Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Anggota komunitas LGBT sering disebut sebagai minoritas seksual, karena orientasi seksual atau identitas gender mereka berbeda dari mayoritas masyarakat sekitar. Kelompok ini biasanya terdiri dari individu gay, lesbian, biseksual, transgender, dan non-biner. 

Terlepas dari tumbuhnya kesadaran dan penerimaan minoritas seksual di seluruh dunia, ada bukti yang menunjukkan bahwa anggota komunitas ini memiliki kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan dengan rekan heteroseksual mereka. Faktanya, banyak penelitian menemukan bahwa anggota komunitas ini lebih mungkin menderita penyakit mental, penyalahgunaan zat, dan pikiran tentang bunuh diri dan menyakiti diri sendiri. Masalah ini menonjol di India, meskipun telah diamati secara global juga, karena berbagai stigma sosial, pola pikir tradisional, dan kurangnya kesadaran di antara massa. 

Data ini sangat memprihatinkan, dan penting bagi kita untuk memahami mengapa anggota komunitas LGBT mengalami kekhawatiran tersebut. 

Faktor risiko yang dihadapi minoritas seksual 

Menurut American Psychological Association (APA), masalah kesehatan mental yang tidak proporsional pada minoritas seksual dapat dijelaskan oleh teori stres minoritas . Teori ini menyoroti gagasan bahwa masalah kesehatan bagi komunitas minoritas dapat dijelaskan sebagian besar oleh penyebab stres yang disebabkan oleh budaya dan lingkungan yang tidak bersahabat. 

Mari kita lihat beberapa faktor yang berkontribusi pada kesulitan yang dihadapi komunitas LGBT di India. 

Sementara budaya India kuno melibatkan pengakuan dan perayaan berbagai seksualitas dan identitas gender, sejarah negara baru-baru ini telah mengubahnya menjadi tabu. Massa di India sebagian besar tidak menyadari keberadaan minoritas seksual atau percaya bahwa orientasi seksual alternatif tidak wajar. Berbicara tentang seksualitas masih menjadi hal yang tabu di berbagai pelosok tanah air, yang juga menimbulkan masalah bagi kelompok minoritas seksual. Karena pembicaraan tentang seksualitas kurang penting, kata-kata seperti ‘gay’, ‘biseksual’ dan ‘transgender’ bahkan bukan bagian dari kosakata banyak bahasa India, atau mungkin digunakan hanya dalam bentuk pelecehan atau penghinaan. Hal ini menimbulkan kurangnya rasa memiliki dan rasa dehumanisasi bagi anggota komunitas LGBT. 

Norma, sistem, dan tradisi sosial dibangun untuk mempromosikan heteroseksualitas. Misalnya, tradisi seperti pernikahan heteroseksual memengaruhi orang untuk percaya bahwa homoseksualitas itu abnormal atau tidak wajar. Dipandang sebagai ‘abnormal’ atau ‘tidak wajar’ tidak diragukan lagi memiliki efek pada kesehatan mental minoritas karena mereka dipandang lebih rendah dan kurang berharga bagi rekan heteroseksual mereka. Karena tabu seputar seksualitas mereka, anggota komunitas LGBT di India hidup dalam ketakutan terus-menerus bahwa mereka mungkin tidak diterima oleh keluarga mereka.

Dalam beberapa kasus, anggota bahkan mungkin dipaksa untuk menjalani “terapi” konversi yang tidak ilmiah, tidak etis dan kejam atau dipaksa untuk melakukan pernikahan heteroseksual.

Budaya pop (pop culture) dan media memainkan peran penting dalam membentuk sikap masyarakat. Sayangnya, anggota komunitas minoritas seksual tidak ditampilkan di media secara konstruktif. Film dan acara TV sebagian besar menggabungkan karakter LGBT untuk hiburan komedi, atau mereka digambarkan sebagai penjahat. Bahkan bahasa yang digunakan seringkali homofobik, transfobik dan menyinggung. Laporan berita nasional dan lokal juga menyebarkan homofobia. Jenis liputan stigmatisasi ini berdampak negatif pada cara pandang anggota komunitas LGBT di masyarakat dan, pada gilirannya, menambah diskriminasi yang mereka hadapi. 

Dampaknya pada kesehatan mental

Seperti disinggung sebelumnya, anggota komunitas LGBT sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental. Beberapa masalah paling umum yang terlihat di komunitas adalah:

Penelitian telah menemukan bahwa orang yang diidentifikasi sebagai lesbian atau gay lebih dari dua kali lebih mungkin dibandingkan orang yang mengidentifikasi sebagai heteroseksual untuk memiliki alkohol parah atau gangguan penggunaan tembakau, sementara orang yang mengidentifikasi sebagai biseksual tiga kali lebih mungkin untuk menggunakan jenis zat ini. kekacauan. Ini karena secara historis, beberapa anggota komunitas LGBT yang merasa didiskriminasi oleh orang lain di masyarakat akan mengunjungi bar dan klub malam untuk merasakan rasa memiliki dan menghilangkan stres. Karena itu, sering mengunjungi tempat-tempat ini menyebabkan masalah dengan kebiasaan minum dan penggunaan tembakau yang berlebihan. 

