Oleh: Pride*
SuaraKita.org – Masa remaja adalah fase ‘It was just me against the world’. Masa ketika kepercayaan diri merupakan salah satu hal yang saya pertaruhkan demi mengetahui siapa saya sebenarnya. Manusia macam apa saya ini. Saya sempat menjadi pendiam karena saya tidak bisa menemukan orang yang benar-benar saya percaya untuk bisa diajak berbagi.
Saya dilahirkan di keluarga yang sangat intim dengan Tuhan. Keluarga idaman para tetangga sekitar karena bulik saya jadi istri dari pemuka agama di luar kota, atau karena kakek buyut saya seorang kyai besar di daerahnya. Menuju jenjang SMA pada tahun 2011, mama meminta saya untuk tinggal di pesantren salah seorang kerabat. Kegilaan saya pun dimulai dari situ.
Satu tahun masa tenang tanpa terjadi apa-apa. Hidup saya stagnan. Saya serasa jadi penonton bioskop yang duduk tenang tak berkonflik dengan apa pun dan siapa pun. Karena kekosongan itu pula, saya hanya bisa menuliskan imajinasi saya tentang putri dan pangeran yang berpetualang di negeri fantasi. Atau saya akan menuliskan imajinasi saya tentang boyband Korea kesukaan saya yang tiba-tiba datang ke Indonesia karena sebuah mimpi. Atau jika sedang vakum menulis maka saya akan menghabiskan waktu dengan membaca bertumpuk-tumpuk novel untuk refresh otak.
Kemudian ia datang sebagai murid baru di pesantren. Seorang gadis remaja satu tahun di bawah saya yang juga memiliki hobi menulis, membaca, dan memiliki kemampuan menggambar yang hebat. Kita sebut saja ia Kecil. Saat itu ia memandangi saya yang sedang menulis di bawah tangga. Matanya memicing dan penasaran.
Bukan hanya sekali saya memergokinya mengamati saya. Entah karena geram atau saya tertular rasa penasarannya, akhirnya saya mulai mendekati dia. Mengajaknya berbicara tentang banyak hal. Menulis bersama. Pada akhirnya ia pun mulai bercerita pada saya tentang dirinya.
Ia berasal dari lingkungan yang mayoritas anggota keluarganya adalah laki-laki. Pergaulannya dengan laki-laki. Dandanannya pun seperti laki-laki. Ia juga kurang bisa bersosialisasi dengan baik dengan teman sekelasnya yang baru beberapa hari ditemuinya.
Mungkin karena faktor cocok, kami menjadi semakin intim dan saya semakin tidak bisa lepas darinya. Layaknya saudara, kemana-mana kami pergi berdua bahkan tidur berdua. Kehidupan pesantren berperan penting bagi persahabatan kami. Tiada hari tanpa menulis, tiada hari tanpa berbagi kisah, tiada waktu yang luput dari kami.
Memandangi bintang di lantai paling atas yang berfungsi sebagai jemuran, sudah menjadi rutinitas monoton yang tidak pernah membosankan. Walau begitu intimnya saya dengan Kecil, saya tidak pernah lupa dan tidak pernah bosan mengingatkannya untuk berkumpul bersama yang lain.
Mungkin karena bosan mendengar saya mengoceh dan merepet tidak karuan, akhirnya ia menuruti saran saya dan mulai mengakrabi teman-temannya yang sekian minggu tidak ia pedulikan. Ia tidak lupa bersosialisasi dengan kakak kelas dan adik kelasnya. Jujur saja, saya senang melihatnya cerah bersama lingkungan barunya.
Sampai suatu hari ia mendatangi saya dengan muka ditekuk dan aura yang tidak menyenangkan. Tanpa bertanya saya tahu bahwa ia sedang mengalami kebingungan karena seseorang yang baru saja dikenalnya telah mengikat hatinya. Teman perempuan sekelas saya yang memiliki hati selembut permen kapas dan sikap manja, sebut saja Mel.
