Search
Close this search box.

KBR68H – Pertangahan bulan lalu ada peringatan Hari Internasional Melawan Homophobia atau Idaho. Homophobia adalah rasa takut terhadap kelompok homoseksual. Sudah 22 tahun Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan homoseksual bukanlah penyakit. Namun kaum Lesbian Gay Biseksual dan Transgender LGBT masih termajinalkan.

LGBT di Yogyakarta memperingati Idaho dalam suasana ketakutan. Sebab beberapa hari sebelumnya ormas radikal Majelis Mujahidin Indonesia menyerang dengan brutal diskusi buku Allah, Liberty and Love, karya penulis Kanada, Irshad Manji. Penyerbuan yang mengusik ketenangan dan kedamaian Yogya. Namun kaum LGBT tidak menyerah. Mereka melawan. Reporter KBR68H Pebriansyah Ariefana mengikuti peringatan Idaho bersama  LGBT di Yogyakarta.

LGBT Melawan

LGBT Yogya Menari di Acara Idaho
Transgender Yogya Menari di Acara Idaho

Setiap tahun kaum LGBT Yogyakarta memeringati Hari Internasional Melawan Homophobia pada 17 Mei. Namun peringatan tahun ini dilakukan sembunyi-sembunyi. Kaum LGBT yang tergabung di Komunitas People Like Us (PLU) menggelar acara tertutup di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Koordinator peringatan IDAHO Yogyakarta, Sheila.

“Kita sepakat memang karena penyerangan di LKiS, kenapa sedikit berbeda dari segi publikasinya tidak terlampau vulgar yah. Kita memang sengaja mencari jalan yang aman yah biar acara berjalan tetap terlaksana, tapi walaupun acara tidak ada publikasi, tapi materi apa yang menjadi tema IDAHO tahun ini menjadi diskusi publik. Ya kita belajar dari pengalaman kemarin sih sebenarnya. Lebih bentuk ke trauma.”

Sepekan sebelumnya, organisasi radikal Majelis Mujahidin Indonesia MMI mengobrak-abrik diskusi buku Allah, Liberty and Love karangan Irshad Manji. Diskusi dilalukan di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial LKIS. Penyerang menuding Irshad Manji menyebarkan paham gay dan lesbian. Peserta diskusi dipukuli. Irshad Mandji terpaksa diamankan.

Salah satu panitia IDAHO 2012 sekaligus aktivis keberagaman Diversity, Nocky Chandra mengaku sempat mendapat ancaman.

“Nock, udah ada ancaman nih, mereka sudah tahu kalau ada, sudah tau acaranya di Atma Jaya itu. Saya juga berusaha meredam karena saya nggak keluarin ke teman-teman. Karena saya kan sudah bersama HAM untuk keberagaman, jadi tidak membuat teman-teman panik. Tapi ternyata dari teman jaringan dapat isu kalau FUI juga sudah ada ancaman.”

Untuk mengantisipasi serbuan kelompok radikal Forum Umat Islam atau FUI, panitia menyiapkan jalur evakuasi rahasia. Kembali koordinator peringatan IDAHO Jogja, Sheila.

“Di beberapa hari pertemuan terakhir rapat itu fokus ke akses keamanan. Bentuk tim keamanan yang kita bentuk di beberapa titik yang kita klasifikasikan ke ring 1, 2 dan 3. Di ring 3 ini radius yang paling jauh gitu yah. Di luar kampus yang jauh dari sini. Ring duanya di perempatan Jalan Solo, dan ring satunya di depan sini. Sampai menyiapkan jalur evakuasi, sampai kita memikirkan keselamatan peserta.”

Ada dua pembicara dalam diskusi di acara itu. Seorang guru agama SMA di Yogya, Anis Fariskhatin, dan psikolog Parapanhca Hary. Diskusi itu dihadiri belasan murid SMA

Diskusi dibuka dengan penampilan tarian dari 4 orang LGBT.

Aktivis keberagaman Diversity, Nocky Chandra mengatakan, memutus kebencian terhadap kaum LGBT harus dimulai dari kaum muda.

