Search
Close this search box.

Kemerdekaan dan Hak Ruang Sipil Ragam Gender dan Seksual

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Selamat Hari Kemerdekaan Republik indonesia ke-79!

Masih dalam nuansa semangat Agustusan, Perkumpulan Suara Kita mengadakan acara perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus 2024. Di tengah meriahnya perlombaan seru seperti lomba makan kerupuk, balap kelereng, dan balap balon, teman-teman yang hadir turut merefleksikan arti kemerdekaan dan hak ruang sipil untuk kelompok minoritas gender dan seksual di negeri ini.

Mochi, seorang queer yang juga merupakan anggota Suara Kita, adalah salah satu dari banyaknya peserta acara perayaan tersebut yang menyuarakan pendapatnya. Menurutnya, arti kemerdekaan adalah terbebasnya seseorang dari rasa beban dan kekhawatiran, apapun itu bentuknya.

“Merdeka itu bisa senang dan bahagia dengan menjalani kehidupan sebagai diri sendiri untuk hidup secara individu dan kelompok,” lanjut Mochi.

Hal tersebut selaras dengan pendapat Direktur Suara Kita, Bambang Prayudi, yang mengatakan bahwa kemerdekaan adalah bentuk perdamaian dengan jati diri setiap individu serta bentuk kebebasan dalam berekspresi di lingkungan sosial sebagai bagian dari kelompok minoritas gender dan seksual.

Akan tetapi, kemerdekaan tersebut masih merupakan tantangan besar di negara Indonesia yang masih belum menerima keberadaan minoritas gender dan seksual secara sosial maupun hukum. Beragam diskriminasi dan intimidasi yang teman-teman hadapi di lingkungan hidup maupun dunia maya semakin membesar, hingga semakin mempersempit  ruang kemerdekaan teman-teman yang kemudian berpengaruh pada kondisi hidupnya.

Sebagai contoh, Yudi saat ini memilih tinggal di hunian vertikal seperti apartemen sebagai bentuk perlindungan dirinya dari risiko-risiko yang akan muncul bila ia tinggal di sebuah kompleks yang frekuensi komunikasinya antar warga jauh lebih sering.

Yudi melanjutkan, “Bila kita sudah terbebas, kita bisa saja tinggal di kompleks umum dengan berbagai macam orang. Tapi, saya pribadi belum bisa karena masih ada belenggu-belenggu tersebut.”

Persiapan Dekorasi oleh Panitia

Menyempitnya hak ruang sipil
Menyempitnya ruang kemerdekaan untuk kelompok minoritas gender dan seksual pun mempengaruhi besarnya ruang sipil mereka. Hal ini dirasakan oleh teman-teman, termasuk Mochi yang merasa tidak mampu berekspresi di ruang publik menurut keinginan pribadi karena stigma dan diskriminasi oleh masyarakat umum.

“Misalkan ketika sedang jalan di luar, orang-orang cenderung jijik dan memandang vulgar bila melihat pasangan sesama jenis, sedangkan pasangan heteroseksual bisa menunjukkan rasa sayangnya di ruang publik,” ujar Mochi.

Kekhawatiran terhadap menyempitnya ruang sipil ini juga dirasakan oleh Yudi, yang berpendapat bahwa hal tersebut beriringan dengan membesarnya suara-suara yang mendukung intoleransi. Akibatnya, teman-teman minoritas gender dan seksual semakin sulit menyuarakan pendapat mereka secara aman dan bebas.

Yudi melanjutkan, “Suara Kita sendiri sudah jarang terlibat  dalam kegiatan-kegiatan di ruang publik sejak tahun 2016 karena rasa takut dan intimidasi.”

Meski begitu, Yudi berharap kelompok minoritas tetap berani menyuarakan suara mereka, meskipun di ruangan tertutup seperti dalam lingkungan pertemanan ataupun organisasi. Dalam hal ini, media sosial bisa membantu agar suara tersebut lebih bisa didengarkan oleh masyarakat di ruang publik.

Potret Kemeriahan Lomba Balap Balon

Harapan untuk mencapai kemerdekaan dan memiliki ruang sipil
Saat ini, Indonesia mengalami polemik subjektivitas dalam hal keterlibatan kelompok minoritas gender dan seksual pada ruang sipil. Contoh paling umum adalah pemberitaan misinformasi terkait kelompok minoritas gender dan seksual yang marak terjadi di masa pemilihan umum tanpa adanya ruang bagi teman-teman untuk memberikan opini mereka.

Selain itu, muncul ketakutan dari masyarakat yang tidak tahu lebih dekat tentang kelompok minoritas gender dan seksual yang diakibatkan oleh tidak adanya ruang bagi teman-teman untuk berdialog, sehingga masyarakat menutup ruang sipil tersebut dan semakin takut terhadap teman-teman. Pada akhirnya, hal ini membentuk lingkaran setan yang penuh akan diskriminasi dan kebencian bila tidak ada yang berubah.

Oleh karena itu, Mochi dan teman-teman minoritas gender dan seksual lainnya sangat berharap adanya perubahan besar, agar ruang sipil dapat lebih terbuka dan aman untuk mereka. 

Mochi pun berkata, “Paling tidak, beri kami kesempatan untuk bebas berekspresi, menyuarakan pendapat, dan menjadi diri sendiri.”

Kemudian, Yudi juga berharap bahwa negara mampu menyediakan kuota bagi kelompok minoritas gender dan seksual untuk bersuara di manapun, termasuk di ruang sosial, pendidikan, dan budaya. Mengingat betapa sulitnya mendapatkan ruang sipil tersebut, ia berharap teman-teman dapat merebut dan memperjuangkan ruang yang tersedia.

Hal ini berlaku bukan hanya di ruang sipil di dunia  nyata, namun juga di dunia maya ketika teman-teman menyuarakan pendapat dan/atau berekspresi menjadi diri sendiri di media sosial.

“Tetaplah bersuara di media sosial. Jangan takut atas ancaman-ancaman seperti RUU Penyiaran atau UU Pornografi; jadilah diri sendiri dan merdekalah,” lanjut Yudi.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.