Katanya, ia baru pertama kali merasa aman dan nyaman bersama Mel, ia selalu ingin berada di samping Mel apapun keadaannya. Secara rasio saya tidak terkejut dengan pernyataannya. Justru saya bangga karena ia mampu bersosialisasi dengan cepat. Namun jauh dalam lubuk hati saya, ia terlalu cepat belajar dan saya yakin psikologisnya tidak terlalu siap menerima euforia asyik-sahabat-baru yang dialaminya sekarang.
Saya hanya memberinya nasihat bahwa mungkin semua kebingungan yang dialaminya disebabkan oleh saking senangnya ia memiliki sahabat lain selain saya yang peduli pada apa yang ia tulis dan peduli pada ceritanya tentang ayam dirumahnya bertelur lima atau cerita lainnya.
Saya hanya tertawa kemudian memberinya nasihat untuk tidak terlalu cepat menyerah dan mau belajar pelan-pelan. Saya biarkan saja semua mengalir apa adanya, toh saya juga yang menyarankan untuk berbaur dengan kawanan. Walau begitu saya tetap mengawasi gerak-geriknya yang semakin hari semakin cerah karena sahabat barunya.
Intensitas saya untuk sharing dan menulis pun merenggang, tetapi bukan berarti rutinitas yang telah ada terhenti begitu saja. Frekuensinya saja yang menurun. Saya tidak masalah sama sekali, semuanya malah membuat ruang bagi saya untuk bergaul dengan kawanan saya yang hampir sinis dengan kedekatan saya dan Kecil.
Suatu hari, sahabat saya, Wid, mendatangi saya dan bertanya kabar seolah kami tidak berjumpa dalam rentang waktu sedasawarsa. Ia memulai reuni dengan bercanda dan berbagi kisahnya ketika sekian lama saya tenggelam dengan sahabat baru saya.
Kami tertawa lama dan menghabiskan bergelas-gelas kopi instan yang diseduh dengan air hangat seadanya dan terus tertawa karena menyadari betapa banyak hal kecil tapi memiliki memori esensial yang saya lewatkan. Kemudian ia mulai masuk ke topik utama yang membuatnya mendatangi saya. Alasan utamanya mengajak saya bicara sampai ia mau repot membuatkan kopi. Ia berkata pada saya bahwa selama ini kedekatan saya dan Kecil menjadi camilan hangat untuk para pecinta gosip.
Katanya saya dan Kecil adalah pasangan lesbian karena begitu intimnya kami bersahabat. Saya tidak terkejut sama sekali dan tersenyum hampa pada Wid. Saya berkata padanya bahwa saya sudah menebak semua ini. Saya berkata pada Wid bahwa kedekatan seperti itu cepat atau lambat akan memancing gosip miring tentang kami. Lalu saya berkata pada Wid untuk merahasiakan ini agar psikologi Kecil tidak tertekan. Wid setuju untuk merahasiakan ini.
Akan tetapi gosip yang berusaha saya sembunyikan ternyata sudah tersebar ke berbagai tingkatan dan sangat disayangkan, Kecil pun sudah mendengar berita itu. Ia terlihat sedih tetapi ia tidak kunjung bicara tentang apa yang dirasakan. Akhirnya saya mengalah dan mengajaknya bicara duluan.
Seperti yang saya duga, kondisinya tidak begitu baik. Suaranya terdengar parau dan saya bisa melihat kesedihan tepat di matanya. Kecil menangis. Dulu dia berkata bahwa ia sama sekali tidak bisa menangis. Mungkin faktornya sama dengan alasan saya di awal cerita, tidak menemukan orang yang bisa dipercaya. Ketika Kecil menangis, hati saya sakit. Sakit sekali.
