Search
Close this search box.

Solidaritas Sesama Korban

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Pagi tadi, dalam suasana masih mencekam soal Corona, ada WA masuk ke HP ku dari nomor yang tak dikenal. Singkat cerita dia menyampaikan masalahnya; 

“Aku bingung kak, aku ini seorang gay terus posisi aku di dalam keluarga itu sangat di benci”.

“Aku umur 16 tahun. Aku dibenci sama keluargaku karena alasan

1.aku gay

2.keyakinanku

Sekarang aku di usir sama mereka dari rumah. Hp aku itu di cek sama mamaku, terus akhirnya dari situ pas menjelang pagi aku mulai diusir dan gak dianggap anak lagi”. 

Menurut keterangan korban, anak tersebut dipindahkan orang tuanya dari sekolah umum ke pesantren karena ketahuan gay.  

Tapi cara itu tetap tidak membuat sang anak berhenti mencari apa itu Tuhan dan tetap merasa diri sebagai gay.  Sampai kemudian merasa nyaman dengan agama barunya, dari Islam ke Kristen.  

Menurutnya bukan karena pindah agamanya orang tuanya marah, tapi karena orientasi seksualnya sebagai gay. 

Aku cepat berpikir bagaimana bisa membantu dan mendampingi korban dengan cepat. Kebetulan Suara Kita pernah mendampingi kasus-kasus hampir mirip. 

Mulai anak yang alami kekerasan seksual, anak HIV, diusir orang tua karena ketahuan gay, pindah agama atau mempertanyakan doktrin agama. 

Aku langsung membuat groups WA kecil untuk memberi support korban. Aku kumpulkan para survivornya.

Sangat kagum, haru karena kawan-kawan survivor sangat antusias mendukung korban. 

Berikut beberapa support para survivor pada korban via WA groups ; 

” Sebelumnya kenalin nama aku…., 17 tahun dari bandung aku juga pernah di usir seperti kamu tapi mungkin alasanya yang sedikit berbeda”.

Oh iya kamu 16 tahun berarti masih sekolah yaa, kalo kamu kos itu uangnya ada? Mungkin nanti aku bisa bantu sedikit. 

Sekarang tenangin diri dulu, everything gonna be alright!!!!  Jangan ngerasa gak ada yang sayang sama kamu gak ada yang peduli sama kamu. Jangan pernah ngerasa kaya gitu. Ada kita di sini!! “.

Kawan yang lain juga memberikan dukungannya; 

“Halo…. aku…., 22 tahun dari Depok. Waktu aku umur 17 tahun juga aku pernah ada diposisi yang hampir sama dengan kamu”. 

“Hallo….., kenalkan aku……Sekitar tahun 2013 aku juga mengalami hal yang sama dengan dirimu. Aku coming out dan pergi dari rumah. 

Sekarang keadaanmu gimana? apakah ada yg perlu dibantu misal makanan atau baju atau tempat tinggal?”.

“Hy….., Saya seorang Gay dan Kristen Protestan, orang tua saya tau saya Gay tetapi tidak tau bahwa saya Kristen. 

Saya sebelumnya muslim, tapi sudah tidak melakukan tradisi keagamaan orang tua saya seperti shalat dan puasa. Dan mereka tidak berkomentar”. 

Itulah beberapa dukungan pada korban dari para survivor yang sangat dekat dengan suara kita selama ini. 

Sepertinya sekarang, gay yang umurnya tergolong muda, bahkan anak mulai berani menyatakan diri identitasnya sebagai gay. Bahkan memutuskan pindah agama atau mempertanyakan Tuhan. 

Pola ini banyak ditemui di kasus gay, sedangkan di kelompok Lesbian dan Waria pola beda, umumnya persoalan coming out tapi bukan pertanyaan soal Tuhan atau agama. 

Dan umumnya anak-anak yang sudah berani terbuka sebagai gay, mempertanyakan Tuhan/agama, umumnya anak yang pintar dan sangat kritis. Hampir semua pengalaman yang aku temui, mereka adalah anak-anak yang cerdas. 

Tapi sayang orang tuanya dan umumnya publik tak mampu memahami pemikiran anak cerdas tersebut.

Kalau mendapatkan kasus-kasus anak seperti ini, walau ada banyak resiko tapi kami harus tetap membantu. Karena kalau tidak, anak akan kehilangan kesempatan mengembangkan pikiran dan cita-citanya. 

Karena kasus-kasus seperti ini, kalau diserahkan pada pemerintah atau KPAI dipastikan mereka akan takut, tidak sensitif pada kebutuhan anak, atau hanya cari aman saja. 

Sehingga layanan maksimal atas kepentingan anak menjadi abai. Bukannya anak menjadi tenang malah tambah stress. Ini tantangan sendiri mendiskusikan terus pada cara pandang pengambil kebijakan di Indonesia. Bahwa ada realitas ini. 

Mendialogkan pada orang tua tetap harus diupayakan. Umumnya orang tua sangat sulit menerima anak-anak seperti ini, apalagi kalau pindah keyakinan. 

Tapi bagi kami, orang tua wajib tahu bahwa anak adalah tanggung jawabnya. Bahwa setiap anak berbeda dan anak juga bukan properti orang dewasa. Kepentingan anak yang paling prioritas. Itu yang biasa kami infokan kepada orang tua.

Dan penolakan orang tua biasanya karena sistem sosial dan nilai yang dianutnya. Seperti ada gap yang sangat jauh, antara pengetahuan anak yang di dapat dalam di “jaman now” tidak mampu diikuti oleh pengetahuan orang tua. Sehingga ada batas atau jurang yang sangat jauh sekali. 

Bahkan umumnya kasus, orang tua tetap sulit “membuang” anaknya, apalagi setelah pergi beberapa lama. Hubungan cinta antara orang tua dan anak sulit dihadang dengan apapun. 

Tapi, ada masalah komunikasi dan tuntutan nilai sosial yang sulit dihadapi orang tua. Takut dosa atau dikucilkan masyarakat. 

*Nama disengaja tidak ditampilkan demi alasan keamanan

*Hartoyo adalah Direktur Perkumpulan SuaraKita