Search
Close this search box.

Perkosaan dan Pelecehan adalah soal Kekuasaan

(Sumber : www.myunidays.com)

Oleh : Nadya Karima Melati*

Suarakita.org- Hal yang luput dibahas dalam perdebatan menyerang feminis dalam kasus objektivikasi seksual pebulutangkis Jojo adalah bagaimana masyarakat sangat lemah menganalisa bagaimana pelecehan dan perkosaan terjadi. Masyarakat belum mampu melihat bahwa kekerasan seksual dilandasi oleh kekuasaan, bukan sekedar relasi antar penis dan vagina. Pemahaman ini juga sangat sempit dan sangat heteronormatif. Objektivikasi seksual dilihat hanya dilakukan kepada lawan jenis dan oleh lawan jenis.

Serangan kepada ekspresi seksualitas perempuan juga menunjukan bahwa patriarki dalam budaya pop di Indonesia berbentuk ‘Male Gaze’. Pandangan yang baku dan diakui adalah pandangan  lelaki heteroseksual. Ekspresi-ekspresi seksual perempuan dan laki-laki gay dianggap minor dan tidak berlaku dan apabila dilakukan mendapat pukulan balik besar-besaran. Terbukti dalam kasus ini, perempuan dan lelaki gay tidak dibenarkan bersuara tentang ekspresi seksualnya, apabila mereka melakukan maka disebut pelecehan.

Pelecehan adalah soal Kekuasaan

Perkosaan bukan berarti penis masuk ke vagina. Perkosaan juga tidak selalu menggunakan penis. Perkosaaan bisa terjadi menggunakan apapun: jari, mulut, hingga cangkul. Perkosaan juga tidak selalu terjadi pada perempuan muda dan cantik. Anak umur lima tahun, asisten rumah tangga, buruh pabrik, waria, junior di pesantren lelaki, perwira tentara di medan perang. Perkosaan adalah soal kekuasaan. Ketimpangan kekuasaan atau sering disebut relasi kuasa adalah penyebab perkosaaan, maka dari itu tentara muda rentan diperkosa, begitu juga junior baru di pesantren. Setelah relasi kuasa, turunan setelahnya adalah relasi gender. Gender adalah tentang keperempuanan (feminitas) dan kelelakian (maskulin). Gender tidak selalu berhubungan dengan jenis kelamin (penis dan vagina).

Pada masyarakat kita, terjadi ketimpangan gender di mana keperempuanan dianggap lebih rendah daripada kelelakian. Ketika kelelakian diutamakan, di sini kita gunakan terminologi patriarki. Patriarki adalah kondisi ketika kelaki-lakian bersifat superior dan keperempuan inferior. Perempuan sebagai identitas terkena dampaknya, baik perempuan yang terlahir dengan vagina ataupun lelaki yang beridentitas feminim berada di posisi inferior dibandingkan dengan lelaki dengan penis atau perempuan yang mengadaptasi maskulinitas. Dalam struktur ini juga pelecehan terjadi, perempuan yang lebih rendah di masyarakat dianggap wajar apabila dilecehkan secara seksual dan dianggap pantas untuk menerimanya. Turunan dari gender adalah jenis kelamin, karena dalam masyarakat kita jenis kelamin masih sering digunakan untuk merujuk gender seseorang.

Relasi kuasa adalah faktor utama seseorang dianggap mampu melakukan kekerasan seksual. Ketika seseorang mengaku mendapat pelecehan atau perkosaan maka yang pertama kali dicek adalah relasi kuasanya, bukan jenis kelaminnya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gender masih menjadi penanda kekuasaan di masyarakat kita. Dalam hubungan pacaran heteroseksual misalnya, perempuan tidak mampu menolak ajakan berhubungan seksual dari si pacar lelaki karena lelaki dianggap imam dan pemimpin bagi perempuan.  Pada kasus ini relasi kuasa diikuti oleh posisi gender di masyarakat dan jenis kelamin menjadi penanda gender.

The Male Gaze

Pada kasus objektivikasi seksual yang dilakukan oleh para perempuan di media sosial kepada Jonathan Cristie, yang pertama kali harus dilakukan adalah mengecek relasi kuasa antara Jojo dan netizen perempuan. Apakah mereka punya relasi kuasa? Jika iya apakah relasi kuasanya timpang? Jojo barang kali tidak mengenal para perempuan tersebut. Tidak ada relasi kuasa yang timpang di sini. Ekspresi yang dikeluarkan para perempuan murni sebagai luapan perasaan. Sayangnya yang dianut dalam masyarakat patriarki kita adalah Male Gaze. The Male Gaze adalah sebuah teori feminis yang diungkapkan oleh Laura Mulvey, kritikus film yang menyatakan bahwa pandangan yang dianggap ‘natural dan normal’ adalah pandangan lelaki heteroseksual.

Perempuan, lelaki gay, perempuan lesbian, dan trans tidak diangap sebagai subjek yang bisa menatap dan mengeluarkan ekspresi seksual. Mereka dianggap sebagai objek yang pasif dan apabila mereka berekspresi, mereka akan mengganggu kenyaman patriarki dalam menindas dan mengobjektivikasi perempuan. Hal ini yang membuat para lelaki ketar-ketir dan menyerang feminis. Apabila para liyan ini melakukan gaze, banyak lelaki yang nyaman dalam posisi dan kekuasannya khawatir mereka akan ditindas seperti sebagaimana mereka mengobjektivikasi liyan.

Ekspresi seksual yang dilakukan perempuan dan waria membuka sebuah kondisi bahwa mereka juga sebagai subjek yang aktif dan juga konsumen bagi sinema layar lebar dan budaya populer. Female Gaze tidak menjadikan lelaki sebagai sumber pelampiasan seksual dan justru mampu membuka alternatif terhadap ikon-ikon budaya pop. Misalnya, bagaimana kini lelaki yang mampu menangis dan mengurus bayi muncul dalam sinema dan menjadi idola. Beberapa film, mampu mengangkat kasus-kasus kekerasan perempuan seperti pada film “Cek Toko Sebelah” tentang pelecehan kepada perempuan oleh bosnya, film dokumenter “Mangga Golek Matang di Pohon” yang memberikan The Other Gaze, bahwa objektivikasi yang dialami para liyan dianggap hal yang alami. Hal ini karena arus utama hanya mengakui tatapan lelaki, lelaki heteroseksual.

Penutup

Memang pelecehan bisa terjadi kepada siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja, tetapi kembali lagi kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa. Dari relasi kuasa itu kita lihat turunan konsep-konsep sosial. Untuk itu mempelajari analisa struktur sosial dari sosiologi, politik identitas melalui filsafat, dan teori feminisme menjadi amat penting dalam menganalisis ketimpangan sosial. Ketika bicara soal lelaki juga bukan belum tentu seluruh lelaki atau lelaki yang berpenis. Dengan memahami konsep-konsep sosial, kompleksitas dalam hubungan antar manusia yang rumit bisa dipahami. Dan tugas para feminis adalah memberikan argumentasi yang logis dan empirik, berpihak pada yang tertindas dan menyuarakannya.

Catatan: Tulisan ini dibuat setelah berdiskusi dengan Hartoyo dari Suarakita tentang fenomena yang terjadi akhir-akhir ini tentang objektivikasi seksual.

Penulis adalah co-founder dari Sexuality and Gender Resource Centre.