Search
Close this search box.

[Cerpen] Percaya

Oleh: Erwin K.

SuaraKita.org – “Bandung, Maret 2017”

“Aaaahhhhh…” Ricky melemparkan tas kecilnya ke lantai berkarpet,  sambil setengah berteriak sebagai tanda kekesalannya, saat dia memasuki kamar sahabatnya, Ivan. Kemudian dia pun segera menghempaskan tubuhnya ke kasur yang terletak di lantai berkarpet tersebut.

Ivan tidak mengeluarkan komentar tetapi hanya melirik sahabatnya itu sesaat.  Kemudian dia kembali menonton DVD baru yang sedang dia setel, berjudul La La Land.

“Gue tahu film ini….. Ini keren, tentang perjuangan untuk meraih impian….” Ricky berkata sambil mengintai film tersebut dari balik punggung sahabatnya yang terbentuk indah karena kebiasaan berolah raga di pusat kebugaran.

Ivan mengernyitkan wajah sambil menatap Ricky sekilas. “Tetap yaaa….” komentar Ivan lagi.

“Tetaplah….. Gue harus terus berjuang. Tapi, capek…. Gagal terus….” Ricky berkata sambil menelungkup di kasur.

Ivan menoleh sekilas kepada Ricky dan tidak berkata apa-apa.

“Terus…. Elo mau coba lagi?” Ivan akhirnya bertanya setelah beberapa menit berfokus pada film tersebut, sementara Ricky diam.

“Mungkin…” jawab Ricky sambil membenamkan wajahnya pada bantal yang menjadi tumpuan dadanya saat menelungkup. “Pasti…. Dan harus….” Ricky segera menyambung.

Ivan masih menonton, tetapi pikirannya sudah tidak fokus lagi pada film tersebut. Konsentrasinya terpecah. Semenit kemudian, Ivan mengambil remote kontrol dan menekan tombol pause kemudian menoleh ke arah Ricky.

Dia mengelus rambut Ricky yang dipotong spike, rambut bagian atas tegak berdiri dan dipotong pendek tipis, sementara bagian samping kiri-kanan dan belakang nyaris botak. Ivan kemudian mengacak-ngacak sedikit rambut Ricky. Ricky mengubah posisinya menjadi berbaring telentang dan menatap langit-langit kamar Ivan yang berwarna kuning.

“Jadi, kenapa gagal?” tanya Ivan.

“Enggak total gagal sih, Van,” jawab Ricky, “Gue lulus tahap awal, hanya saat masuk ke final, gue enggak berhasil. Gue hanya semi final….”

“Ya baguslah…. Berarti Elo kan enggak gagal total.”

“Memang…. Tapi ga enggak cukup. Gue tetap saja enggak dapat kesempatan peran. Padahal gue sangat berharap. Ini film produksi anak-anak Bandung, lalu gue tadi lolos ke semi final dengan si peran utama yang gue pilih. Kan menakjubkan, kalau gue bisa dapat peran utama langsung di film bioskop pertama gue…..”

Ivan tersenyum. “Terus?”

“Terus ya sudah….. Gue gagal lagi… Aahhh….” Ricky menjawab kemudian mengeluh dengan setengah berteriak lagi.

Ivan mengusap bahu Ricky dan kemudian berkata, “Lalu…. Elo mau sampai kapan nyobain terus?”

“Sampai gue berhasil!”

“Kapan?”

“Tanya pada Tuhan! Kapan Dia mau bermurah hati ngasih impian terbesar gue….”

Ivan menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Biasa deh…. Gagal lalu marah pada Tuhan….”

“Terus? Enggak salah kan kalau gue bertanya, Tuhan itu di mana…. Gue marah karena dari tahun ke tahun gue berjuang terus untuk impian gue menjadi aktor, gue selalu percaya akan keberhasilan gue, tapi ternyata gagal terus…..”

Ivan tersenyum kemudian membalas, “Bukan marah ke Tuhan dong…. Harusnya  Elo berpikir, apakah ini benar jalan hidup Lo…. Mungkin bukan bakat Elo di sini… atau kalau memang bakat, bukan di sini jalannya…..”

“Lalu di mana kalau bukan di film?”

