Search
Close this search box.

Dapatkah Orientasi Seksual Berubah?

Oleh : Hartoyo*

SuaraKita.org – Judul dari tulisan ini, sering sekali menjadi pertanyaan dari banyak orang kepadaku. Mungkin pertanyaan itu “mewakili” kebingungan publik berkaitan isu seksualitas.

Apakah orientasi seksual seseorang bisa berubah? Dari homoseksual (sejenis) menjadi biseksual atau heteroseksual, atau sebaliknya dari heteroseksual menjadi homoseksual atau biseksual.

Penulis dalam hal ini, punya pandangan bahwa seksualitas (baik perilaku maupun orientasi seksual) sesuatu yang cair, dinamis. Tubuh manusia sebagai makhluk hidup sehingga sangat dinamis bergerak, itu yang membuat seksualitas juga sangat dinamis.

Basis logika pikir itu yang penulis pakai untuk menjelaskan mengapa seksualitas itu sesuatu yang cair. Dalam seksualitas ada aspek konstruksi sosial politik yang membangunnya sehingga terbentuk mana yang diyakini benar atau salah.

Sebenarnya dua kutub perubahan itu muaranya tetap satu, diharapkan semua orang menjadi heteroseksual. Itulah yang umumnya diinginkan publik di Indonesia.

Sebenarnya rasa kuatir, atau takut seorang heteroseksual akan menjadi homoseksual, menunjukkan sadar atau tidak sadar pada diri sendiri, bahwa seksualitas itu cair. Bahwa orientasi seksual dan perilaku seksual seseorang itu bisa berubah karena beragam faktor.

Jikapun orientasi seksual sulit atau tidak bisa berubah, minimal yang sangat mungkin ada perubahan bisa dimulai dengan perubahan perilaku seksual. Misalnya apa yang terjadi di penjara, atau perilaku mairil di komunitas pesantren.

Perilaku seksual sejenis yang terjadi di penjara dan pesantren, mungkin perubahan praktek seksualnya saja, kemudian perubahan perilaku seksual itu dapat mengubah orientasi seksual sesuai berjalannya waktu dan ada faktor pendukungnya.

Sederhananya jika perubahan perilaku seksual bisa dalam waktu pendek sedang perubahan orientasi seksual mengikuti konsep evolusi, lambat tapi pasti. Dalam pepatah Jawa, jika sering bertemu maka akan tumbuh cinta. Proses panjang itu yang bisa mengubah banyak hal pada kehidupan seksualitas manusia.

Maka, logika itu yang sangat dikuatirkan atau ditakuti oleh sebagian publik, terutama mereka yang sangat anti pada orientasi seksual manusia selain heteroseksual.

Pertanyaan mendasarnya, kenapa yang umumnya diubah dari homoseksual ke heteroseksual?

Apakah publik pernah melakukan keinginan perubahan dari heteroseksual menjadi homoseksual?

Disitu problem besar sosial politiknya !

Ini menunjukkan bahwa cara pikir publik masih menempatkan orientasi seksual heteroseksual sebagai yang “superior”,  benar atau normal. Selain itu salah, menyimpang, dan pendosa.

Karena cara berpikir dan yang diajarkan bahwa yang benar adalah heteroseksual, maka  wajar ada banyak individu LGBT merasa takut atas identitasnya sendiri.

Banyak individu LGBT di Indonesia meyakini menjadi homoseksual/biseksual, transgender sesuatu yang dosa. Beragam cara berusaha berubah dengan melakukan perkawinan secara heteroseksual.

Maka timbul problem psikologi diri sebagai LGBT yang mengalami ego distonik. Suatu gangguan psikologi menolak diri sendiri, benci atas identitasnya karena LGBT.

LGBT yang mengalami ego distonik pastinya lebih banyak dialami oleh mereka yang hidup secara sosial ditolak. Semakin dukungan sosial kuat, misalnya dukungan keluarga, maka ego distonik akan semakin kecil dialami oleh individu LGBT.

Individu yang alami ego distonik dapat mengalami kendala tumbuh kembang dan berkreasi karena ada tekanan publik maupun pada diri sendiri.

Dalam konteks seksualitas, mengapa ego distonik hanya dialami oleh komunitas LGBT?

Apakah ada seorang heteroseksual mengalami ego distonik? Bermasalah dan bingung kenapa dirinya menjadi heteroseksual, suka dengan lawan jenis?

Dari paparan itu, kita bisa mengurai bahwa masalah LGBT ada pada sesuatu yang dibentuk oleh eksternal.

Bagaimana lingkungan menanamkan informasi bahwa menjadi LGBT sesuatu yang salah.

Akibatnya secara sistematis disingkirkan baik oleh keluarga, masyarakat, politik, bahkan sampai dikriminalkan. Sehingga sangat wajar, ada banyak individu LGBT mengalami ego distonik.

Tapi apakah semua individu “menyerah” situasi yang sulit itu? Jawabnya, TIDAK!

Kita bisa lihat bagaimana komunitas transgender hidup dalam kemiskinan dan keterasingan untuk bisa menjadi diri sendiri, mereka menolak tunduk pada rezim heteronormatif.

Bahkan ketika ada upaya kriminalisasi diusulkan oleh partai PKS, LGBT dan kelompok pendukungnya tetap akan melawan.

Karena ini bukan semata-mata soal LGBT, ini masalah martabat dan peradaban manusia yang benar dan adil.

 

*Anggota Perkumpulan Suara Kita