Kemudian hari-hari berlalu seperti biasa. Kecil masih diam dan tetap berada di dekat Mel. Kata Kecil, Mel belum tahu kabar miring ini jadi ia berusaha menutup telinga Mel dan berharap Mel tidak tertekan sepertinya. Namun saya tahu apa yang dilakukan Kecil hanya akan sia-sia karena Mel sudah tahu. Hanya saja Mel berusaha menyembunyikan dan bersikap seolah-olah tidak ada hal buruk yang terjadi. Mel sudah terikat dengan Kecil dan ia tidak mau berpisah sedikitpun dengan Kecil.
Ditengah konflik batin ini, Wid kembali menghampiri saya sambil menyodorkan sebuah novel. Katanya ini adalah refresh otak dan kiranya keadaan saya cocok dengan apa yang dikisahkan dalam novel ini. Saya amati baik-baik. Dee ‘Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh’.
Wid selalu tahu apa yang saya butuhkan. Refresh otak kali ini begitu menyenangkan sekaligus membuka kesadaran saya tentang banyak hal. Supernova berkisah tentang pertemuan pasangan gay, Dhimas dan Reuben. Di sini Dee menuliskan gay yang tidak hanya mempertontonkan kegiatan seksual, melainkan juga tentang kecerdasan sains Reuben yang kuliah di John Hopkins Medical School dan kebrilianan sastra Dhimas yang kuliah di George Washington University yang kemudian menjadi salah satu alasan utama mereka untuk berikrar sepuluh tahun setelah pertemuan itu mereka akan membuat sebuah karya.
Saya tidak akan menceritakan keseluruhan kisah karena yang saya jadikan fokus utama disini adalah Reuben dan Dhimas. tentang kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender).
Saya juga memiliki kenalan di sebuah kota, ia perempuan tetapi merasa berjiwa laki-laki. Ia memiliki pacar perempuan dan ia berkata pada saya bahwa ia sudah come out sejak lima tahun yang lalu. Saya terkejut karena pernyataannya yang terkesan berani untuk kalangan manusia minoritas itu. Ia berkata bahwa ini pilihannya.
Saya menerima saja karena pada dasarnya cinta tidak harus terikat akan syarat dan cinta yang terjadi antar LGBT diibaratkan rumah dengan jendela sederhana. Menjadi LGBT bukanlah sebuah kejahatan. Supernova seolah memberi dukungan pada pernyataan saya untuk bersikap terbuka pada semua kalangan dan lapisan masyarakat apapun keadaannya. Entah dia gay, lesbian, transgender, biseksual, negro, berkulit putih, difabel, orang miskin, pejabat, dan lainnya. Selama ia berbuat baik pada saya maka saya akan berbuat baik pula padanya. Sesederhana itu.
Saya tidak tahu maksud Wid meminjami novel ini, yang jelas saya sedikit merasa tersindir. Setelah kehebohan bahwa Kecil dan saya lesbian, saya merasa tersodok. Sebelum tidur, Kecil bahkan selalu melakukan pernyataan pada saya bahwa ia bukan laki-laki. Bahwa kadang ia berharap pemuda yang dicintainya datang ke mimpinya. Ia juga menyatakan bahwa senyaman apapun ia bersama Mel dan saya, ia tidak akan sekonyol itu menyukai sesama jenis. Saya mengerti. Sangat mengerti.
Kemudian Kecil semakin menjadi-jadi. Ia menulis gila-gilaan tentang kisah tiga sahabat yang ia temui. Tentang kecintaannya pada sahabatnya. Tentang kegilaannya tanpa sahabatnya. Ia normal. Sangat normal. Baginya, apa yang terjadi padanya bukanlah sebuah keanehan atau bahkan sesuatu yang menyimpang.
Protesnya pada takdir begitu keras. Di saat seperti itu, saya menyodorkan Supernova, karya Dee. Ia tertegun sebentar ketika membaca awalan kisahnya kemudian berkata pada saya bahwa ia bukanlah lesbian. Saya tertawa mendengarnya kemudian saya berkata padanya bahwa even she’s a lesbian, I am totally fine with people being it. Everyone deserved to be happy. Ia hanya cemberut.
