Search
Close this search box.

[Opini] SDGs dan Indonesia Emas Harus Bebas Dari Kebijakan Diskriminasi

Oleh: Hartoyo*

Di sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Humanis, Rabu, 27 September 2023 di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, salah satu narasumber dari Bappenas RI menyampaikan soal capaian Indonesia untuk Sustainable Development Goals (SDGs).

Bapak Budi wakil Bappenas memaparkan mimpi Indonesia Emas di tahun 2045. Ada point-point penting bagaimana SDGs dan Indonesia Emas dapat tercapai, salah satunya soal program “inklusi”.

Sayangnya, konsep inklusi selalu terjebak pada persoalan “gender perempuan dan disabilitas” saja. Memang dari pengamatanku selama ini, ketika bicara inklusi selalu berkutat pada soal itu, baik yang diungkapkan oleh pemerintah maupun proyek donor yang diberikan pada LSM.

Mungkin karena alasan strategi dan komunikasi politik publik sehingga diskusi dan kegiatannya hanya berkutat pada seputar itu, gender perempuan dan disabilitas.

Sayang memang, semestinya kata “inklusi” dapat didalami dan dimaknai lebih jauh bukan sekedar teknis kehadiran perempuan dan disabilitas saja.

Semestinya inklusi dapat dipahami latar belakang dan filosofi dari inklusi itu sendiri. Tentunya berangkat dari pengalaman individu-individu yang paling termarginal dan tak punya suara.

Mereka itu siapa? Cara menentukannya “sederhana” sekali.

Indikatornya, semakin individu atau kelompok dipinggirkan secara sosial, ekonomi, budaya (termasuk agama) dan politik, maka mereka potensi menjadi kelompok yang harus didengar pengalamannya. Karena dipastikan mereka menjadi kelompok paling marginal.

Apakah Bappenas dan lembaga donor termasuk LSM mampu dan punya keinginan politik membongkar itu? Itu yang mesti direfleksikan bersama ketika menjalankan program inklusi.

Jika program inklusi hanya dibicarakan di permukaan saja, seolah-olah hanya urusan perempuan dan disabilitas, dampaknya akan terus lahir dan melanggengkan sistem politik, hukum dan sosial yang memarginalkan kelompok-kelompok yang paling marginal.

Bahkan pada kelompok perempuan sendiri, terutama perempuan yang marginal. Ingat, perempuan juga wajah dan identitasnya beragam.

Makanya tidak heran, sampai sekarang akan terus langgeng dan lahir kebijakan-kebijakan diskriminasi pada perempuan atas nama moral atau nilai-nilai agama.

Ironisnya tak ada program-program afirmatif untuk mengejar ketertinggalan individu atau kelompok yang mengalami peminggiran itu.

Dampak dari situasi itu apa? Target SDGs dan Indonesia Emas pada 2045 dipastikan tidak akan pernah tercapai.

Kita sebagai negara akan terus sibuk dan menghabiskan suberdaya untuk “mengurusi’ dampak kebijakan diskriminasi itu.

Misalnya adanya anggaran HIV dan penyakit seksual menular, anggaran an rehabilitasi sosial, anggaran operasi Satpol PP, anggaran makan para napi di tahanan, anggaran sidang dan penyidikan pelaku kriminal pada orang miskin, anggaran bantuan bansos dan jaminan sosial lainnya, dan segala bentuk anggaran dari dampak kebijakan diskriminasi.

Kami lembaga Perkumpulan Suara Kita, sedang membantu pengurusan Adminduk (KTP, KK), BPJS kesehatan, dan BPJS tenaga kerja bagi komunitas transpuan.

Kita tahu bahwa kelompok transpuan atau transgender salah satu kelompok yang mengalami peminggiran sistematis.

Maka kemiskinan atau situasi yang dialami transpuan sampai tidak punya akses Adminduk maupun Jamsos “hasil” dari proses diskriminasi yang terjadi selama ini.

Program ini kami kerja samakan dengan Dirjen Dukcapil Kemendagri RI, maupun BPJS Kesehatan dan BPJS TK.

Tujuannya sederhana sekali, agar para transpuan itu mendapatkan perlindungan jaminan sosial sehingga mengurangi persoalan sosial maupun ekonomi yang lebih besar.

Temuan dan pengalaman kami di Suara Kita, seharusnya dapat jadi satu masukan berarti ketika pemerintah merencanakan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang termarginal.

Logikanya, jika kelompok yang termarginal mampu “tertangkap” aspirasinya dalam proses pembangunan maka akan lebih mudah menjawab masalah masyarakat yang umum lainnya.

Tentu apa yang kami lakukan di Suara Kita bukan persoalan transgender semata, ini hanya satu cara melihat dan menjawab persoalan satu kelompok marginal.

Karena refleksi kami, apa yang dialami kelompok transgender ternyata “mirip” dialami kelompok marginal lainnya. Misalnya soal jaminan sosial, terutama BPJS Tenaga kerja masih banyak tidak dimiliki oleh masyarakat miskin ekstrem.

Mereka bisa kelompok HIV miskin, kelompok miskin di daerah pedalaman, kelompok miskin kota, masyarakat adat, kelompok miskin di dunia prostitusi, kelompok korban narkoba, anak korban perkawinan anak, anak korban perkosaan, kelompok masyarakat agama-agama lokal, dan kelompok marginal lainnya.

Tentu masing-masing kelompok punya kekhasan karena “kemarginalan” yang tidak persis sama.

Tapi mendengarkan, memperhatikan, memasukkan pengalaman kelompok tersebut menjadi sangat penting untuk “menyempurnakan” rancangan kebijakan yang berbasis dari data kelompok yang tereksklusi. Sehingga konsep inklusi yang disuarakan bisa benar-benar inklusi, bukan hanya slogan politik belaka.

Kalau persoalan inklusi mampu dibongkar dengan benar dan pengalaman kelompok paling termarginal itu dapat didengar dan dirumuskan dalam kebijakan sampai di tingkat desa, maka dapat dipastikan capaian SDGs maupun Indonesia Emas 2045 akan tercapai.

Akhirnya uang negara tidak habis untuk hal yang “sia-sia” yang sebenarnya bisa dicegah atau dialokasikan ke hal yang penting, misalnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Kalau setiap warga punya kualitas baik, maka akan maksimal berkontribusi dalam pembangunan. Karena setiap warga mampu berkarya, tanpa hambatan diskriminasi. Akhirnya memiliki kemampuan membayar pajak sebagai kas negara.

Sehingga kami dari LSM Suara Kita tidak perlu lagi repot-repot mengumpulkan uang dan sumber daya manusia untuk membantu para transgender miskin di Indonesia untuk dapat akses KTP, maupun jaminan sosial.

Karena setiap transgender sudah bisa berdaya untuk dirinya sendiri, tanpa ada hambatan diskriminasi untuk berkarya. Begitu juga kelompok-kelompok marginal lainnya.

Aku percaya dan yakin, setiap dari kita yang begitu cinta pada negeri ini merindukan situasi itu. Indonesia Emas!

*Penulis adalah Anggota sekaligus Pendiri Perkumpulan Suara Kita. Penulis juga adalah Koordinator Pendampingan Adminduk dan Jaminan Sosial Bagi Transgender di Indonesia.