Search
Close this search box.

Tantangan Publikasi Kisah LGBT

Oleh: Hartoyo*

SuaraKita.org – Setelah saya lihat analisis video youtube Suara Kita, yang paling banyak disukai publik dan ada donasinya, yaitu video yang bercerita tentang hidup manusia. 

Misalnya kisah hidup seorang LGBT dengan masyarakat, keluarga maupun lingkungannya. Baik yang kisah positif maupun yang mengalami kekerasan. 

Kami tahu, kisah seperti itu akan lebih banyak menggugah rasa empati publik. Tapi banyak juga yang memberikan stigma terhadap kisahnya. 

Akibatnya akan rawan terhadap sang narasumber kedepannya. Misalnya yang awalnya masyarakat biasa saja/menerima, gara-gara ada video itu jadi tidak aman atau merasa tidak aman kehidupannya. 

Itulah kenapa film dokumen Suara Kita yang menang sebagai film dokumenter panjang terbaik FFI 2017, Bulu Mata, tidak pernah kami publikasikan di youtube atau TV. 

Kondisi itulah yang membuat kami, Suara Kita kesulitan mencari narasumber dan membuat video dengan sudut pandang kisah-kisah hidup LGBT. Walau kami sudah banyak sekali ide dan narasumber LGBT yang layak dikisahkan dalam sebuah video. Tapi karena mempertimbangkan keamanan, jadi kami harus berpikir ulang. 

Karena kesulitan itu, makanya saya sangat “hormat” pada orang-orang yang berproses dalam hidupnya sendiri untuk berani; 

1. Menerima diri sebagai LGBT.

2. Coming out sebagai LGBT pada orang tertentu, misalnya pada teman dan keluarga.

3. Bersuara untuk isu LGBT walau tidak berani coming out ke publik sebagai LGBT.

4. Coming out secara terbuka dan kemudian bersuara untuk berjuang secara publik sebagai aktivis LGBT walau beragam resiko yang akan dihadapi.

Walau mungkin tidak banyak LGBT di Indonesia sampai pada untuk level 4 (baca : level makrifat). Tetapi, menurut saya setiap level sesuatu yang sangat berarti. 

Karena mungkin mayoritas LGBT di Indonesia masih pada level 0 (kebingungan sebagai LGBT) bahkan pada level minus (merasa bersalah sebagai LGBT dan mau bertaubat). 

Maka berbahagialah kawan-kawan yang telah melalui proses pada level di atas. Tidak perlu dipaksakan sampai pada level 4, karena itu pilihan berat dan banyak pertimbangan sosial, ekonomi dan politik. Biar Hayati saja yang melakukannya 🙂 

Tapi, minimal proses hidup kita harus bergerak. Jangan terus berkutat pada level minus dan 0. Harus mulai masuk babak baru dalam hidup sebagai LGBT, masuk level 1 (menerima diri sendiri). 

Karena di level 1 menurutku, “selemah-lemahnya iman” untuk keluar dari masa kegelapan (level 0 dan minus) menuju masa pencerahan. 

*Hartoyo adalah direktur Perkumpulan Suara Kita