Saya menyodorkan Supernova pada Kecil sama seperti ketika Wid menyodorkan Supernova ke arah saya. Kecil terbengong dan menatap saya dengan tatapan marah. Ia mengira saya menghinanya. Saya berkata pada Kecil bahwa homoseksualitas sebenarnya termasuk realitas yang keberadaannya dipaksa ditiadakan.
Saya juga berkata bahwa banyak orang di luar sana membaca buku tentang homoseksual dengan cara ngumpet-ngumpet karena tidak berani mengumbar judul yang bagi kaum heteroseksual merupakan sebuah ke-aneh-an yang fatal. Supernova merupakan sebuah karya sastra yang berani mengambil tema LGBT dan menceritakannya dengan menarik plot demi plot sehingga tidak terkesan vulgar dan dapat diterima masyarakat terlebih kaum heteroseksual.
Dari beberapa web yang saya baca, hampir semua menerima dengan baik kehadiran kaum LGBT tanpa berkomentar macam-macam. Kebanyakan mereka yang tidak memahami tentang LGBT hanya akan mencecar dan bersikap seolah ia paling paham. Ada yang penasaran namun karena mengenal atau mempelajari LGBT dianggap tabu maka dijauhi oleh masyarakat. Padahal dengan mempelajari kisah hidup LGBT, mereka memiliki kesempatan fifty-fifty untuk mencegah tersebarnya kebencian karena alasan kolot.
Kini, Kecil tidak sekusut dulu. Sekarang, Ia lebih berani menantang dunia dan tidak memperdulikan apakah dia lesbian atau bukan. Toh orang-orang hanya bisa memberi penilaian. Toh nantinya semua orang akan menilai dari apa yang sudah dilakukan dan bukan menilai siapa yang melakukan.
Sampai saat itu tiba, Kecil akan tetap menulis dan bercerita. Saya dan Mel sudah tidak berada di pesantren tetapi tidak menyurutkan niat saya untuk tetap berbagi pada Kecil. Kami masih bisa bertemu walau harus mencari celah dari seabrek rutinitas yang mengungkung.
Kami tetap bersahabat. Dunia kami masih warna-warni dengan segala kabar. Saya bukan siapa-siapa. Saya juga bukan apa-apa. Saya hanya seorang perempuan kecil yang berdiri dengan kaki mungil di dunia yang berdimensi luas. Amat luas tapi tetapi semuanya terkoneksi. Hukum sinkronisitas berlaku. Saya tahu di luar sana ada banyak yang mengalami kejadian seperti saya. Saya bukan satu-satunya.
Pandangan Kecil tentang LGBT pun berubah. Katanya, cinta itu dari hati ke hati. Bukan dari kelamin ke kelamin. Love is not only about sex but the heart. Kita hanya harus berbuat baik pada sesama. Masalah dengan Tuhan, itu urusan transedental mereka. Kita tidak berhak ikut campur.
Pandangan Kecil tentang LGBT pun berubah. Katanya, cinta itu dari hati ke hati. Bukan dari kelamin ke kelamin. Love is not only about sex but the heart. Kita hanya harus berbuat baik pada sesama. Masalah dengan Tuhan, itu urusan transedental mereka. Kita tidak berhak ikut campur.
Tidak semua hal harus diikat oleh suatu hukum. Ada sisi yang membebaskan. Jadi, untuk apa kita melawan arus dan saling menjajah? Life set you free.(R.A.W)
Pride adalah nama pena anak sulung yang lahir pada 25 juli 1996 dari dua bersaudara. Tertarik dengan isu SOGIE sejak 2015 dan come out sebagai queer pada 2017. Bisa berkorespondensi melalui email antiseksis@gmail.com atau kunjungi platform berbagi @anti_seksis di instagram.