“Buah langkah dari media, sekarang ini banyak sekali diskriminasi itu sudah sampai multidimensi gitu, di mana pun selalu ada diskriminasi. Saya juga melihat ada beberapa artis dan menteri sendiri. Salah satunya Fauzi Badilla bilang Lesbian, Gay, Biseksual, ‘if you tolerate this, your children will be next.’ Dari media sendiri, internet sebagai media online, yang aksesnya tak terbatas, pendiskreditan itu akan terus berlanjut.”

Guru SMA, Anis Fariskhatin (kiri) dan Psikolog Parapancha Hary (kanan), dalam diskui Idaho Yogya
Guru SMA, Anis Fariskhatin (kiri) dan Psikolog Parapancha Hary (kanan), dalam diskui Idaho Yogya

Guru agama SMA di Yogya, Anis Fariskhatin mengatakan sangat mungkin memutus rantai diskriminasi kaum LGBT mulai dari anak muda. Caranya dengan membiasakan muridnya bergaul dengan komunitas LGBT.

“Jadi di satu sisi edukasi itu untuk proses penyadaran belajar dari realitas tadi yang tidak tahu menjadi tahu, dari stigma negatif itu menjadi diubah dengan melihat kenyataan ternyata tidak seperti yang mereka pikirkan dan persepsikan selama ini. Tetapi di sini lain harus ada proses advokasi orang-orang yang ketika mengambil satu pilihan mesti ada yang pro dan kontra. Dan sebagai orang yang berkecimpung di situ harus kuat.”

Anis menambahkan diskriminasi LGBT selama ini juga didorong oleh cara pengajaran pendidikan agama di sekolah yang cenderung tidak toleran.

Sementara, praktisi psikologi Parapanhca Hary mengatakan stigma negatif terhadap homoseksual justru lebih banyak ditunjukkan di lingkungan keluarga.

“Beberapa orang tua klien saya merekomendasikan, kok anak saya agak kemayu. Tolong jadikan dia jadi lelaki betul, tidak seperti itu. Pak bu, yang harus diterapi bukan anak ibu, tapi ibu. Kadang ini yang harus diyakinkan, kadang sulit mengubah orientasi seksual.”

Acara berjalan lancar. Ancaman serbuan tak terjadi. Tidak ada penyerangan dari organisasi radikal Forum Umat Islam seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.

Koordinator acara, Sheila.

“Akhirnya acaranya tidak sesuai dengan kekhawatiran kita yah. Ini menarik untuk hari ini. Dan acara ini bisa ditutup tanpa kendala apapun yah.”

Yogya Diancam Aksi Intoleran

“Yang paling ketara ini, ini keras sekali kaca 8 mm. Ada yang melempar batu, keras sekali. Batunya konblok, dan sangat keras sekali. Tebalnya 8 mm. Irshad Madji tetap di sini, dilindungi 4 orang perempuan. Dihalangi dia. Membuat benteng tubuh. Mereka mencari-cari. Tapi mungkin mereka juga nggak tahu persis yang mana. Kebetulan ada bule, asistennya kemudian berlindung di balik pintu. Kemudian didorong-dorong sampai terbuka, lalu dipukul-pukul. Lalu menghancurkan monitor kita. Pecah. Ada beberapa yang paling parah, ada yang lari peserta dipukuli.“

Itu tadi Direktur lembaga Kajian Islam dan Transformasi Sosial (LKiS) Yogyakarta, Farid Wajidi Farid.

“Tiba-tiba teman saya itu yang perempuan itu ditampar, lalu dilempar pot salah satu dari mereka. Lalu teman saya yang satu lagi ditonjok. Dan saya berusaha menarik yang nonjok itu. Membawa mereka masuk ke dalam rumah didepan pendopo itu, tiba-tiba saya dipukul dari belakang. Saya dipukul kepala saya dengan tongkat besi dan cukup kepala saya dijahit, 2 jahitan.”

Yang ini Rian.

Mereka menceritakan kebrutalan kelompok radikal Majelis Mujahidin Indonesia saat menyerang peserta diskusi buku penulis asal Kanada, Irshad Manji awal bulan lalu di Kantor LKiS Yogyakarta.

