Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Dr. Oxiris Barbot, komisioner Departemen Kesehatan New York, dan Carmelyn P. Malalis, kepala dari Komisi HAM New York, menyatakan bahwa mereka bergabung bersama untuk menyuarakan suara yang terpendam dari komunitas interseks.

Dalam essay berjudul, “Scalpels Down: Let Intersex Children Choose” yang diterbitkan oleh Ozy.com pada 30 Juni, Oxiris Barbot menuliskan pengalamannya selama 25 tahun dalam menangani pasien interseks yang dirugikan baik secara fisik maupun mental, oleh karena operasi.

“Gender dari pasien saya memang tidak langsung terlihat,” jelas Oxiris. “Respon mereka menunjukkan bahwa mereka telah menjalani operasi kelamin waktu mereka masih kecil, tanpa sepengetahuan mereka.

Setelah mendengarkan cerita dari pasiennya, Oxiris pun menyadari, “Apa yang saya pelajari hari itu adalah, suatu keputusan yang dibuat oleh orang dewasa karena kekhawatiran yang ada dapat meninggalkan bekas luka, baik secara fisik atau mental, seumur hidup.”

Pernyataannya pun didukung oleh fakta yang ada. Diperkirakan hampir 2% dari populasi masyarakat yang ada di bumi terlahir sebagai interseks, sama biasanya dengan terlahir dengan rambut merah, mata hijau, atau kembar identic. Namun, tidak seperti yang berambut merah, interseks seringkali mendapat stigma dan dikucilkan karena karakter seksual mereka yang berbeda dengan apa yang kita biasa sebut dengan norma.

“1 dari 2000 bayi yang lahir di Amerika diperkirakan interseks, dan beresiko menjadi sasaran operasi non-konsensual yang dilakukan untuk “menormalkan” tubuh mereka saat lahir,” lanjutnya. “Operasi ini kadang dilakukan karena orang tua mereka tidak diberikan pilihan lain dan operasi adalah jalan terbaik bagi anak mereka. Masalahnya adalah, melakukan operasi seperti ini pada anak kecil dapat merusak dan membuat anak menjadi traumatis. Efek samping nya termasuk sterilisasi, inkontenesia urin atau kesulitan menahan air kecil dan bekas luka, dan tidak ada cara untuk mengetahui bahwa pilihan yang telah dibuat akan tetap konsisten dengan pengertian anak tentang identitas gender nantinya.”

“Agar lebih jelas lagi, prosedur yang dilakukan sangat memengaruhi ketika digunakan untuk mencari tahu dan meyakinkan identitas gender seseorang,” tambah Oxiris. “Kuncinya adalah penentuan nasib sendiri dan otonomi atas tubuhnya sendiri. Tidak masalah seberapa menyeramkannya memiliki anak yang interseks, akan menjadi jauh lebih buruk bagi anak-anak untuk menyesuaikan dengan hasil operasi yang mereka sendiri tidak setujui. Dalam rangka mengakui masalah sosial dan fisiologis ini, beberapa kemajuan telah dibuat, dengan mensosialisasikan konsensus kepada petugas medis untuk menunda operasi sampai anak tersebut dapat menentukan sendiri apa yang ia mau seiring dengan berjalannya waktu.”

Walaupun pernyataan dari Oxiris Barbot dan Carmelyn Malalis ini cukup kuat, tetapi belum ada hukum yang mengatur tentang hal ini, malah menjadi sebuah ajakan bagi para tenaga medis untuk menyetujui hal ini, yang mana “semua orang seharusnya dapat mengakses fasilitas kesehatan tentang gender dan tidak ada seorang pun yang dapat dipaksa untuk melakukan operasi kelamin.”

“Sekarang adalah waktu yang tepat bagi para dokter untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh interseks, berhati-hatilah ketika berurusan dengan anak kecil dan lakukanlah operasi hanya dalam keadaan terdesak atau setelah ada konsensus dari pihak terkait,” simpulnya. “Orang tua sudah seharusnya diberikan dukungan sosial dan psikologis ketika anak mereka terlahir sebagai interseks, dan tidak tertekan sampai dokter harus mengoperasi. New York akan melanjutkan dukungan dan advokasi bagi para interseks, dan kita semua dapat bergabung bersama menjadi kawan mereka.” (K.O)

Sumber:

PLUS