“Eh Bitch…. Banyak orang yang berbakat akting tapi enggak jadi aktor dan enggak ke Hollywood…. Mereka hanya jadi pemain teater. Atau pemain drama di gereja. Itu juga kan penyaluran bakat…. Elo enggak boleh ngeremehin….”

“Gue enggak remehin…. Tapi, keinginan gue bukan di sana. Gue ingin jadi aktor. Gue ingin main film, memerankan beragam karakter. Dan Elo tahu kan impian terbesar gue adalah Hollywood. Gue bisa bawa nama Indonesia makin mendunia…..”

“Tapi Elo juga harus realistis, Bitch…. Umur Elo sekarang sudah 35. Berapa banyak coba, aktor yang baru memulai karir film usia segini? Mungkin ada, tapi berapa banyak?”

Ricky diam sejenak. “Tapi, gue sudah main satu film pendek…” sambungnya.

“Baru satu kan…. Aktor-aktor lain sudah berapa film bioskop di usia Elo segini…. Atau berapa film pendek….”

“Ah Van…. Elo enggak menyemangati gue, Ugly…..”

Sebutan bitch dan ugly adalah sapaan kesayangan untuk satu sama lain yang menjadi ciri khas persahabatan mereka.

“Gue sih realistis, Rick…. Elo mau sampai kapan berjuang terus? Elo bahkan suka minta izin dari kantor kalau mau casting….. Bolos kerja demi kegagalan….”

“Kan perjuangan….”

“Terus perjuangan ya sampai…. 45 tahun? 50 tahun?”

Ricky diam dan merengut.

“Enggak salah punya impian besar, Rick….. tapi Elo harus realistis…. Elo kan sekarang sudah kerja di Cinemags, majalah film terlaris di Indonesia. Elo bahkan pernah dipercaya untuk wawancara Zac Efron di Singapura waktu promo film terbaru dia. Bahasa Inggris Elo bagus. Tulisan-tulisan Elo tentang film bagus-bagus. Jadi, ya sudahlah…. Elo sudah kerja di bidang yang Lo cinta kan…. Bukan aktor memang, tapi Lo kan menulis tentang film, membahas film….”

“Tapi gue justru patah hati rasanya, Van…. Gue menikmati kerjaan gue dan ini memang juga yang gue cinta. Tapi, impian utama gue adalah berakting. Gue ingin film yang gue bintangi dibahas di majalah. Gue ingin jadi yang diwawancara, sebagai aktor yang baru saja rilis film terbarunya. Patah hati rasanya saat gue hanya bisa wawancara aktor lain dan ngebahas doank…. Akting itu jiwa hidup gue….”

Ivan hanya menarik napas sambil menatap Ricky sejenak, kemudian dia mengambil remote control dan melanjutkan La La Land.

“Van…” ujar Ricky sambil menyentuh punggung sahabatnya dengan jari telunjuk dan tengah kirinya, kemudian duduk di kasur sambil menatap ke adegan dalam film. “Kita bersahabat dari SMA kelas satu. Elo tahu sendiri bahwa gue sangat mencintai film. Hidup gue enggak akan pernah kumplit dan gue enggak akan bahagia maksimal kalau enggak jadi aktor. Ini impian gue. Enggak cukup hanya jadi penulis majalah film….”

Ivan hanya menoleh sejenak ke arah Ricky sambil memberikan ekspresi berupa menarik kedua sudut bibirnya ke samping sekilas. Kemudian dia kembali fokus kepada film yang sedang asyik dia tonton.

*

Ricky berlari kecil di sepanjang jalan perumahan, area tempatnya tinggal. Hujan turun dengan deras dan dia mulai basah kuyup. Kaos putih polos yang dia pakai kini basah dan menjadi tembus pandang, memperlihatkan secara samar dadanya yang bidang dan perutnya yang rata sebagai hasil dari berlatih di pusat kebugaran beberapa tahun lamanya.

Sewaktu dia meninggalkan rumah sahabatnya, cuaca masih tetap cerah sementara hari sudah menjelang malam. Saat dia turun dari kendaraan umum dan berjalan memasuki area perumahan tempatnya tinggal bersama kedua orangtuanya, hujan mulai turun rintik-rintik hingga kemudian menjadi deras.

