Search
Close this search box.

Kaffah Di Satu Abad NU

SuaraKita.org – Dalam perjalanan personal ku, aku merasa ada tiga babak pengalaman spritualitas ku.

Babak Pertama; 

Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam kultur keluarga dengan doktrin Muhammadiyah. Minimal sampai kuliah doktrin itu diajarkan pada pengalaman hidup ku. 

Sisa-sisa jejak pendidikan Muhammadiyah yang mengakar di pikiranku, sulitnya aku bisa makan dengan nyaman di acara-acara pemakaman atau doa untuk meninggal. Melakukan ritual-ritual doa di kuburan. Sampai sekarang sangat asing buat kulakukan.

Makanya saat mulai kuliah di Aceh, kemudian pergi ke beberapa wilayah di Indonesia saat ikuti Sholat berjamaah, sering “bingung” ketika pasca sholat ada doa-doa yang sama sekali tidak pernah aku dapat saat sholat di masjid Muhammadiyah di kampung halamanku. 

Makanya pernah jadi pemilih “hardcore” Partai Amanat Nasional, dan pendukung Amien Rais saat mencalonkan diri jadi Capres.

Babak Kedua;

Pasca bergabung di dunia LSM tahun 2002, aku berkenalan sangat intensif kajian-kajian agama kritis dari tokoh-tokoh NU, terutama orang-orang muda NU. 

Komunitas Utan Kayu dan tulisan gank Islamlib dan P3M sumber pencerahan yang sangat besar pada perjalanan hidupku. Banyak sekali artikel-artikel tentang kajian Islam kritis aku kumpulkan dan baca melalui website. 

Makanya jangan heran, aku cukup kenal dan dekat dengan anak-anak muda NU terutama yang di Jakarta. Sejujurnya aku sangat menikmati dan kagum dengan “keberanian” anak-anak muda NU yang sangat berpikir luas. Menurutku idenya keluar dari kotak pada jamannya.  

Sejujurnya nyaris sangat sedikit, kalau boleh aku bilang “kecil” sekali perjumpaanku dengan pemikir kritis di kalangan Muhammadiyah. Yang aku ingat hanya pemikiran Prof.Munir Mulkhan, Zoly Qodir dan Syafiie Ma’arif. 

Aku lebih banyak mengenal pemikiran mereka pada tulisan-tulisannya, sangat sedikit sekali perjumpaan intensif ku secara mendalam dengan mereka. Emosional “Ke Muhammadiyahan” ku sama sekali tidak terhubung dengan pemikiran mereka.

Ini berbeda ketika perjumpaanku dengan pemikir kritis dari NU, bukan hanya mengenal dari tulisannya tetapi juga sangat intensif ikuti diskusi-diskusi kritis, terutama yang diadakan oleh komunitas Utan Kayu sampai Salihara. Secara emosional aku merasa dekat dan nyaman dengan anak-anak muda NU. 

Makanya dulu saat ada acara Kongkow Bareng bersama Gus Dur dipandu oleh Mohamad Guntur Romli setiap Sabtu pukul 10.00 pagi di Utan Kayu, selalu aku usahakan hadir. Karena ini acara yang penuh dengan pencerahan tentang keIslaman. 

Pemikiran kritis tentang Islam yang ditawarkan oleh orang muda NU, cukup mampu membuka “pintu Pandora” ku, mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan kritis ku, yang sejak kecil aku pertanyaan pada diri sendiri. Ditambah dengan pengalaman real seksualitas ku yang sangat personal, sering sekali terbentur dengan doktrin agama. 

Walau pemikiran orang-orang NU minimal yang aku kenal di awal-awal aku belajar dengan mereka tidak cukup berani atau tidak terbuka mendiskusikan isu-isu politik seksualitas, terutama LGBT.

Mungkin setelah 3 tahun an setelah aku cukup intensif mengikuti diskusi dengan mereka, baru topik-topik seksualitas khususnya LGBT mulai dibicarakan dalam forum yang lebih formal.

Aku sendiri mulai intensif mengikuti diskusi dengan orang muda NU, awal Januari 2007. Walau aku sudah membaca tulisan anak muda NU sejak tahun 2001an ketika saya masih di Bukit tinggi dan Medan dan Aceh pasca Tsunami 2004. 

Kalau boleh dilacak, sebelum tahun 2007, mungkin sangat jarang, tidak tahu apakah ada tulisan dari anak muda NU yang menulis isu LGBT dalam pandangan Islam yang lebih progresif?

Pengalamanku, aku belum pernah temukan tulisan tentang LGBT dan Islam dari kalangan anak muda NU sebelum tahun 2007. Jika ada yang pernah baca atau menulis, bisa bantu share tulisan tersebut. 

Kalaupun ada dugaanku sangat sedikit, dibandingkan tulisan LGBT dan Islam pasca tahun 2007. 

Babak Ketiga; 

Pengalaman keagamaan ku dengan pemikiran anak muda NU cukup memberikan banyak pencerahan pada hidupku secara personal.

Tapi, lama-lama mulai muncul “kejenuhan” pada pikiran ku sendiri. Aku mulai berpikir, konsep yang ditawarkan anak-anak muda NU dalam konteks pemikiran Islam, terutama untuk isu politik seksualitas berkutat disitu-disitu saja. Seperti tarian Poco-Poco, maju mundur cantik ! 

Kesimpulannya, tidak ada hal yang baru lagi yang ditawarkan. Sehingga makin lama, membuat ku sangat membosankan. Minimal itu yang kurasakan. 

Selalu itu dan itu lagi yang dibahas. Menurutku cara berpikirnya masih satu “frame”, sepertinya sulit sekali untuk keluar dari zona itu. Mungkin karena ada stigma dan serangan dari publik, bahkan di kalangan NU sendiri perihal isu LGBT dan Islam. 

Akhirnya diskusi-diskusi kritis kajian Islam dan politik seksualitas yang ada sampai sekarang, tidak lagi hal yang menarik buatku, dibanding 10 sampai 15 tahun yang lalu. 

Buatku, sekarang lebih menarik belajar politik seksualitas dikaji dalam konteks keilmuan “kontemporer”, seperti dalam kajian politik, filsafat, sosial, demokrasi, maupun HAM. 

Menurutku lebih jelas peluang dan tantangannya untuk diukur. Mungkin karena lebih rasional, berbasis data dan setiap orang punya kesempatan yang sama. Kuasa atas teks tidak hanya dimonopoli pada kelompok tertentu, berbeda dengan kajian teks atas Islam. 

Mungkin pemikiran atau sikap politik ku mendekati “kekafiran”:). Tapi kita lihat saja nanti, perjalanan proses hidupku selanjutnya. Apakah akan menjadi “Kafir Kaffah”, “Islam Kaffah”, perpaduan keduanya, atau tidak keduanya sama sekali 🙂 

Pemikiran manusia selalu dinamis, termasuk juga pengalaman dan pemikiran tentang nilai dan spiritualitas diri seseorang. 

#Selamat1AbadNU

Jakarta, 8 Februari 2023

Hartoyo, pendamping akses KTP dan Jamsos bagi komunitas Transgender di Indonesia