Suarakita.org- “Peluang keluarga Indonesia untuk menerima (gay – red) lebih besar”, ungkap Hani Yulindrasari, PhD, seorang psikolog sosial yang menjadi narasumber diskusi film Love Simon di Bandung, 8 Februari 2020.
Love Simon adalah film produksi tahun 2018 yang menceritakan kisah Simon Spier, seorang remaja yang memiliki rahasia. Orientasi seksual Simon adalah rahasia yang tidak dia buka. Namun ada seorang yang membaca e-mail Simon kepada seorang lelaki yang bernama samaran Blue. Simon pun mengalami pemerasan. Konflik berkutat pada proses keterbukaan diri Simon dengan keluarga, misteri siapa Blue sebenarnya, dan dinamika persahabatan dengan teman-temannya. Terlepas dari konflik yang tersedia, Film ini menguatkan kepada teman-teman gay bahwa mereka layak mendapatkan kisah cinta yang manis.
“Film ini menceritakan ketika kita mau membuka rahasia, kita harus mengerti kapan, di mana, dan kepada siapa kita harus berbicara,” kata Hani Yulindrasari. Dia menekankan bahwa pengalaman gay tidak bisa dihomogenisasikan atau digeneralkan. Tiap individu punya pengalaman yang berbeda. Dia pun mengatakan homofobia di Amerika Serikat lebih brutal daripada di Indonesia. Meskipun begitu, untuk mengurangi tekanan sosial, dia menyarankan, untuk terbuka pada orang-orang yang dekat dan penting saja.
“Keluarga is everything”, ungkap Hani Yulindrasari. Dari dasar pemikiran tersebut, dia percaya bahwa keluarga atau orang tua Indonesia sangat menerima apapun kondisi anaknya. “Memang ada penolakan di awal, tapi lama-lama orang tua pasti menerima”, ungkapnya.
“Ibu saya mengusir saya, saya pergi dari rumah selama tiga bulan, namun pada akhirnya mereka mecari saya dan membolehkan saya tinggal di rumah kembali, meskipun tidak membahas orientasi seksual saya” ungkap F, peserta diskusi film. F menceritakan bawah film Love Simon ini mengingatkan dirinya akan kondisi LGBT di Indonesia saat ini.
Mengingat situasi kelompok LGBT di indonesia yang masih sulit, Hani Yulindrasari mengajak teman-teman komunitas untuk mempererat solidaritas. “Jaga solidaritas, jangan bully teman-teman LGBT yang berbedar dari kita.”
Mengingat bahwa tiap orang punya pergulatan sendiri-sendiri, Hanny pun mengungkapkan bahwa penting komunitas membangun sistem dukungan. “Support group bagus untuk kesehatan mental teman-teman”, ungkapnya.