Oleh: Rodney Neu*
SuaraKita.org – Jenifer adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Sejak kecil, Jenifer mulai menjalani hidup sebagai transpuan. Di usia yang cukup muda itu, Jenifer penuh dengan berbagai pertanyaan. Mengapa ia tidak tertarik pada perempuan, sementara ia punya penis?
“Mengapa hidup saya berbeda dengan lelaki pada umumnya yang punya penis, tapi lebih tertarik pada gaya keperempuanan? Padahal tidak ada lingkungan yang mempengaruhi saya. Semuanya muncul dari hati”, kata Jenifer saat berbincang dengan penulis.
Jenifer merasa berkali-kali diperlakukan tidak adil oleh lingkungannya. Tiap langkah hidupnya dipenuhi kebimbangan. Tiap hari berjibaku dengan dua penampilan. Kala siang, Jeni terpaksa berdandan ala pria. Dan ketika malam tiba hati Jenifer dipenuhi cinta.
Jeni kecil sama sekali tidak merasa lelaki secara utuh. Lingkungan keluarganya tahu bahwa Jeni memiliki orientasi seks berbeda pada umumnya. Meski tanda adanya orientasi seks dalam diri Jeni, pihak keluarga sepertinya tak mau tahu, bahkan menolak ketika ekspresi perempuan keluar dari diri Jenifer.
Meski demikian, Jenifer tak putus asa. Ia menjalani hidup apa adanya. Sesekali mencuri kesempatan menjadi perempuan seutuhnya. Jenifer sadar dan yakin, apa yang ia lakukan adalah pilihan untuk terhindar dari siksa batin yang amat berat. Dia adalah Jenifer Imanuela, transpuan cantik dan hanya bisa dilihat pada malam hari.
Saat Jenifer duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia lebih banyak melakukan perenungan. Setiap malam Ia selalu menangis di bilik kamar dan sesekali Ia menyapa Tuhan, bertanya tentang tubuhnya lelaki, tapi disisi lain ia gembira berpakaian perempuan.
Dengan penuh keyakinan, Jenifer berkata, bahwa semua ini pasti ada jalan keluar dan Ia tidak mau berlarut-larut dalam dosa ini. Namun, di tahun 2018 Jenifer mulai percaya diri bahwa menjalani hidup sebagai transpuan adalah takdir, tanpa merasa bersalah.
Jenifer bercerita, ada situasi sulit ia jalani setiap hari. Misalnya soal berganti-ganti pakaian. Saat di rumah Ia memakai pakaian pria dan saat di luar rumah, Jenifer harus mengganti pakaian seperti perempuan. Rutinitas ganti pakaian cukup menyiksa batinnya
Sabet Duta HIV AIDS Transgender, Keluarga Murka
Jenifer berparas cantik ketika berdandan perempuan. Lekuk tubuhnya nyaris bukan lelaki. Dengan demikian, ia diganjar penghargaan selaku Duta HIV AIDS mewakili transgender saat mengikuti ajang pemilihan ratu spesial tahun 2013 se Provinsi Gorontalo. Sejak saat itu, Jenifer mulai mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk organisasi yang menaungi aktivitas para transgender di Gorontalo.
Meski banjir dukungan akan langkah-langkah Jenifer, bukan berarti pihak keluarga dan pihak lain setuju. Protes datang dari pihak keluarga Jenifer. Beberapa pihak yang mengenal Jenifer melaporkanya kepada keluarga ketika ia baru saja terpilih sebagai Duta HIV AIDS mewakili transgender. Keluarga tentu merasa malu akan perilaku Jenifer yang dinilai ‘menyimpang’ itu.
Keluarganya naik pitam setelah mendengar laporan bahwa anak mereka ternyata sudah terang-terangan menunjukan ekspresi yang ‘menyimpang’. Di ujung acara pemilihan Duta HIV AIDS, Jenifer mendapat telepon dari keluarga, bahwa ia harus segera pulang ke rumah. Jenifer sudah menduga bahwa kabar sedang mengikuti lomba telah sampai di telinga keluarganya.
Dan benar, orang-orang yang mengenal Jenifer, melaporkan ia tengah mengikuti acara. Setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Apalagi melihat anak bahagia. Bukankah pilihan Jenifer sudah tepat? Ia bahagia dengan pilihan sebagai transpuan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, bukan?
*Rodney Neu tinggal di Gorontalo dan aktif di PMII Kota Gorontalo. Follow Instargamnya di @neurodney