Search
Close this search box.

Jangan Panggil Aku Bencong!

Waria adalah fakta dalam kehidupan kita sehari-hari. Mereka ada dan hidup di tengah-tengah kita. Mereka layaknya saya yang laki-laki atau pun anda yang perempuan. Berprilaku layaknya seorang manusia, ciptaan Tuhan. Ia juga memiliki hak hidup dan pekerjaan, memiliki hak untuk bergaul dan bersosialisi.

Diantara mereka yang memiliki kontribusi di masyarakat, seperti mengkoordinir kegiatan 17 Agustus seperti yang mengkoordinir acara ataupun yang menjadi MC-nya. Namun seringkali kita menganggap bahwa mereka datang dari dunia lain, datang dari planet nun jauh entah dimana.

 

Mereka adalah makhluk asing di tengah-tengah mayoritas masyarakat. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang minder untuk bergaul dengan masyarakat sekitar. Hal ini yang menjadikan mereka menjadi tambah asing. Sikap sebagian masyarakat dan sebagian waria memberikan pengaruh signifikan.

Saat saya berkunjung ke salah satu kantor LSM Waria di Bandung, saat itu saya sedang melakukan penelitian tentang Waria. Namun karena butuh kedekatan dengan mereka, saya tidak lantas langsung mewawancarai mereka. Tetapi ngobrol seputar kegiatan mereka.

Ketika saya menyebutkan kata ‘Bencong’ di hadapan banyak waria yang akan saya wawancarai, sontak saja salah seorang pimpinan LSM Waria yang aktif mengorganisasi dan memberikan penyadaran untuk hidup sehat di antara Waria Kota Bandung dan Jawa Barat, mengingatkan saya bahwa istilah bencong ini sebetulnya tidak pantas, istilah ‘Bencong’ bagi mereka merupakan penghinaan. Di kalangan waria sendiri istilah ‘bencong’ merupakan kata sindiran, karena kurang diterimanya mereka di masyarakat. Istilah ‘bencong’ yang sering dikatakan mereka diantara mereka sendiri merupakan istilah banyolan satir.

Pada faktanya mereka sangat terhina jika dikatakan bencong oleh di luar komunitas mereka. Bagi mereka istilah bencong merupakan istilah diskriminasi terhadap keberadaan mereka. Oleh karena itu dalam konteks keindonesiaan, mereka lebih pas jika dipanggil sebagai waria.

Bencong, seperti halnya yang sering ditampilkan dalam televise, lebih menekankan sisi olok-olok terhadap keberadaan mereka oleh masyarakat. Bencong menggambarkan sisi pandangan masyarakat yang tidak menerima keberadaan mereka. Waria dalam hal ini dianggapnya sebagai manusia jadi-jadian sebagaimana halnya seorang Bencong.

Bencong sendiri merupakan manusia jadi-jadian, dari lelaki menjadi keperempuan-perempuanan. Lihat saja di televise, jarang sekali jika ada waria beneran yang main sinetron yang diambil dari waria beneran, paling actor yang sudah jadi kemudian berperan sebagai waria, ialah yang disebut sebagai banci.

Sementara itu, Waria merupakan fakta yang tidak dibuat-buat, ia bukan manusia jadi-jadian. Ia ada bersama sang diri, bersamaan lahinya seorang berkelamin laki-laki ke dunia. Ia menyusup ke dalam jiwa sang anak tanpa mengumungkannya ke dunia, jangankan sang Ibu atau sang Ayah yang melahirkannya. Ia sendiri pun tak pernah tahu sampai usia balighnya. Hanya saja ia merasa aneh, bahwa di dalam dirinya ada sesuatu yang berbeda.

Oleh karena itulah saat akan mewawancarai seorang pengamen yang mengenakan pakaian perempuan (Bencong, laki-laki yang memakai pakaian perempuan) saya bertanya dulu, apakah ia seorang waria atau bukan? Ataukah ia seorang bencong?. Setelah dia meyakinkan bahwa dirinya waria, bukan manusia jadi-jadian seperti halnya para lelaki di televise yang hanya mengenakan pakaian perempuan lantas ia instan menjadi seorang bencong.

Waria relatif menetap, ia memerlukan proses yang cukup panjang. Seorang waria perlu adaptasi tentang kediriaanya yang berbeda dengan yang lainnya, baik dengan perempuan sediri ataupun dengan lelaki yang kelaminnya sama dengannya. Sementar seorang bencong tidak perlu adaptasi karena ia sesungguhnya laki-laki tulen!

Waria adalah manusia seperti kita, bukan makhluk jadi-jadian, jangan panggil mereka bencong! Apalagi jika kita merasa bahwa kita orang yang terhormat dan ingin dihormati, maka hormati juga hak-hak orang lain termasuk di dalamnya Waria yang hidup di tengah-tengah kita.

Penulis : Dudi Rustandi, Peneliti Masalah Waria di Bandung, Konsultan dan Penulis di Inhouse media, mengajar mata kuliah komunikasi salah dua PT tinggi Bandung, mengelola blog kroyokan. Beberapa tulisan dimuat di Harian Kompas, Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar, serta jurnal. Sapa sayah di www.dudir.in

sumber : sosbud.kompasiana.com