Search
Close this search box.

Ragam Identitas Seksualitas Manusia

Oleh: Hartoyo*

SuaraKita.org – Sebenarnya dalam kasus keluarga Manganang yang perlu jadi perhatian publik, bagaimana kebijakan pemerintah sensitif pada keberagaman identitas manusia.

Jika seseorang mengalami hipospadia atau hal yang dianggap tidak sempurna dalam konteks ilmu kebiologian. 

Pertanyaan selanjutnya, apakah sang individu itu alami masalah kesehatan? Begitu juga apakah secara biologis itu bermasalah dalam konteks medis? Sehingga perlu mendapatkan perlakuan medis?

Analoginya seperti ini, seseorang yang di tubuhnya ada penanda (misal warna hitam di bagian wajah atau tubuh lainnya). Memang secara umum tanda hitam itu tidak wajar, atau bisa dianggap kelainan secara medis maupun sosial. Tapi apakah penanda itu akan memberi dampak medis pada sang individu? 

Mungkin ada rasa malu atau menganggap diri jelek. Tapi penilaian itu artinya karena konstruksi nilai sosial. Tapi secara medis tak selalu membahayakan pada diri individu. 

Karena itu, mestinya setiap individu diberikan kebebasan, apakah penanda hitam itu akan dibuang (operasi) atau dirinya berdamai/menerima dengan ciri khas itu.

Begitu juga dalam konteks hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Cara pandang negara atau publik sangatlah biner. Bahwa yang disebut lelaki harus seperti ini, begitu juga perempuan. Punya ciri tertentu yang sangat ketat.

Maka ketika tidak seperti itu, akan dianggap beda, kelainan, penyakit, tidak normal, dan sebagainya. Dampaknya sang individu alami dampak psikologis karena label itu. Ujung-ujungnya mesti menjalani operasi medis agar sesuai maunya sistem atau publik. 

Padahal yang fisiknya dianggap berbeda, tidak normal belum tentu secara medis berakibat buruk pada tubuh individu. 

Dalam soal ini bisa ditanya ahli pada dokter Agustini Utari, dosen Fakultas kedokteran universitas Diponegoro.

Kembali pada persoalan proses penyesuaian kelamin, seharusnya setiap orang berhak mengganti nama, atau identitas kelaminnya tanpa perlu selalu melalui proses yang dianggap patologis, kelainan dan sebagainya.  Karena manusia yang disebut lelaki dan perempuan bukan hanya soal fisik tapi ada rasa pemaknaan diri. 

Buat apa juga setiap orang harus menjalani proses medis (operasi) jika sebenarnya orang tersebut damai dengan apa yang ada pada tubuhnya. Dan secara kesehatan juga tak masalah. 

Misalnya kasus hipospadia, kalau hal itu tak membuat masalah medis pada tubuh seseorang, kenapa hal itu jadi syarat seseorang mengubah jenis kelaminnya?

Apakah setiap orang yang lahir dianggap sebagai perempuan mengalami hipospadia akan selalu memaknai diri sebagai lelaki? Suka pada perempuan (sebagai heteroseksual).  Aku yakin itu pasti dua hal yang sangat berbeda. 

Karena jangan sampai negara menjadi rezim kuasa atas tubuh pada setiap warganya. Jika ingin menjadi lelaki maka harus memiliki ini, itu, begitu juga ketika ingin jadi perempuan. Dan semua dilihat dalam konteks medis, fisik atau patologis. 

Padahal manusia ada pemaknaan diri yang jauh lebih dalam daripada hal soal seperangkat penis, payudara, rahim, besar ukurannya, atau karena ada kelainan pada tubuh. 

Kasus keluarga Manganang mestinya bisa jadi refleksi untuk kita menyadari bahwa tubuh, seksualitas dan ekspresi gender manusia itu beragam. Ragamnya sampai sulit sekali didefinisikan. Dan semuanya normal dan baik.

Maka, sebaiknya hentikan memasukkan manusia dengan cukup sederhana, mana yang disebut lelaki maupun perempuan memakai kacamata patologis. Karena itu cara berpikir rezim biner yang akan menguasai tubuh manusia yang sangat beragam. 

*Penulis adalah Direktur Perkumpulan SuaraKita