Search
Close this search box.

Serupa Tapi Tak Sama? Mungkin Beragam?

Oleh: Mathan*

SuaraKita.org – Dewasa ini keberagaman gender sudah menjadi makanan sehari-hari dan menjadi isu atau pokok persoalan yang paling sering diperdebatkan. Namun demikian, masih banyak dari kita yang kebingungan dan pada akhirnya mengkotakkan gender dan menghubung-hubungkannya dengan jenis kelamin. Stereotip yang ada dalam masyarakat adalah lelaki yang maskulin dan perempuan yang feminim dan pada akhirnya menuntun pada stereotip yang lain, yaitu peran mereka dalam masyarakat.

Hal ini tentunya bukan tanpa sebab karena identitas gender yang biner ini merupakan sebuah bentukan sosial yang tidak sedikit dipengaruhi oleh adat dan istiadat serta agama. Ada banyak ayat Alkitab yang secara gamblang menunjukkan tugas dari perempuan dan lelaki. Contohnya dalam Kejadian 3:16-19 (TB): Firman-Nya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.” Sedangkan peran seorang lelaki ditunjukkan pada Kejadian 3:17 (TB): Lalu firman-Nya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan buah dari pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu.”

Gender menjadi sebuah konstruksi sosial yang dibentuk oleh tatanan masyarakat tertentu. Dalam konteks masyarakat Eropa yang mayoritas beragama Kristen dan Katolik, mereka meyakini bahwa seorang perempuan harus feminim, yang biasanya dipandang lebih lemah dan kurang aktif secara fisik. Sedangkan lelaki dipandang lebih kuat dan lebih aktif secara fisik, sehingga kekuasaan cenderung diberikan kepada lelaki. Hal ini juga yang akhirnya menuntun pada permasalahan yang baru, yaitu ketidakadilan gender. Akan tetapi kita tidak akan membahas hal itu saat ini, melainkan keberagaman gender yang dimiliki oleh manusia.

Ketika bangsa Eropa datang ke Amerika Utara, mereka mengambil alih tanah tersebut dan membawa budaya yang baru sehingga masyarakat asli mau tidak mau harus mengadopsi budaya baru tersebut sehingga akhirnya masyarakat setempat mengkotakkan gender ke dalam 2 bagian.

Penduduk asli dari Amerika Utara, orang Indian yang terdiri dari ratusan suku, memiliki kebudayaan yang cukup unik. Bagi mereka, lelaki dan perempuan memiliki fungsi dan peran yang sama. Tidak hanya lelaki yang berburu, tetapi perempuan juga dapat berburu untuk keperluan makan mereka. Selain itu, bagi mereka gender sangat beragam. Terbukti bahwa mereka meyakini ada 5 gender yang dimiliki manusia dan hal tersebut dianggap sebagai anugerah dari Tuhan.

Keberagaman gender ini tidak hanya diakui oleh salah satu suku, tetapi juga oleh suku-suku yang lain sehingga hal ini menunjukkan bahwa keberagaman gender adalah suatu hal yang lumrah dan dianggap sebagai sesuatu yang normal.

5 gender yang diakui oleh masyarakat asli dari Amerika ini adalah lelaki, perempuan, “dua roh” lelaki, “dua roh” perempuan dan transgender. “Dua roh” ini sebenarnya adalah istilah yang belakangan ini baru dicetuskan di awal 1990an pada sebuah konferensi gay dan lesbian bagi penduduk asli Amerika. Menurut New York Times, sejak saat itu lahirlah komunitas “dua roh” di berbagai tempat di Amerika seperti Montana, Denver, New York State, San Fransisco, Seattle, Toronto, Tulsa dan Oklahoma. Menariknya, mereka juga dibiayai pemerintah dalam aspek kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain, pemerintah Amerika menghargai mereka dengan memberi dukungan materi.

Kembali lagi, “dua roh” ini seringkali diidentikkan dengan lelaki yang berjenis kelamin lelaki namun berperilaku seperti perempuan dan perempuan yang berperilaku seperti lelaki karena tidak jarang bagi mereka ada lelaki yang merasa dirinya perempuan, begitupun sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena sejak kecil orang tua tidak pernah memberikan atau mengajarkan peran gender yang terlalu rinci kepada anaknya sehingga anak-anak cenderung memakai pakaian yang bersifat netral. Orang Indian hanya mementingkan dan sangat menghargai kontribusi yang diberikan oleh setiap penduduk ke dalam suku tersebut tanpa memandang peran gender yang maskulin atau feminim.

Duane Brayboy

Menurut Duane Brayboy, seorang Indian, dalam Indian Country Today bahwa pada dasarnya tidak ada yang kata yang dapat menjelaskan “dua roh”. Masing-masing suku memiliki kata khususnya tersendiri, namun ada sebuah kebutuhan universal untuk memunculkan kata yang baru agar semua orang dapat mengerti. Suku Navajo menyebutnya sebagai nadleehi (yang telah berubah), suku Lakota menyebutnya winkte (lelaki yang memiliki kecenderungan untuk berperilaku sebagai perempuan) dan niizh manidoowag (dua roh). Sedangkan suku Ojibwe menyebutnya hemaneh (setengah lelaki, setengah perempuan).

Sayangnya kebudayaan ini ingin dihapuskan oleh bangsa Eropa. Brayboy menambahkan, bahwa Imam Katolik dari Spanyol menghancurkan beberapa peninggalan sejarah bangsa Aztec untuk menghapus sejarah dan kepercayaan yang dianut, termasuk tradisi “dua roh” tersebut. Penghapusan ini memaksa penduduk asli untuk berpakaian sesuai dengan peran gender yang telah ditetapkan.

Osh-Tisch (kiri) dengan istrinya.

Ada satu tokoh yang terkenal sebagai seorang “dua roh” bernama Osh-Tisch. Osh-Tisch adalah seorang ksatria dari suku Lakota yang cukup terkenal pada saat itu karena berhasil menyelamatkan rekan-rekannya dalam perang Battle of Rosebud Creek. Ia adalah seorang lelaki yang berpakaian dan hidup sehari-hari sebagai seorang perempuan, namun menikah dengan seorang perempuan.

Bukankah keberagaman itu indah? Sama seperti suku Indian yang mengedepankan kontribusi setiap penduduk tanpa memerhatikan peran gender yang dimiliki. Secara tidak sadar, agama membuat manusia berpikiran terlalu sempit dan tidak memerhatikan keberagaman yang ada di luar agama tersebut. Bukan kok bukan, bukan berarti kita harus menghapus dan meninggalkan agama. Melainkan beragama dengan pemikiran terbuka yang sesuai dengan konteks yang kita tinggali saat ini. Jangan menutup mata dan menutup pemikiran kita terhadap keberagaman yang ada. Lagipula, bukan tempat kita untuk menghakimi setiap insan manusia, bukan?

Referensi:

Dailyplug.com ( diakses 26 Juni 2019).

 Indian Country Today ( diakses 25 Juni 2019).

Numinous.com ( diakses 26 Juni 2019).

The New York Times ( diakses 26 Juni 2019).

Liputan6.com ( diakses 25 Juni 2019).

*Penulis adalah mahasiswa sebuah sekolah tinggi yang sedang magang di SuaraKita