Search
Close this search box.

[Liputan] Jakarta Feminist buat Peta Perda Diskriminatif: Tinggal Scan, Terlihat Semua

Oleh: Wisesa Wirayuda*

 

SuaraKita.org – Jakarta Feminist (JakFem) meluncurkan fitur terbaru pada websitenya yakni Peta Perda Diskriminatif. Dalam acara peluncurannya 13 Maret 2024 di Jakarta tersebut, Yuri Eka Muktia mewakili JakFem berhasil merangkum setidaknya 178 peraturan daerah yang diskriminatif perempuan dan kelompok rentan. Data tersebut dihimpun dari 31 Provinsi di Indonesia dari total 38 provinsi yang ada.

Mengawali diskusi, Moderator Astried Permata mengatakan bahwa kita “kecolongan” di tingkat lokal. Ketika wacana perpolitikan di Indonesia sedang diramaikan dengan kontestasi pemilihan calon presiden dan wakil presiden, ternyata di tingkat lokal, perda diskriminatif terus berjamuran.

Menanggapi data di atas, Ayu Oktariani dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengatakan bahwa secara spesifik perda yang menyinggung soal Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS tidak ada, meski begitu tetap tercatat banyak di tingkat Peraturan Menteri.

Bila direfleksikan, hal tersebut juga terjadi pada kelompok Transgender di Indonesia yang kesulitan untuk melakukan claim BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK), yang mana mereka kesulitan untuk klaim karena peraturan mengharuskan adanya keluarga sedarah untuk claim asuransi tersebut. Secara judul pada peraturan memang tidak secara spesifik menyebutkan mengatur soal Transgender, namun pada praktiknya banyak peraturan yang justru memberatkan Transgender yang terputus atau dibuang dari keluarganya untuk claim BPJS TK.

Peta Perda Diskriminatif: Merah artinya memiliki perda diskriminatif lebih dari 10, ungu memiliki antara 1 hingga 10, sedangkan abu-abu artinya belum ditemukan adanya perda diskriminatif.
Peta Perda Diskriminatif: Merah artinya memiliki perda diskriminatif lebih dari 10, ungu memiliki antara 1 hingga 10, sedangkan abu-abu artinya belum ditemukan adanya perda diskriminatif.

Masih soal Transgender, Tamara Lois dari Sanggar Swara mengatakan bahwa Transpuan pekerja Seks pun ikut terkena dampak dari perda-perda diskriminatif, baik itu pekerja seks offline maupun online. Menambahkan soal Pekerja Seks, Ayu menjelaskan bahwa dibubarkannya lokalisasi juga berawal dari diterbitkannya perda tertentu.

Menurut Eka C. Tanlain dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tidak ada kasus soal diskriminasi yang masuk ke Komnas HAM, untuk itu mereka meminta bantuan lembaga-lembaga kemanusiaan di Indonesia untuk turut melaporkan kasus-kasus diskriminasi ke Komnas HAM.

Menambahkan, Veryanto Sitohang dari Komnas Perempuan mengatakan bahwa pihaknya hendak membuat Peta Diskriminatif serupa yang dibuat JakFem, namun hingga saat ini belum terselesaikan. Menurut catatan Komnas Perempuan, ada sekitar 441 peraturan daerah dan peraturan pemerintah pusat yang diskriminatif dan masih ada 305 yang berlaku hingga saat ini. Very mengatakan bahwa kita harus teliti dan cermat melihat peraturan-peraturan tersebut hingga ke bagian dalamnya.

Acara ditutup dengan penampilan dari Sakdiyah Ma’Ruf, seorang komika yang bercerita pengalamannya hidup dibalut dengan humor renyah namun tetap berisi menjelang berbuka puasa.

Selain memperkenalkan Peta Perda Diskriminatif, dalam acara ini JakFem juga memperkenalkan soal FemHub dan juga Feminist Bot yang juga menjadi fitur andalan website mereka. Peta Perda Diskriminatif yang dibuat oleh Jakarta Feminist bisa diakses di sini.

 

*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, Tempo Institute, dan Wahid Foundation.