum dimulai. Hari itu, Jum’at (10/8/2012) diadakan diskusi publik  yang bertema “Politik seksual,bukan masalah orgasme belaka”.

Kegiatan diskusi ini dilaksanakan oleh komunitas “Bites”, sebuah komunitas yang diinisiasi oleh beberapa aktivis perempuan, seperti Tunggal, Firliana, Faiza Marzuki. Vivi, Chika, Agustine,Mariana dan beberapa aktivis lainnya.  Tunggal menjelaskan sedikit tentang Bites yang bertujuan untuk terus membangun wacana-wacana seksualitas dan feminis khususnya dikalangan aktivis. Adapun kegiatan yang Bites, seperti diskusi-diskusi fokus tentang seksualitas,politik dan feminis.

Selain itu, Bites sendiri  mendorong para perempuan dan kelompok Lesbian,Gay,Biseksual dan Transgender (LGBT) untuk dapat menulis secara kritis di media, jelas Tunggal.  Misalnya apa yang pernah di inisiasi oleh Firliana, salah satu pendiri Bites melakukan training singkat menulis opini agar dapat terbit di media mainstrem.  Alasan kegiatan menulis dilakukan, Firliana pernah melakukan riset “kecil” tentang penulis opini di koran “besar”  (Tempo dan Kompas). Tulisan itu umumnya didominasi oleh para laki-laki dan materi kajian masih sangat minim tentang feminis, querr teori maupun politik tubuh. Atas dasar itulah kelompok Bites mendorong para perempuan (khususnya aktivis) untuk menuliskan opini ke media mainstrem.  Hingga sekarang beberapa tulisan komunitas Bites beberapa diterbitkan oleh Koran Tempo, The Jakarta Globe dan The Jakarta Post.
Diskusi kali ini, sebagai narasumber Firliana Purwanti (penulis buku The “O” project), Julia Suryakusuma (penulis isu-isu seksualitas dan feminis) dan Agustine (Aktivis Lesbian), dengan moderator Faiza Marzuki (penulis naskah Theater Nyai Ontosoro).

Moderator membuka bahwa persoalan sex sering hanya dikaitkan dengan persoalan orgasme ataupun “ranjang” belaka. Padahal seksualitas menyangkut banyak hal,persoalannya sangat kompleks, ungkap Faiza. Misalnya ketika terjadi perang ataupun konflik, mengapa selalu tubuh perempuan yang mendapatkan serangan ataupun teror? Bisa dalam bentuk perkosaan maupun pelecehan seksual.  Bisa dilihat kasus Aceh maupun Papua. Selain itu masih ada lagi seksualitas yang begitu ditekan secara sistematis meyangkut orientasi seksual dan identitas gender khususnya bagi kelompok LGBT.

Firliana menegaskan kembali, tubuh perempuan memang jadi ajang perebutan ataupun penundukan bagi pihak yang bertikai sebagai simbol kemenangan. Misalnya kasus perkosaan tahun 98 yang dialami oleh para perempuan Tionghoa. Mengapa harus perempuan Tionghoa?

Julia Suryakesuma semakin mempertegas, berangkat dari bukunya yang berjudul Agama,Sex dan kekuasaan yang barus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, perkosaan yang dialami oleh perempuan Tionghoa, karena etnis ini dianggap oleh pihak yang melawan sistem kebijakan orde baru dekat dengan Soeharto (penguasa saat itu).  Publik ketika tidak itu langsung melawan si pelaku (baca Soeharto) maka pihak-pihak yang dianggap kroni-kroninya akan menjadi sasaran. Dan dalam konteks itu, etnis Tionghoa salah satu pihak yang dianggap kroni dan perempuan adalah kelompok yang paling lemah dalam etnis tersebut, maka simbol “penundukan” dengan cara melakukan perkosaan.  Model-model seperti banyak terjadi dimanapun.

Apa yang dialami oleh perempuan Tionghoa juga dialami para perempuan korban 65 terhadap perempuan anggota/yang dianggap anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Penyerangan atas tubuh dan stigma sebagai “iblis” terus dilekatkan pada para perempuan-perempuan saat itu (baca:Gerwani).  Pasca kasus 65 itulah menurut Julia, orde baru mengkontrol tubuh perempuan sedemikian rupa. Medianya melalui program PKK, Dharma Wanita ataupun Bhayangkari.  Dari lembaga yang terkecil (keluarga), orde baru melakukan kontrol bagaimana sebaiknya perempuan bersikap. Peran-peran perempuan itu secara sistematis ditempatkan di kasur,dapur dan sumur.  Belum lagi para perempuan dikontrol tubuhnya untuk mencegah ledakan penduduk dengan program-program keluarga berencana (KB) secara paksa.

Kekuasaan terhadap tubuh perempuan dari mulai negara sampai pasangan terus terjadi.  Misalnya Firliana, hasil penelitian  di Amerika, umumnya perempuan hanya 30 persen mengalami orgasme ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangannya, sedangkan laki-laki 70 persen.  Sulitnya perempuan mengalami orgasme ketika berhubungan intim dengan pasangannya, banyak dipengaruhi oleh faktor relasi.  Semakin relasi kuasa yang timpang antara perempuan dengan pasangan (misalnya suami) maka sangat dimungkinkan perempuan tidak mengalami orgasme.  Artinya para korban-korban kekerasan dalam rumah tangga kemungkinan besar tidak mengalami orgasme, yang semestinya itu menjadi hak setiap orang ketika melakukan hubungan seksual. Sehingga Firli menegaskan bahwa disinilah terlihat bahwa persoalan orgasme bukan persoalan yang tunggal tetapi ada persoalan pola relasi antara dua manusia, setara atau tidak.

