Search
Close this search box.

Dulu Dibantu Membuat KTP, Kini Septi Membantu Warga

SuaraKita.org – Namanya Septi, usia 43 tahun, begitu dia dipanggil oleh teman-teman transpuan di Jakarta.

Septi walau begitu percaya diri menyebut diri sebagai trans, tapi dia tidak berdandan seperti umumnya transpuan.

Septi lahir dan besar di Purwakarta, Jawa Barat. Pasca tamat SMA, Septi pergi dari rumah orang tua ke Jakarta karena alasan mencari identitas.

Kepergian Septi bersamaan saat reformasi terjadi di Indonesia, 1998.

Septi ingin mencari teman yang seperti dirinya di Jakarta. Jadi dia nekat pergi dari rumah, tanpa sepengetahuan orang tuanya, demikian ceritanya ketika ngobrol santai di satu cafe depan Polres Jakarta Pusat.

Septi pergi membawa KTP lama yang belum menggunakan sistem komputerisasi. Saat beberapa tahun menetap di Jakarta, terjadi perubahan sistem komputerisasi KTP. Sehingga KTP nya sudah tidak berlaku.

Setelah meninggalkan rumah selama empat tahun tanpa kabar, Septi akhirnya memutuskan pulang ke kampungnya lagi ke Purwakarta.

Keluarga tetap menerima Septi, karena keluarga tidak mengetahui kalau dirinya seorang trans. Itu juga yang menyebabkan Septi belum berani untuk dendong (dandan). “Kuatir orang tua marah,” katanya.

Walau hubungan Septi dan keluarga sudah baik, dia tetap tidak ada keinginan untuk memiliki KTP di Purwakarta karena dirinya memang ingin menetap di Jakarta.

“Aku tidak mau tinggal di kampung, pokoknya gak mau di kampung karena nanti tidak bisa bebas jadi diri sendiri,” Tegas Septi sambil tertawa. “Kalau di Jakarta kan bisa jadi diri sendiri.”

Sampai akhirnya ada kebutuhan mendesak Septi harus memiliki KTP.

Usaha mengurus KTP Septi lakukan, bekerjasama dengan pihak RT, RW sampai kelurahan. Tapi rupanya data atau NIK yang lama belum didaftarkan di Kabupaten Purwakarta, kampung halamannya, sehingga ketika dilacak tidak ada data dirinya.

Proses mengurus KTP sangat rumit, sampai akhirnya Septi memutuskan tidak akan meneruskan pembuatan KTP. Akhirnya Septi hidup di Jakarta hampir 22 tahun tanpa identitas.

Kemudian saat ada program Dirjen Dukcapil Kemendagri RI yang bekerjasama dengan komunitas untuk membantu pengurusan KTP bagi transpuan, Juni 2021, Septi adalah salah seorang pemohon pembuatan KTP, dengan kondisi warga tanpa NIK.

Singkat cerita cerita, Septi berhasil memiliki NIK, KTP, KK di Jakarta melalui program pengurusan KTP Transpuan tersebut.

Sejak saat itu, Septi sangat aktif membantu kawan transpuan yang lain di Jakarta Pusat yang tidak mempunyai KTP. Dari pintu ke pintu dia mencari kawan transpuan yang tidak memiliki KTP.

Komunikasi mulai intens Septi lakukan dengan Hartoyo, kemudian terhubung dengan pihak Dukcapil Jakarta Pusat.

Pelan tapi pasti, Septi mulai memahami alur pembuatan KTP dan mulai dikenal oleh petugas kelurahan sampai Dukcapil Jakarta Pusat.

Bahkan bukan hanya transpuan yang dia bantu, warga lain mulai meminta tolong ketika ada sesama warga yang kesulitan mengurus KTP.

Misalnya ada dua orang lansia yang tinggal di dekat kosnya, belum memiliki KTP, Septi membantu sampai KTP mereka tercetak.

Pokoknya, urusan dengan Dukcapil, Septi sangat lancar sentosa dan itu diakui oleh komunitas dan warga sekitarnya.

Karena Septi sangat aktif di lingkungannya, akhirnya Septi ditunjuk oleh warga menjadi pendamping warga untuk mendata bantuan sosial.

Sekarang, Septi bukan hanya mampu membantu mengurus KTP transpuan, tetapi dia juga aktif mendata warga miskin untuk dimasukkan dalam sistem DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) untuk menerima bantuan dari pemerintah.

Ketika Hartoyo bertanya kepada Septi, “apakah kamu mau membantu mendata transpuan untuk dimasukkan ke sistem DTKS?”

Septi dengan semangat langsung menjawab, “aku siap mas bantu mas, khususnya yang di Jakarta. Aku tahu caranya mas,” ungkapnya.

Akhirnya tercetus rencana “kecil”, uji coba mendata semua transpuan yang ada di Jakarta  Pusat  berdasarkan NIK/KK/KTP.

Semoga melalui pendataan itu, dapat dilakukan sebuah advokasi pada pemerintah untuk jaminan sosial bagi transpuan.

Selalu senang ketika mendengarkan cerita pengalaman komunitas transpuan yang di lapangan. Bagaimana mereka bertahan dan saling dukung satu sama lain untuk teman-temannya. (R.A.W)