Dia pun memutuskan untuk berteduh sejenak di Indomaret sambil membeli minuman Pepsi Blue kesukaannya. Dia minum sambil duduk di kafe kecil Indomaret tersebut. Tetesan demi tetesan air mengalir dari rambutnya membasahi wajahnya. Ricky mengusap wajah dan rambutnya dengan kertas tisu yang dia bawa. Dia mengibas-ngibaskan sedikit kaos basah yang dia kenakan. Angin malam yang dingin menerpa tubuh indahnya.

Mobil-mobil dengan wiper yang dijalankan berlalu lalang melintasi jalanan. Motor-motor pun tidak ketinggalan ikut hilir mudik menyemarakkan suasana jalan. Beberapa pengendara motor mampir di Indomaret tersebut untuk berteduh sekaligus membeli minuman ringan.

Ricky memandang jalan raya yang kecil tersebut kemudian menatap langit malam. Pikirannya mengembara.

Dia teringat ucapan Ivan dalam salah satu momen saling mencurahkan isi hati yang mereka lakukan.

Lihat deh segala sesuatu pada sisi positif, dan Elo akan bisa memilih bahagia…. Elo memang masih gagal untuk dapetin impian akting Elo, tapi kan Elo bisa kerja di bidang yang Elo tetap cinta. Menulis di majalah, topiknya film…. Elo punya gaji jadi bisa mandiri dan bisa berbagi juga…. Kalaupun Elo enggak  dapetin impian Elo, kan bukan berarti hidup Elo berakhir…..

Ricky mengakui bahwa ucapan Ivan tersebut benar. Tidak ada yang salah dengan ucapannya. Namun, tetap saja,  film adalah jiwa hidupnya. Menjadi aktor adalah impian terbesarnya dan ini merupakan cita-citanya sejak kecil.

Ricky tersenyum sendiri setelah meneguk kembali Pepsi-nya. Dia teringat masa kecilnya….

“Mau jadi apa kalau sudah besar nanti, sayang?” Tantenya, yang merupakan adik mamahnya, bertanya. Umur Ricky baru 8 tahun ketika itu. “Bintang Film….” dia menjawab dengan pasti.

“Bu, ada di kelas ini yang mau jadi bintang film…. Ricky, Bu.” Angga, teman sekelasnya sewaktu SD berkata kepada ibu guru yang sedang mengajar saat itu. Serempak, anak-anak kelas menatap Ricky. Ricky hanya tersenyum sambil mengangguk dengan kuat.

“Iya…. Mudah-mudahan terkabul…. Amin ya, Ricky….” Ibu guru berkata sambil tersenyum.

Ricky kembali tersenyum sendiri dan meneguk Pepsi-nya kembali. Dia merasa bersemangat kembali.

Saat aku percaya, keajaiban terjadi…. Aku tidak boleh menyerah…..

**

“Hollywood, Los Angeles, Maret 2023”

Michael Willet, salah satu aktor yang baru saja merilis film terbarunya dan film tersebut berada pada peringkat dua Box Office Chart terbaru, membuka amplop dan siap membacakan nama pemenang kategori Best Supporting Actor. Seisi ruangan yang amat luas tersebut terdiam menatapnya. Situasi hening dan tim musik pengiring acara pun sedang menghentikan permainan musiknya.

Kamera menyorot bergantian ke arah sang aktor di podium yang sedang membuka amplop yang berisi tulisan nama pemenang dan kepada lima aktor yang menjadi nominasi kategori tersebut.

Ricky menjadi salah satunya. Dia memejamkan mata dan jantungnya berdebar kencang. Ivan yang duduk di sampingnya memegang tangannya sejenak untuk memberinya semangat.

Aku sudah bekerja sangat keras…. Aku sudah berakting dengan sangat baik…. Aku dapat nominasi…. Tuhan, aku ingin menang…. Aku layak menjadi aktor pertama Indonesia yang memenangkan Oscar….

Media di Indonesia akan memberitakan aku…. Headline di Metro TV…. Fotoku menjadi cover di Pikiran Rakyat dan Cosmopolitan Men…. Dan akan selalu kukatakan bahwa saat kita percaya, keajaiban terjadi….. Aku akan jadi inspirasi-

“So, Ladies and Gentlemen…. And The Oscar goes to…..”