Firliana menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada perempuan Tionghoa (98) dan Gerwani (65), inilah contoh cara penundukan melalui seksualitas perempuan.  Misalnya ketika ada dua kelompok yang berkonflik, maka cara yang paling efektif untuk menundukan atau mengalahkan dengan cara meyerang secara seksualitas perempuan dari kelompok lawan.  Dalam kontesk ini, perempuan sebagai simbol untuk melakukan penundukan. Dari itulah jelas sekali kalau kekuasaan identik dgan Sex,ungkap Julia.  Dia mencontohkan kembali soal hubungan sex dengan kekuasaan;  ketika ada seorang pejabat yang dianggp baik walau melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan tetapi akan dibiarkan oleh institusi. Tapi disisi lain ketika ada orang yang tidak disukai,maka seksualitas akan dijadikan alat untuk menyerang pihak tersebut.

Peserta yang hadir menambahkan,Mira diarsi, bahwa praktek stigma pada gerwani sebenarnya masih terus terjadi sampai sekarang.  Walau buku-buku counter tentang pengalaman Gerwani sudah banyak dituliskan.  Misalnya pada pada kasus Luna Maya dan Cut Tari, pihak Luna yang tetap dengan sikap tegas tidak menyatakan kepublik maka dianggap “liar atau banal”. Sedangkan sikap Cut Tari  yang nangis dan mengakui kesalahan perbuatannya. Publik punya pandangan lain antara Luna dan Tari. Masih banyak perempuan (baik aktivis) akan langsung “mundur” ketika apa yang dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dianggap sama dengan Gerwani.

Dari itu, sebenarnya partriarki (budaya yang mengunggulkan laki-laki) sangat takut pada seksualitas perempuan. Karena kecemasan laki-laki pada seksualitas perempuan maka kemudian dibangun sistem partriarki untuk melakukan kontrol terhadap tubuh perempuan secara sistematis sampai dilevel keluarga. Tentunya perangkat atau media yang digunakan partriarki bisa melalui agama, budaya maupun kebijakan negara, seperti UU Pornografi.

Agustine sendiri memaparkan bahwa persoalan kekuasaan atas tubuh perempuan juga dipengaruhi oleh pandangan heteronormativitas (pandangan bahwa heteroseksual yang paling baik).  Berangkat dari pengalaman Agustine di dalam keluarga, sebelum dirinya terbuka sebagai lesbian, orang tua dan keluarga sejak kecil mendidik sedemikian rupa untuk menjadi perempuan feminin dan menikah dengan laki-laki, jelas Agustine.

Sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga Agustine juga terjadi dibanyak keluarga.  Sejak kecil anak laki-laki dididik diharuskan jadi maskulin, berani sedangkan perempuan harus feminin.   Jadi, jika anda memiliki vagina, maka anda feminin dan harus berhubungan sex dengan laki-laki.  Begitu juga bagi manusia yang memiliki penis,  harus  maskulin dan menikah dengan perempuan. Ketika ada seorang berbeda dari sistem sosial yang diinginkan keluarga, masyarakat dan negara,maka kita akan mendapatkan diskriminasi dan kekerasan.  Pemahaman dan pola pendidikan seperti inilah awal penindasan terjadi bagi kelompok LGBT.

Meyangkut pola relasi kuasa juga masih terus terjadi dalam kelompok LGBT sendiri, misalnya kelompok gay masih dianggap lebih baik daripada lesbian. Top (yang menganal) lebih baik dengan bottom (yang dianal), bgitu juga dikalangan lesbian, Butch (maskulin) dianggap punya kuasa dibandingkan dengan femm (feminin).  Pola-pola relasi dalam kelompok LGBT sendiri masih sering “terjebak” pada pola relasi heteronormativitas, lebih untuk menguasai pihak lain yang dianggap lemah.

Menurut Julia, sampai sekarang tubuh perempuan masih terus diperebutkan,misalnya dalam UU Pornografi dan perebutan dalam wacana pandangan agama.  Kekuasaan atas nama Islam (politik Islam) biasanya akan menggunakan tubuh perempuan untuk pertarungannya.  Misalnya kasus wajib jilbab ataupun razia pakaian terhadap perempuan yang dilakukan di beberapa daerah.  Sehingga Julia mengingkatkan kepada kita semua, bahwa “Kedaulatan Rakyat adalah Kedaulatan Seksual”

Acara diskusi ditutup dengan buka bersama dan diharapkan akan ada diskusi lanjutan. Beberapa masukan dari para twitter yang mengkuti kul-twit mengusulkan; @nunutngombe, “mbok sekali kali jg dibahas kekerasan kpd laki2.. Hehe..”.  Tentu publik berharap kedepannya Bites dapat membuat diskusi tentang kekerasan yang dialami laki-laki dalam pusaran budaya partriarki. (Hartoyo)