Penelitian telah menemukan bahwa karena stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh anggota komunitas LGBT, mereka 4 kali lebih mungkin mengalami depresi daripada rekan heteroseksual mereka. Sekitar 40% remaja transgender dilaporkan sering merasa tertekan, dibandingkan dengan hanya 12% remaja heteroseksual. Tingkat depresi dan kecemasan di antara anggota komunitas LGBT telah terbukti 1,5 hingga 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rekan heteroseksual mereka. 

Tindakan “coming out” dapat menciptakan perasaan terisolasi di antara anggota komunitas LGBT. Jika individu tidak diterima dalam keluarga atau komunitas mereka, yang sangat sering terjadi, mereka pasti merasa terisolasi. Namun, memutuskan untuk merahasiakan seksualitasnya dan tidak terbuka tentang hal yang sama juga dapat menimbulkan perasaan terisolasi. Inilah mengapa minoritas seksual sering bergumul dengan keputusan untuk “coming out”.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meski 10% hingga 20% remaja heteroseksual terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri, jumlahnya jauh lebih tinggi untuk minoritas seksual. Sekitar 38% hingga 53% minoritas seksual terlibat dalam perilaku merugikan diri sendiri. Angka-angka ini sangat memprihatinkan, karena menunjukkan bahwa banyak anak muda dari komunitas LGBT kehilangan keinginan untuk hidup karena pelecehan dan stigma yang mereka hadapi.

Mengapa masa depan terlihat lebih cerah

Terlepas dari semua masalah dan kekhawatiran ini, masih ada harapan untuk masa depan. Berikut adalah beberapa perubahan yang saat ini sedang terjadi yang berdampak positif pada komunitas LGBT di India.

Dekriminalisasi homoseksualitas di India adalah salah satu langkah pertama ke arah yang benar. Ini telah mengubah pandangan orang terhadap komunitas LGBT; bahkan Indian Psychiatric Society tidak lagi menganggap homoseksualitas sebagai gangguan kejiwaan. Penerimaan minoritas seksual oleh pemerintah dan organisasi lain memberi komunitas hak dan perlindungan esensial tertentu yang akan menguntungkan mereka.

Kabar baiknya adalah bahwa sementara orang-orang menjadi lebih berpendidikan dan sadar tentang minoritas seksual, liputan media berubah untuk mewakili minoritas ini dengan cara yang lebih konstruktif. Film dan acara TV menciptakan karakter LGBT yang sempurna, dan jurnalis belajar bagaimana secara empati dan etis melaporkan orang-orang dalam komunitas LGBT. Seiring waktu, ini akan mengubah cara pandang orang terhadap anggota komunitas dan membuka jalan untuk kesetaraan. 

Beberapa organisasi dan orang bekerja untuk mendidik orang lain tentang hak-hak seksual minoritas. Sejumlah organisasi swasta, pemerintah dan non-pemerintah mendedikasikan waktu dan tenaga mereka untuk membuat perubahan dalam kehidupan komunitas LGBT. Selain itu, profesional medis seperti psikolog juga dilatih dalam terapi khusus (seperti terapi afirmatif) yang sesuai dengan kebutuhan khusus minoritas seksual. Dengan gabungan kekuatan dan pengetahuan dari ribuan orang di seluruh India, perubahan pola pikir masyarakat India pasti akan terjadi.

Saat ini, minoritas seksual di India menjalani kehidupan ganda, di mana mereka distigmatisasi dan didiskriminasi oleh banyak orang, tetapi juga dirayakan dan dicintai oleh beberapa orang. Dengan mengetahui perjuangan mereka, kita dapat menjadi lebih berempati terhadap komunitas LGBT dan menemukan cara untuk memperluas kepositifan dan penerimaan terhadap mereka. (R.A.W)

Referensi:

(PDF) Psychosocial roots of stigma of homosexuality and its impact on the lives of sexual minorities in India. (2015, January 1). ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/283175781_Psychosocial_Roots_of_Stigma_of_Homosexuality_and_Its_Impact_on_the_Lives_of_Sexual_Minorities_in_India 

Key concepts. (n.d.). WHO | World Health Organization. https://www.who.int/social_determinants/thecommission/finalreport/key_concepts/en/ 

LGBT+ youth four times more likely to self-harm than heterosexual peers. (2018, December 12). The Independent. https://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/lgbt-mental-health-depression-symptoms-heterosexual-self-harm-child-teenager-adult-a8678261.html 

The minority stress perspective. (n.d.). https://www.apa.org.  https://www.apa.org/pi/aids/resources/exchange/2012/04/minority-stress#:~:text=Minority%20stress%20theory%20proposes%20that,2003

Resistance and hope: LGBTQ+ rights in the new decade. (2020, July 1). Feminism In India. https://feminisminindia.com/2020/01/20/lgbtq-rights-in-the-new-decade/ 

Safi, M. (2019, March 13). ‘There are few gay people in India’: Stigma lingers despite legal victory | Michael Safi and Aarti Singh. the Guardian. https://www.theguardian.com/global-development/2019/mar/13/gay-people-india-stigma-lingers-despite-legal-victory 

The invisible ones: Sexual minorities. (n.d.). PubMed Central (PMC). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3657897/ 

What do we know about LGBTQIA+ mental health in India? A review of research from 2009 to 2019 – Jagruti R. Wandrekar, Advaita S. Nigudkar, 2020. (2020, April 24). SAGE Journals. https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2631831820918129

Sumber:

thriveglobal