Suasana ruangan sangat hening. Kamera kali ini tidak mengganti arah. Seluruh kamera tertuju kepada Michael Willet yang sedang memberikan jeda pada kata-katanya untuk memberi efek dramatis.

Inilah saatnya pengumuman pemenang untuk Best Supporting Actor pada perayaan Academy Award ke-95, dengan lokasi yang sama setiap tahunnya yaitu Kodak Theatre – Los Angeles.

“Ricky Sinurat in I Am Number Six….” Dan seluruh yang hadir bertepuk tangan meriah diiringi musik megah yang mengalun kencang menambah semaraknya suasana. Sejumlah lampu sorot langsung diarahkan pada Ricky dan seisi ruangan menatapnya. Seluruh kamera berfokus padanya. Dia adalah pusat perhatian pada saat itu.

Ricky hanya bisa menganga.

Dia memang sudah sangat mengharapkan bahkan merasa yakin walau tidak sepenuhnya yakin, tetapi tetap saja dia sangat terkejut. Kelegaan, kebahagiaan, keterkejutan, bercampur baur menjadi satu dalam menit-menit bersejarah tersebut. Ivan langsung memeluknya erat dan Ricky membalasnya. Dia ingin menangis rasanya karena begitu bahagia dan merasa terharu. Akhirnya…. Impiannya…. Dan dia berhasil menepati janjinya untuk membawa sahabatnya menemaninya……

Colton Haynes, salah satu aktor paling bersinar di Hollywood saat itu yang menjadi rekan mainnya dalam Film I Am Number Six menghampirinya dan memeluknya dari belakang. Ricky menghentikan pelukan dengan sahabatnya dan membalas pelukan aktor tampan tersebut.

Sutradara Guillermo del Torro yang menyutradarai film ini menghampiri Ricky dan menyalaminya, tepat sebelum Ricky meninggalkan panggung dan melangkah ke podium untuk mengambil piala Oscar-nya.

Seisi ruangan menjadi sepi dan iringan musik pun berhenti tepat saat Ricky sudah berada di podium sambil memegang piala Oscar-nya dengan tangan kanan. Dia mendekatkan mulutnya ke mikrofon dan mengucapkan pidato kemenangannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahagia yang luar biasa dengan senyuman manis yang terus menghiasi wajahnya.

“Thank you so much, ladies and gentlemen…. This is so special to me…. I am grateful to God, our Heavenly Father for this achievement. Thank you so much, my family and friends….. and to Ivan, my best friend since high school who is with me now right there….” Ricky menunjuk ke arah Ivan. Sesaat, sebagian kamera menyorot Ivan.

“My boyfriend in Indonesia, Deo, I love you…. Also, my big thanks go to my wonderful teamwork of this movie…. To the press, thank you…. To all my fans, thank you so much…. And to all of you here and who are watching, please remember…. It’s hard to believe in what you can’t see clearly, things that seem so far far away and all chances look close…. But you know what, you have to BELIEVE…. And keep working hard…..

“And when you feel it’s very hard to believe, just remember that I am the living example of statement: WHEN WE BELIEVE, MIRACLE HAPPENS….. When I am able, it means that all of you are too, since I am no difference…. We all are humans who have strength and weakness, who have good and bad sides…. Thank you….”

Ricky kemudian mengacungkan piala Oscar-nya diiringi oleh tepukan tangan membahana dan dentuman musik megah yang mulai mengalun kembali. Saat dia hendak beranjak pergi, tidak diduga, segenap hadirin mulai berdiri dan memberikan dirinya standing applause….

Ricky tidak menduga…. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus bangga, bahagia, dan terharu. Dia membungkukkan tubuhnya sesaat sebagai ucapan terima kasih dengan hormat dan hadirin semakin bertepuk tangan meriah untuknya. Iringan musik pun semakin megah seolah menyambut kehadiran sang pangeran kerajaan.

Ricky menatap hadirin dan kemudian memandang Ivan, dengan mata yang berkaca-kaca. Ricky merasa dia bisa saja segera membasahi kedua bagian pipinya dengan air matanya…….

“Hey hey…. What are you doing?” Deo menyapa Ricky sambil langsung duduk di depannya.

“Bandung, November 2017”

Lamunan Ricky terputus. Dia menyadari bahwa matanya berkaca-kaca karena kemenangan piala Oscar yang dia khayalkan barusan. Akan tetapi, itu bukan khayalan. Itu adalah impiannya….

