Suarakita.org- Minggu, 6 Mei 2018, Suara Kita mengadakan kegiatan Kelompok Diskusi Kritis (KDK) di Bandung, Jawa Barat. KDK kali ini membahas artikel ilmiah tulisan Sharyn Graham Davis berjudul Pengaturan Seksualitas Di Indonesia. Ada 8 orang peserta yang mengikuti KDK kali ini. Mereka datang dari komunitas gay dan umum.
KDK diawali dengan pemaparan Y, peserta asal Ciwidey. Dia memaparkan bahwa dalam artikel ini Davies fokus pada pengawasan. Bagaimana memantau orang guna menata dan mengatur perilaku seksual mereka. Hal ini erat kaitannya dengan bagaimana kekuasaan bekerja. Pengawasan ini bersifat melemahkan namun memberdayakan atau memancing perlawanan kreatif terhadap teknik-teknik pengawasan tersebut. Tiga kasus yang diangkat dalam artikel ini, adalah kasus video porno Ariel Peterpan, penggerebekan hotel di Lombok, dan razia kegiatan kongres kelompok queer di Surabaya.
Ada tiga hal baru yang ditemukan oleh Y. Hal tersebut adalah konsep performative regulation, village biopower, dan kinship of shame. Menurut Y, performative regulation adalah cara-cara negosiasi individu terhadap teknik pengawasan. Village biopower adalah kekuasaan yang mengatur seseorang di level desa. Kinship of shame adalah sebuah konsep yang menjawab bahwa jika seseorang melakukan seks yang tidak baik, misalnya seks di luar nikah, maka yang malu tidak saja individu yang melakukannya, melainkan seluruh keluarganya pun akan menanggung malu.
Setelah sesi presentasi, moderator membuka sesi diskusi. R, peserta asal Antapani menjelaskan bahwa malu memang alat yang kuat untuk mengontrol kelompok gay sehingga mereka tidak bisa menerima diri sendiri, tetapi bukan hanya gay, minoritas agama pun diserang dengan alat yang sama; Malu. R menceritakan pengalamannya sebagai penganut Kristen di Jawa Barat.
Waktu kecil, R dan keluarga pindah ke salah satu Desa di kota M di Jawa Barat. Di kota itu, R dicemooh oleh teman-teman sebayanya dengan teriakan, “Ih, Kristen..” Dia pun menjadi tidak nyaman dengan keyakinannya sendiri. Tak lama kemudian, keluarganya pun pindah ke kampung yang mayoritas beragama sama dengannya.
Kisah menarik diceritakan oleh A, peserta asal Ujung Berung. A adalah seorang gay yang kemudian karena tuntutan keluarga, dia pun memilih menikah secara heteroseksual. Namun, akhirnya identitas A sebagai gay terbongkar jua. Sang mantan pacar lelaki A, membocorkan identitasnya kepada sang Istri. A pun tidak bisa mengelak selain mengaku. Kemudian A bercerai dengan sang Istri. Lalu dia juga berani mengungkapkan identitas seksualnya ke keluarga. Kini, A merasa lega bisa melepas beban itu.
“Diskusi ini sangat bagus,” ungkap Selly Rianawati, observer KDK. Selly menilai, diskusi ini sangat aktif. Selly mengungkapkan artikel ini sangat ilmiah yang mungkin banyak orang tidak paham bila tidak menggelutinya, tetapi peserta KDK tetap membacanya. Hal itulah yang dia suka. Dia pun menyarankan perlu ada gay yang meneliti tentang isu ini, “Karena kalianlah yang merasakan langsung (pengaturan tersebut – red).” TGH