Oleh: Hartoyo
SuaraKita.org – Saya tertarik mengamati medsos Manganan, atlet bola volley nasional yang baru-baru ini melakukan “penyesuaian” identitas jenis kelamin, dari perempuan ke laki-laki.
Tampilan Manganan sangat terlihat macho, sebagai seorang laki-laki.
Manganan salah satu anggota TNI angkatan Darat, bahkan sebelum dirinya melakukan penyesuaian jenis kelamin sudah menjadi anggota TNI.
Manganan secara simbol juga melakukan perubahan jenis pakaian seragam yang dipakainya. Dari menggunakan rok menjadi celana panjang.
Saya berpikir, jika Manganan melakukan penyesuaian jenis kelamin dari laki-laki ke perempuan, apakah Andhika (Panglima TNI yang banyak membantu Manganan dalam proses ini), tetap menerima Manganan sebagai anggota TNI ?
Disitu menarik untuk diuji, bagaimana negara melihat ekspresi dan identitas “maskulinitas dan femininitas” ditempatkan.
Sederhananya, simbol-simbol kelaki-lakian atau kemachoan akan jauh lebih bisa dianggap biasa bahkan istimewa, ketika melekat pada diri seseorang, baik yang berpenis maupun yang bervagina.
Maka ketika perempuan berpakaian celana panjang, kemeja, rambut pendek, pakai topi, menggunakan segala atribut yang memberikan kesan macho jauh lebih punya “ruang” sosial. Dibandingkan dengan laki-laki yang feminin dan menggunakan atribut yang biasa perempuan pakai?
Publik akan merasa segan mengganggu atau mentertawakan perempuan maskulin. Walau publik masih berpikir, dia laki-laki atau perempuan ya?
Sehingga tidak heran, ketika Manganan menjadi laki-laki dirinya tetap bisa menjadi anggota TNI. Karena simbol identitas maskulinitas Manganan sedang ikut mengukuhkan “kemachoan” yang selama ini menjadi simbol militer.
Maka, kasus terbuang dari keluarga lebih sering terjadi pada komunitas transpuan (waria) dibandingkan komunitas transman. Keluarga sedang membuang simbol feminin yang melekat pada simbol penis. Itu sangat aib!
Karena waria sebagai manusia berpenis telah menyimbolkan identitas feminin, satu upaya merusak tatanan atau keagungan maskulinitas yang dipuja oleh sistem sosial politik masyarakat Indonesia.
Walau persoalan diskriminasi dan peminggiran bagi identitas LGBTIQ punya persoalan sendiri-sendiri.
Dari kasus itu, perlu dilihat bagaimana sosial politik menempatkan maskulinitas dan feminitas ketika melekat pada diri seseorang.
Dari perspektif seksualitas, menurut saya ada tiga syarat manusia Indonesia digolongkan sebagai yang istimewa, ketika;
- Berpenis
- Maskulin/Macho
- Heteroseksual
Apalagi ketika didukung menikah, punya anak biologis, muslim, kaya, memiliki kekuasaan, sehat rohani dan jasmani maka akan menjadi warga negara “paling istimewa”.
Tetapi jika satu saja dari tiga syarat utama tidak dimiliki, maka hidup seseorang akan berhadapan dengan segala macam dan bentuk diskriminasi dan peminggiran berbasis seksualitas dan identitas gender.
Disitulah “racun” maskulinitas dan patriarkis bekerja pada diri seseorang.
Maka “berbahagialah” ketika Anda dilahirkan memiliki penis. Karena Anda sudah memiliki satu tiket untuk menjadi manusia istimewa di Indonesia!
Jakarta, 24 Mei 2022