Search
Close this search box.

[KISAH] Jalan Mengamen

Oleh: Teguh Iman Affandi

Suarakita.org- Setelah menjalani profesi sebagai pekerja seks di jalanan, Susi (bukan nama sebenarnya – red) merasa bosan.  Dia jenuh. Akan tetapi dia bingung mau melakukan apa selanjutnya.

Susi asal kota Tangerang, mengidentifikasikan diri sebagai waria. Di 2008, dia bertemu dengan teman lamanya juga, waria satu kota kelahirannya bernaha Rika.  “Lo mau ikut gue  enggak? Ada kerjaan enak lho.” kata Rika.  Susi pun tertarik.

Keesokan harinya, Susi dan Rika bertemu kembali di daerah Serpong.  Saat itulah, Susi baru menyadari bahwa pekerjaan yang dimaksud Rika adalah mengamen.  Susi tidak masalah akan itu, apalagi hobi Susi memang menyanyi dan menari.

Selama mengamen, Susi dan Rika harus berjalan dari jam 10 pagi hingga adzan maghrib berkumandang.  Jika Susi dan Rika lelah berjalan, mereka akan istirahat, duduk-duduk sebentar.

Penghasilan yang didapat dari mengamen tidak tentu, kadang sedikit, kadang  banyak. Pernah mereka berdua dapat  seratus ribu rupiah dalam satu hari. Pendapatan yang bagi mereka cukup besar. Mereka senang sekali.

Hal yang disuka oleh Susi ketika mengamen  di jalan adalah kebebasan. Dia merasa di jalan, dia bebas untuk menyanyi dan menari. “Enak banget di jalanan nari-nari.” kata Susi. Namun ada pula pengalaman yang tidak menyenangkan.  Pernah Susi dicemooh, dihina-dinakan, bahkan pernah ditimpuk orang tidak dikenal.

Suatu ketika Susi dan Rika marah sekali. Mereka berdua sedang jalan, sambil mengamen.  Lalu, mereka melewati sebuah sekolah.  “Bencong!” segerombolan pelajar meneriaki mereka.  Tidak satu atau dua kali, pelajar-pelajar itu terus mencerca mereka. Rika pun naik pitam. Dia datangi gerombolan pelajar itu. Adu mulut pun tidak terhindarkan. Guru sekolah tersebut sampai turun tangan membela pelajar-pelajar itu. Susi pun membela Rika, “Bapak kalau enggak bisa ngajarin muridnya, sini biar saya aja yang ajarin,” kata Susi pada Pak Guru itu.  Akhirnya, Susi dan Rika pun diusir. Mereka tidak dibolehkan lagi mengamen lewat jalan tersebut.

Susi mengamen di daerah Serpong hanya satu tahun.  Hal ini karena dia tidak tenang tinggal di kontrakannya di daerah tersebut. Banyak preman yang kalau mabuk, menggedor pintu  kontrakan mereka untuk meminta uang. Ditambah lagi banyak cerita, kalau waria di daerah Serpong banyak yang tewas.  Susi pun menjadi takut. Dia lebih memilih pindah ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu.

Setelah dirinya tenang, Susi kembali memutuskan untuk mengamen, tetapi tidak di Serpong. Dia memilih hijrah ke kawasan Duri, Jakarta Barat.  Susi memulai mengamen kembali dari nol. Dia tidak punya  tempat tinggal, dia tidak punya make up, dia tidak punya baju yang cantik, dia tidak tahu medan yang akan dia hadapi.  Untunglah dia bertemu dengan Elena, seorang waria pengamen yang sudah tinggal lebih dulu di Duri.

Berkat Elena, Susi dipinjamkan make up, tempat tinggal, baju,  dan yang terpenting ditunjuki rute mengamen yang aman.  Di jalur yang mana yang banyak orang dermawan.  Hingga Susi mempunyai uang sendiri dan mampu hidup mandiri di Duri.

Uang hasil mengamen, Susi berikan kepada orang tua. Susi bisa berbangga berkontribusi pada keluarga.  Mencari uang dari mengamen memang sulit, mungkin karena profesi itulah, Susi kini lebih  cermat mengelola uang.