Setelah penyerangan itu, kelompok Aliansi Yogya untuk Indonesia Damai (AJI Damai) berunjuk rasa menuntut pembubaran kelompok radikal dari Yogyakarta. Koordinantor AJI Damai, Angga Rista Priyanti Nogroho.

“Identitias pluralisme di Yogya yang cukup kental dan apa yang disampaikan oleh Anda tadi itu sudah tepat. Kita wajib menyebarkan semangat toleransi ini ke semua penjuru nusantara. Yang kurang adalah proses dialog dan menjalin toleransi dan hubungan ke daerah-daerah lain. Karena kita masih sibuk dengan Yogya yang sedang diusik dengan orang-orang luar Yogya ini.”

Peristiwa penyerangan diskusi buku Irshad Manji di Yogya itu juga yang membuat perayaan hari internasional melawan homophobia (IDAHO) di Yogyakarta diwarnai ketakutan.

Kata Angga Rista, sebenarnya kaum LGBT di Yogyakarta sudah sangat akrab. Bahkan LGBT sudah menjadi bagian dari budaya Yogyakarta.

“Di Kraton misalnya, di Kebudayaan Jawa Kuno, gemblak, warok, dan segala macam di nusantara ini sebenarnya sudah ada LGBT. Hanya saja term-nya lain, bukan LGBT, tapi ada yang namanya wandu, wadam. Di Kraton pun dikenal penari-penari yang mereka sebenarnya pria, tapi menggunakan pakaian perempuan sebagai penari, karena itu merupakan syarat. Jadi warga Yogya pun sudah mengenal, bahkan hidup berdampingan pun sudah banyak.”

Masyarakat Yogya meminta Gubernur Sri Sri Sultan HB X membubarkan ormas radikal seperti majelis Mujahidin Indonesia. Namun Sultan belum mampu, alasannya Gubernur tidak punya wewenang.

“Sekarang yang terjadi kan yang mengijinkan departemen, terus yang melakukan ormas di daerah, lah dasar saya apa untuk membubarkan? Nah itu, makanya itu. Tetapi kekuatannya seberapa jauh untuk memberikan kewenangan kepada daerah, jangan sampai sudah di pengadilan judicial review kalah.”

Sebenarnya kepala daerah bisa menindak tegas ormas yang berbuat onar. Salah satunya dengan membekukan ormas tersebut. Di PeraturanPemerintah 16/1986 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri 50/2007 tentang Organisasi Kemasyarakatan, kepala daerah dengan kewenanganlokalnya bisa mengambil langkah apapun yang sifatnya pembinaan, pencegahan sampai penindakan.

Yogya Melawan

Sudah saatnya berkata tidak terhadap diskriminasi kaum Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender atau LGBT. Sudah saatnya Yogyakarta melawan benih-benih intoleransi. Kembali aktivis keberagaman Diversity, Nocky Chandra.

“Kita nggak nularin mereka, karena perasaan mereka sudah teruji dengan saat mereka bergaul dengan kita. Natural banget. Terus terang saya yang bergaul dengan orang heteroseksual, orang-orang heteroseksual itu biasa aja. Kalau mereka datang bergaul dengan LGBT, mereka kan nggak jadi seperti itu. Karena pikiran itu bersih dan open, mereka tahu pikiran mereka.”

Sekarang saya balikkan apa sih gunanya bersahabat dengan LGBT?

“Pertama yah menghargai perbedaan. Bergaul itu kan berteman dengan siapa saja. Karena dengan perbedaan itu kita bisa menghargai orang lain. Kedua yah melihat pola pandang, pola pandang kami kan berbeda. Dan kita bisa dibilang, kita itu lebih multi-tasking. Misal jadi banci, kalau jadi banci kita tidak hanya kerja di salon, tapi kita juga bisa angkat-angkat. Dan kamu juga bisa menjadi orator. Nah ketiganya itu kan jarang dimiliki orang lain.”

sumber : www.kbr68h.com