Search
Close this search box.

Membangun Solidaritas Lintas Sektor Dalam HAKTP 2022

 

SuaraKita.org – Perkumpulan Suara Kita dan organisasi lintas sektor mengikuti diskusi publik untuk memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) secara global (25/11) yang diselenggarakan Perempuan Mahardhika di Jakarta.

Dengan tema “Negara Menyebabkan Kemiskinan, Dalam Situasi Krisis Perempuan Memikul Beban Lebih Berat”, diskusi tersebut mengangkat situasi krisis yang dialami buruh atau pekerja perempuan dari industri padat karya.

Situasi tersebut adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada sektor industri tekstil dan sepatu akibat krisis ekonomi negara tujuan ekspor menurut Laporan Utama, Majalah Tempo (14/11).

Krisis yang terjadi pada tingkat global, menyumbang rendahnya permintaan pada industri nasional. Pandemi covid-19 dan perang di Eropa mengakibatkan perusahaan merumahkan buruh.

Sebelumnya, regulasi kebijakan Undang-Undang Ciptaker/Omnibus Law (2020) telah menguatkan keberpihakan negara pada kelompok pengusaha. Dan sebelumnya lagi ada Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2015 tentang pengupahan yang semakin menindas buruh atau pekerja.

Kemudian, perhelatan G20 di Indonesia dengan biaya yang sangat besar juga disorot dalam diskusi tersebut karena berlangsung di tengah ancaman resesi pada 2023 yang sebelumnya sangat ditekankan oleh pemerintah kepada rakyat.

Selanjutnya diskusi tersebut mengajak publik untuk melihat akar persoalan situasi krisis dari perspektif kelas dan feminis.

Menurut perspektif kelas, pertentangan antara buruh dan penguasa modal masih akan terus berlangsung sepanjang sejarah. Tanpa perjuangan politik maka buruh akan selalu ada dalam situasi kemiskinan struktural.

Publik juga diajak untuk melihat situasi kemiskinan struktural sebagai dampak dari terjadinya krisis multidimensional. Dimana krisis ekonomi, iklim dan energi yang kita alami selama ini merupakan krisis ekologi akibat penguasaan besar-besaran terhadap sumber daya alam (SDA). Dan krisis ekologi tidak pernah berdiri sendiri, tapi selalu diiringi dengan krisis pangan juga energi (air, listrik, batu bara dan lainnya).

Selain situasi pada buruh atau pekerja perempuan, pada diskusi tersebut juga disampaikan situasi kerentanan dan kekerasan yang dialami kelompok marginal. Terutama dari teman-teman transpuan yang kehilangan hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) khususnya hak untuk bekerja di sektor formal akibat stigma dan diskriminasi.

Meskipun pada sila ke-5 Pancasila berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tetapi transpuan mengalami pembatasan hak atas ekspresi mulai dari sektor pendidikan. Selain itu juga pada sektor kerja formal yang tidak mementingkan kualitas pekerja.

Di tengah situasi tersebut, ada upaya dari transpuan yang berdaya juang bagi haknya tanpa menunggu kehadiran dari pemerintah. Melalui gerakan penjangkauan untuk pembuatan E-KTP dan akses jaminan sosial, teman-teman transpuan telah memberikan inspirasi sebagai gerakan sosial.

Kemudian, pada penutup diskusi publik juga disampaikan pentingnya solidaritas lintas sektor untuk memperkuat pergerakan sosial. Terutama dalam mewujudkan situasi tanpa kekerasan dan penindasan bagi buruh atau pekerja perempuan dan kelompok marginal. (fio)