Ricky memandang pemuda tinggi kurus dengan hidung mancung di hadapannya sambil tersenyum. Dia jadi merasa malu sendiri.

“Kamu seperti mau menangis. Wah gawat…. Sendirian di kafe, melamun, dan mau menangis pula…..” Deo berkata dengan nada menggoda.

Ricky menjulurkan lidahnya sekilas ke arah Deo. “Diam ahh….. Sudah ayo pesan….” Katanya.

“Sedang memikirkan apa sih?” Deo masih tampak penasaran. Dia mengambil gelas berisi jus alpukat bercampur susu coklat yang tinggal setengah di meja dan menyeruputnya melalui sedotan berwarna putih bergaris jingga.

“Mau tahu saja ihh….” Ricky membalas sambil tertawa.

“Haruuss….” balas Deo.

Ricky tersenyum lebar. “Aku memikirkan masa depan aku. Aku akan menang Oscar….”

“Ouuww…..” Deo merespon dengan nada suara yang tidak menunjukkan keheranan. Dia sudah paham benar karakter Ricky.

“Aku mau pesan ya….” Kata Ricky sambil mengambil menu yang tergeletak di meja mereka. Pada saat itu, Deo memegang tangan kanan Ricky dengan tangan kanannya.

Ricky mengangkat wajahnya dan memandang Deo sambil merespon pegangan tangannya. Dia melihat ke kiri dan ke kanan mereka, memperhatikan sekilas suasana Kafe Angkringan Dago yang sedang tidak begitu ramai di sore hari pada hari Jumat tersebut. Mereka tetap berpegangan tangan dengan erat.

“Aku mendukung kamu untuk terus berjuang untuk impian kamu. Walaupun sebenarnya aku sepaham dengan Ivan, bahwa aku ingin kamu fokus pada kerjaan kamu sekarang dan ga usah maksain impian kamu.”

“Kamu sudah pernah ngomong begini, Eo….”

“Dan aku ingin ngomong lagi sekarang, Rick…. Kamu berhasil atau kamu gagal, kamu adalah pacar aku dan aku mencintai kamu…. Dan kamu punya kehidupan yang indah…. Banyak yang bisa kamu syukuri dan nikmati…. OK?”

Ricky tertawa. “Ok….” Mereka saling berpandangan sesaat dan kemudian tertawa bersama. Mereka tidak peduli jika ada orang-orang sekitar mereka yang mungkin saja sedang memperhatikan mereka.

Ricky segera mengakhiri pegangan tangan mereka dan beralih ke menu. Namun dia tidak bisa langsung berfokus pada menu. Dia masih memikirkan momen mereka barusan. Begitu berkesan…. Begitu berarti…..

“Sehabis ini kita nonton ke Ciwalk yaa…..” Ricky berkata sambil memandang pacarnya itu. Deo pun nampak heran.

“Kita nonton. Aku akan traktir kamu….” Ricky mengulangi.

“Iyaa…. Tapi, kita kan enggak ada rencana untuk…”

“Aku mendadak ingin nonton malam ini. Hanya kita berdua, di mall favorit aku, dan aku mau traktir kamu. Aku ingin merayakan sesuatu hari ini….”

“Perayaan apa?” Deo benar-benar merasa heran.

Ricky tersenyum manis sambil menjawab, “Bahwa aku akan mendapatkan Oscar suatu hari nanti. Mungkin benar, aku akan jadi aktor pertama Indonesia yang meraih Oscar. Kalaupun bukan, aku akan tetap meraih Oscar minimal sekali dalam hidupku. Aku akan sukses di Hollywood….”

Deo memberikan ekspresi bahwa dia tidak tahu lagi harus berkata apa sambil menghela napas. Ricky segera menyambung, “Sudah, enggak usah protes. Jika kita percaya, kita harus berlaku seolah kita sudah pasti mendapatkan…. Iya kan! Karena kita percaya…. Sekarang, aku mau pesan makanan…. Lapar nih….”

Ricky segera sibuk dengan menu kafe tersebut sementara Deo hanya memandangnya sambil menggelengkan wajahnya sekilas, kemudian tersenyum.

***

Bagikan

Cerpen Lainnya