Search
Close this search box.

Tips Meliput Berita LGBT Bagi Jurnalis

(Sumber: pixabay.com)

Oleh: Hartoyo*

Suarakita.org- Hari Senin, 28 Oktober 2019, Saya  diundang ke gedung Kompas, Jakarta Pusat, untuk berbagi tentang isu LGBT dalam media. Kita saling belajar soal bagaimana liputan yang sensitif pada komunitas.

Dalam pelatihan itu, diutarakanlah hal-hal yang disarankan atau tidak boleh dalam meliput, kata-kata mana yang boleh dan tidak boleh digunakan, seperti panduan menulis.

Panduan itu penting, tapi menurutku, kemerdekaan wartawan adalah ketika bebas menggunakan kata. Menurut saya, kata bisa saja sesuatu netral, tergantung niat penggunanya.

Jadi aku lebih setuju bagaimana wartawan dibangun sensitifitasnya pada isu apapun. Tidak membawa nilai diri yang mengakibatkan menyimpulkan sesuatu sebelum menulis.

Maka tipsku buat para jurnalis yang akan meliput isu-isu humaniora, terutama kelompok marginal, yang sangat perlu dilakukan:

1. Niat personal atau perusahaan ketika memproduksi sebuah berita. Apakah niatnya untuk memarginalkan individu atau kelompok tertentu atau berniat untuk membuka fakta tentang apa yang terjadi?

Nah, itu kembali pada moral setiap jurnalis dan perusahaan, dan itu semua otoritas mereka. Kira-kira, mau jadi jurnalis yang benar atau jurnalis yang jahat pada kemanusiaan.

2. Bekerjalah sebagai jurnalis menggunakan kaidah atau ilmu jurnalis yang benar. Tak perlu seakan-akan over keberpihakannya pada subjek yang mau ditulis, tanpa melakukan wawancara pada pandangan pihak lain yang menolak.

Biarkan nasum menyampaikan pandangan dari beragam pendapat. Lalu jurnalis tinggal menentukan sudut mana yang harus diambil dan mana yang tidak. Jadi tak perlu semua narasumber sejalan pandangannya.

3. Pilihlah narasumber yang tepat, sumber primer. Sebaiknya, tidak tunggal narasumbernya. Apalagi jika narasumbernya intelektual. Biasakan kutip pandangan narasumber  berdasarkan fakta dan data yang valid.

Misalnya ketika meliput isu LGBT, ada seorang narasumber ngakunya prof psikiater, tapi ketika bicara mengatakan bahwa LGBT penyakit dan harus disembuhkan. Sebagai jurnalis tentu tidak bisa serta menerima saja. Jurnalis layak menanyakan, basis riset atau panduannya jurnal atau bukunya apa? Minta sang narasumber  itu menunjukkan rujukannya. Kalau sang narasumber tak mampu memberikan rujukan atau rujukan tak sesuai dengan ucapannya, maka narasumber layak diragukan pendapatnya.

Begitu juga ketika narasumber  menunjukkan acuan risetnya dari penelitian yang tak kredibel, maka patut dipertanyakan. Kadang-kadang malah ada narasumber merujuk pada penelitiannya sendiri yang tak diterbitkan pada jurnal yang baik.

Oleh sebab itu,  meriset narasumber menjadi sangat penting sekali, sehingga kita akan mendapatkan nasum yang tepat.

Kemudian akan lebih  baik memilih dua atau tiga nasum yang sama fokusnya, sehingga akan tergambar perbedaan pandangan. Nah, di situ jurnalis punya otoritas pandangan narasumber mana yang jujur, benar,  yang layak untuk dikutip.

Pasti jurnalis akan tahu mana narasumber  yang niatnya jahat dengan narasumber  yang sebagai intelektual atau pengalaman realnya.

4. Lakukan riset. Sebaiknya sebelum jurnalis menulis dan meliput melakukan kajian soal isu tersebut. Cara sederhana, dengan membaca literatur atau nonton Youtube. Cara ini akan menambah wawasan atau juga memperkaya ide dan pertanyaan untuk narasumber.

Dengan riset jurnalis akan mampu bertanya secara tajam kepada narasumber, bahkan kita punya modal untuk mengetahui, mana narasumber yang benar dan tidak benar. Oleh sebab itu, riset,  riset, dan riset menjadi penting bagi seorang jurnalis.

5. Ketika dalam proses produksi karya jurnalis, sebelum dipublikasi perlulah minta pandangan dari teman yang punya kompetensi soal isu itu ataupun jurnalis lain.

Misalnya, minta salah seorang komunitas itu membaca atau melihatnya dulu. Bisa juga minta jurnalis senior yang punya kualitas tinggi untuk membaca karya jurnalistikmu. Minimal bisa dapat input sesuatu yang mungkin tak terlihat oleh Anda sebagai jurnalis.

Saya beberapa kali diminta baca karya jurnalis soal isu LGBT oleh wartawan, mereka  minta masukan soal karyanya sebelum dipublikasi. Buat saya, jurnalis seperti ini sangat luar biasa. Saya pastikan kualitas karyanya sangat baik.

Begitu mungkin tipsku untuk jurnalis ketika meliput isu sensitif, misalnya isu LGBT, narkoba, perempuan prostitusi, Ahmdiyah, Ayiah, Agama Leluhur, aborsi atau isu-isu sensitif lainnya.

Sekali lagi niatkan pada diri bahwa ingin menjadi jurnalis yang benar dengan karya yang baik. Bukan jurnalis yang senang sensasi apalagi jurnalis bodrex (bodoh – red).

Karena yang rugi bukan hanya masyarakatnya tetapi  jurnalis sendiri kalau karyanya buruk atau menyesatkan publik. Akhirnya, jurnalis akan tetap miskin  tapi tak punya karya yang membanggakan pada diri dan bangsa.

Nah, sekarang semua pililihan bebas dari seorang jurnalis!

*Penulis adalah Ketua Perkumpulan Suara Kita.