Search
Close this search box.

[KISAH] Pecat!

Oleh: Arif Wiradhinata*

Suarakita.org- Sore itu, aku ketuk pintu teman kosanku dengan kencang. Semoga saja, dia tidak pergi ke mana-mana. Pikiranku sudah buntu, tidak tahu harus meminta tolong, dan bercerita kepada siapa lagi selain temanku ini. Aku tidak punya sanak saudara di Bandung. Aku hanya seorang anak rantauan yang berasal dari Sukabumi.

Temanku membuka pintunya dengan pelan. “Adam?”, temanku terlihat kaget melihat kondisiku. Berantakan dengan mata yang bengkak akibat menangis sejak dari perjalanan menuju kemari, “Masuklah dulu”.

Aku berjalan dengan lunglai. Kemudian tubuh, aku hempaskan di atas kasur Springbed  temanku. Badanku sudah tidak bertenaga, dan merasa linglung masih tidak percaya apa yang telah terjadi tadi. Pikiranku pening dan sakit sekali. Aku mencoba bersikap tenang bahwa ini masih baik-baik saja.

“Kamu kenapa?” Arif, temanku bertanya dengan khawatir. Wajahnya nampak bingung dengan apa yang terjadi padaku.

Aku tidak bisa menjawab langsung. Aku malah mulai menangis dengan sesenggukan. Arif mendekatiku sambil mengusap bahuku mencoba menenangkan.

“Kamu bisa cerita pelan-pelan, Dam”

Sambil mencoba berusaha tenang, aku berusaha menyusun kalimat. “Aku-hiks … A-aku … ketauan gay di kantorku Rif …”

Tidak bisa dibendung. Aku menangis semakin menjadi-jadi. Mengingat peristiwa itu kembali sangat menyesakan dada, aku pikir. Arif menatap kaget dan bingung bagaimana dia harus merespon sedangkan aku hanya bisa menangis dengan sesenggukan.

***

Aku seorang graphic design. Aku bekerja di salah satu e-comerce pakaian anak yang berlokasi di Bandung. Awalnya, aku menyenangi pekerjaan ini, apalagi ini sesuai passion-ku selama ini.  Aku diterima kerja setahun yang lalu di tempat ini, tahapannya juga tidak terlalu ribet, cukup datang dan interview, dan besoknya aku sudah diterima bekerja disini.

Dulu, tempat kerjaku ini memang sedang membutuhkan sekali seorang graphic design dengan cepat. Ketika Owner (pemilik perusahaan – red) bertanya kepadaku apakah aku siap untuk mulai bekerja, aku hanya mengangguk dengan kegirangan karena selama tiga bulan sebelumnya aku menganggur tidak jelas tanpa ada uang pemasukan sepeserpun.

Saking kegirangannya, aku melupakan sesuatu yang sangat penting dari awal aku bekerja yakni surat perjanjian bekerja secara tertulis. Apakah karena aku bodoh atau memang owner-nya sengaja tidak memberitahukan itu, yang jelas aku bekerja tanpa ada surat kontrak perjanjian kerja tertulis.

Jadi, lambat laun itu berpengaruh kepada jobdesk (rincian kerja – red), hak, dan kewajibanku bekerja. Pekerjaanku menjadi bertambah, awalnya hanya mendesain konten untuk website dan media sosial, kini ditambah mengurusi Website, admin sosial media, fotografer, dan animator. Parahnya lagi, aku disuruh angkut barang sana-sini, persis seperti bekeja bagian gudang. Tidak apa-apa jika gajinya ditambah, lah ini semua jobdesk-ku itu aku dapatkan dengan gaji yang kecil, di bawah UMR Bandung malah.

Tidak mencoba melawan? Inginnya, tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku orang yang tidak bisa mengemukakan pendapat, apalagi berani memprotes sesuatu. Banyak ketakutan yang ada di dalam diriku, termasuk aku takut jika Owner mengetahui aku adalah seorang gay.

Ada alasannya, Ownerku adalah orang  yang homofobik. Dia sangat anti dengan hal yang berbau LGBT. Biarpun dirinya tidak terlalu religius (malah jauh dari itu), dia sangat tidak open minded. Dulu, dia pernah bercerita bahwa bencong (dia mengkategorikan bahwa mereka itu semua banci) itu adalah kutukan, azab dari tuhan karena bayaran dari dosa sebelumnya. Mereka tidak normal, dan harus segera disembuhkan, katanya. Mendengar itu, aku meringgis dalam hati, menjadi gay bukanlah suatu penyakit yang harus disembuhkan, jerit batinku.

Puncaknya adalah ketika identitas aku menjadi seorang gay ketahuan oleh ownerku.

Hari itu, aku sudah menyelesaikan mendesain sebuah konten. Aku mencoba beristirahat sejenak sambil memainkan handphone.

Aku buka beberapa aplikasi kencan khusus gay, siapa tahu saja ada yang dekat dengan kantorku. Jika ada, pulangnya aku bisa mampir dulu dan berkenalan lebih jauh. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan horny. Dengan cepat, aku membuka salah satu situs porno gay untuk memutarkan sebuah video. Sambil video diputar dengan suara aku senyapkan, aku mulai meraba-raba kemaluanku.Aku menikmati aktivitas yang menyenangkan ini.

“HEH ELU NGAPAIN?”

DEG!

Aku kaget.

Ownerku telah berdiri sambil berkacak pinggang melihat apa yang aku lakukan, matanya melotot melihat video yang aku putar. Aku buru-buru mematikan handphone dan mencoba duduk dengan tegak. Aku terdiam ketakutan.

“Lu Homo?” dia bertanya dengan nada menggertak. Aku hanya diam membisu.

“Bisa-bisanya ya Lu coli di kantor gue.”

Ownerku menambahkan dengan marah. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, apalagi untuk melawan. Yang jelas aku merasa ini adalah kiamat dalam hidupku. Pasti aka nada sesuatu yang mengerikan kedepannya.

Jadi setelah kejadian aku ketahuan gay itu. Sang Owner memecat diriku dengan tidak hormat, ditambah aku hanya dibayar sebagian dari gaji. Teman-teman kantorku kaget kenapa aku bisa dipecat seperti itu, apalagi mereka mengetahui bahwa aku adalah seorang pekerja penurut yang mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan. Tidak mungkin aku menceritakan alasannya, bisa-bisa mereka juga merasa jijik ketika mengetahuinya.

*Kisah ini berdasarkan penuturan Adam (bukan nama sebenarnya – red) kepada Arif Waradhinata, kontributor Suara Kita di Bandung.