Oleh: Hartoyo*
SuaraKita.org – Terbuka atas identitas diri seorang LGBT (baca: coming out) pada keluarga bukan hal yang mudah. Dalam banyak kasus keterbukaan karena; ketahuan keluarga, tidak tahan ingin bicara pada keluarga, atau keluarga cukup memberi ruang untuk coming out.
Coming out oleh sebagian LGBT sebagai upaya melepas beban diri, tapi sebagian lagi karena tak ada pilihan. Sehingga reaksi keluarga juga bermacam-macam, ada yang cukup menerima dengan sangat terbuka (mungkin kecil jumlahnya), ada yang menerima tapi tak pernah dibicarakan lagi (cuek saja), dan ada yang melakukan kekerasan pada anaknya sendiri.
Dalam konteks tulisan ini, aku mengambil pengalaman seorang gay yang coming out pada keluarga karena “ketahuan”. Reaksi keluarga kaget dan kalau boleh memilih dipastikan tidak rela anaknya LGBT. Walau akhirnya harus menerima bahwa tak ada yang bisa dilakukan lagi.
Banyak kasus, umumnya LGBT yang coming out pada keluarga hanya di lingkungan keluarga inti saja. Cukup keluarga inti, tak perlu keluarga besar tahu. Ini seperti kesepakatan, pokoknya keluarga besar tak perlu tahu.
Dan biasanya keluarga inti akan selalu menjaga agar anggota keluarganya yang LGBT tidak tersinggung ketika ada pertanyaan kapan nikah dari keluarga besarnya. Saling menjaga, itu poinnya.
Minggu ini, aku bertemu dengan seorang gay, dia seorang penganut Kristen yang taat, bahkan sangat aktif di kegiatan gereja. Komunitas gerejanya cukup mengenal dirinya karena aktivitas di gereja. Sebut saja namanya Anton.
Memang aku perhatikan, ada banyak gay sangat aktif di kegiatan keagamaan, baik yang ada di kampus maupun masyarakat, terjadi di agama apapun. Situasi ini menarik dikaji apa yang menyebabkan seorang gay sangat aktif di kegiatan keagamaan? Sebagai upaya perlindungan dan penerimaan sosial?
Kembali ke Anton, dia seorang gay yang terbuka pada mamanya dan kedua kakaknya. Alasan keterbukaannya karena keluarga mulai curiga. Awalnya mamanya sedih. Tapi berjalannya waktu mulai lebih tenang. Tapi, tindakan merasa kuatir dan harus terus menjaga Anton semakin kuat.
Begitu juga Anton, pasca dirinya terbuka sebagai gay pada keluarganya, “kebebasan” dirinya harus dia kontrol. Ini beberapa pengakuan Anton padaku via WA ketika aku tanya kehidupannya sekarang;
WA Anton padaku ;
” Makanya kenapa aku gak bisa bebas keluyuran malam2 dan bebas nginep2 dirumah teman”.
” Aku harus ngejaga perasaan mamaku”.
“Jangan sampai aku ngerusak kepercayaan yang mamaku kasih”.
“Jangan sampai aku melukai perasaan mamaku untuk yang kedua kalinya”.
“Kebahagiaan aku adalah kalau melihat mamaku tidak stress dan tidak susah”.
” Soalnya mamaku orangnya kuatiran”.
“Makanya aku selalu mengorbankan semua kesenangan yang aku pengen nikmati’.
“Yah tapi Aku ikhlas sih , yang penting mamaku senang dan bahagia”.
Itulah beberapa penggalan situasi pasca Anton terbuka pada keluarga.
Memang dalam banyak kasus, ketika seorang LGBT terbuka pada keluarga, khususnya orang tua. Hal yang selalu dikuatirkan orang tua diantaranya adalah keamanan anaknya di luar rumah. Bagaimana masa tuanya kalau dia tidak menikah dan tidak punya anak?
Orang tua, sepertinya paham bagaimana kejamnya masyarakat, negara, agama ketika menghadapi LGBT yang terbuka. Karena anak akan mengalami diskriminasi di tempat kerja, gereja bahkan lingkungan sosial lainnya.
Maka tiba-tiba orang tua harus selalu ada dan mengontrol keberadaannya anak tersebut. Dengan siapa dia bermain, pulang kerja jam berapa sampai segala aturan ketat diperlakukan orang tua untuk keamanan anaknya. Mungkin sebagian orang tua berpikir, dosa apa yang dia lakukan sehingga mendapatkan cobaan ini, punya anak LGBT.
Dan, anaknya yang sudah dewasa seperti kembali lagi menjadi bayi yang harus dijaga oleh dari gangguan serangan dari luar.
Dalam situasi itulah sering LGBT tak mampu terbuka atas keinginan dirinya pada keluarga, karena kuatir orang tua akan sedih, dan kuatir.
Situasi selanjutnya orang tua tak mau mendiskusikan perasaaan anak dalam situasi itu. Apakah dirinya nyaman, bagaimana keinginan seksualitasnya dia ekspresikan? Semua didiamkan saja.
Sejujurnya dalam kondisi ini, apakah sebenarnya orang tua belum rela anaknya bagian dari LGBT? Atau semata-mata karena kuatir reaksi terhadap masyarakat yang sangat homofobia?
Sehingga orang tua abai dengan perasaan dan keinginan anak sebagai manusia yang otonom dengan beragama mimpinya. Dan anak atas nama kepatuhan dan menjaga perasaan orang tua, memilih mengalah dalam situasi ini.
Akhir ceritanya, seorang LGBT akan menunggu kebebasannya sampai orang tuanya meninggal. Tapi bagaimana kalau orang tuanya panjang umur?
Maka anak akan terus berkorban dan bertahan dalam situasi yang pasti berat buat dirinya. Semua yang dilakukan oleh orang tua dan anak, atas nama cinta.
Salam Kekudusan
Hartoyo
*penulis adalah direktur Perkumpulan SuaraKita