Search
Close this search box.

Revisi KUHP: Dosa yang Dipidana

Oleh: Naila Rizqi Zakiah*

SuaraKita.org – Selama beberapa minggu terakhir, perdebatan sengit mengenai apakah LGBT warga negara Indonesia harus dikriminalisasi telah meningkat. Argumen yang tidak pernah berakhir tentang hak LGBT dihidupkan kembali menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menolak petisi Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang berusaha memperluas cakupan artikel dalam KUHP tentang hubungan seks di luar nikah dan hubungan seks sesama jenis.

Ketua Majelis Rakyat Konstitusional (MPR), Zulkifli Hasan, menambah panas suasana saat dia membuat klaim yang tidak berdasar bahwa Dewan Perwakilan Rakyat membahas RUU tentang LGBT dan pernikahan sesama jenis dan lima partai politik berusaha untuk melegalkan perilaku LGBT. Sebagai reaksi, para politisi sekarang mempercepat upaya untuk melegalisasi revisi KUHP, termasuk ketentuan yang akan mengkriminalkan hubungan seks sesama jenis.

Tapi sementara media dan masyarakat memusatkan perhatian pada kriminalisasi homoseksualitas, usulan revisi KUHP jauh lebih luas, dan berusaha mengkriminalkan semua hubungan seks di luar nikah, tanpa memandang gender. Propaganda anti-LGBT telah mengaburkan ancaman revisi terhadap privasi dan hak asasi manusia semua orang Indonesia. Ada bahaya nyata bahwa masyarakat akan mendukung peningkatan kriminalisasi berdasarkan argumen moral dan agama tanpa mengetahui atau memikirkan konsekuensinya.

Sejatinya, KUHP sendiri sudah mengkriminalisasi perzinaan. Tapi ketentuan perzinaan berlaku untuk hubungan seksual antara dua orang yang sudah menikah dan orang yang bukan pasangan mereka, dan merupakandelik aduan. Ini berarti hanya dianggap sebagai kejahatan jika pihak yang merasa telah dirugikan akibat perbuatan tersebut melaporkannya ke polisi. Namun, Pasal 484 dari revisi KUHP tersebut mengubah zina di mana salah satu pihak yang telah menikah menjadi ‘pelanggaran normal’ (tidak berdasarkan keluhan atau laporan), yang berarti bahwa setiap orang dapat melaporkan kasus ini ke polisi.

Yang paling penting adalah bahwa Pasal 484 memperluas definisi zina untuk semua hubungan seksual di luar nikah. Jika seorang lelaki dan perempuan yang tidak terikat dengan “pernikahan yang sah” melakukan hubungan seksual, mereka dapat menghadapi hukuman lima tahun penjara. Pasal 484 (2) menjelaskan bahwa jenis perzinahan ini (antara dua orang yang belum menikah) akan diadili berdasarkan keluhan dari pihak ketiga. Artikel tersebut tidak mengandung definisi yang jelas tentang pihak ketiga, yang bisa ditafsirkan secara longgar. Dapatkah masyarakat mengklaim sebagai pihak ketiga? Seorang tetangga? Atau polisi? KUHP yang direvisi dapat membuka jalan bagi siapa pun di masyarakat untuk mencampuri urusan sesama warga negara, yang pada dasarnya memberikan dasar hukum untuk penganiayaan kepada orang-orang yang melakukan hubungan seksual di luar nikah.

Risiko dari revisi ini jelas terlihat. Bahkan jika tidak ada undang-undang yang mengatur persekusi semacam ini, beberapa penduduk telah bertindak sebagai polisi moral, menangkap atau mengekspos sesama warga negara Indonesia atas nama moralitas. Pada bulan November 2016, misalnya, Front Pembela Islam (FPI) menggerebek kompleks apartemen Kalibata City dan menekan polisi untuk menangkap 13 lelaki yang mereka tuduh melakukan pesta seks di sebuah kamar pribadi. Dan pada bulan November tahun lalu, sekelompok penduduk setempat memasuki sebuah rumah pribadi di Cikupa, Tangerang, Banten, dan menuduh pasangan muda melakukan hubungan seks pranikah. Mereka memaksa pasangan tersebut untuk telanjang telanjang dan mengarak mereka di jalan, di mana warga lainnya memfilmkan dan memotret mereka dan kemudian membagikan video secara online.

Jika usulan revisi KUHP ini benar-benar disahkan, serangan main hakim sendiri akan meningkat. Orang mungkin merasa berhak melakukan razia pada individu LGBT Indonesia, remaja, pasangan yang belum menikah, atau bahkan pasangan suami istri. Tidak hanya itu, politisi dan pendukung reformasi lainnya sebaiknya berhati-hati – mungkin saja mereka tertangkap sebagai LGBT yang mereka jelek-jelekkan! Tidak sulit membayangkan para politisi menggunakan hukum sebagai alat untuk menjegal lawan politik mereka karena ditangkap atas tuduhan hubungan seksual di luar nikah.


Perubahan yang diusulkan juga akan secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok yang paling rentan di masyarakat, seperti perempuan, anak-anak, orang miskin dan masyarakat adat. Meskipun banyak anggota masyarakat percaya bahwa revisi terhadap KUHP adalah tentang menegakkan standar moral melawan hubungan homoseksual dan apa yang disebut sebagai “seks bebas”, revisi KUHP tersebut menargetkan semua jenis kelamin di luar pernikahan yang sah. Menurut Undang-Undang pernikahan 1974, sebuah pernikahan sah bila terdaftar dalam catatan pemerintah – pernikahan keagamaan informal (nikah siri) tidak diakui secara hukum. Kebanyakan orang Indonesia yang melakukan nikah siri berasal dari warga miskin.

Survei Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) tahun2012 terhadap hampir 90.000 rumah tangga menemukan bahwa dari 55 Persen  keluarga miskin, 30 Persennya tidak memiliki buku nikah.

Jika revisi KUHP yang baru diberlakukan, pernikahan yang tidak terdaftar, seperti pernikahan keagamaan informal (nikah siri) yang sering dikaitkan dengan poligami akan dikriminalisasi, seperti pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum adat. Tapi nampaknya sebagian besar orang menyangkal hal ini, karena menurut mereka pernikahan nikah siri itu sah meski tidak terdaftar. Sebenarnya, polisi akan membutuhkan bukti, seperti surat nikah, untuk menghentikan penuntutan. Berapa banyak pejuang moral pendukung revisi KUHP yang menyadari bahwa mereka dapat dipenjara karena pernikahan informal mereka?

Ketentuan zina dalam revisi KUHP juga dapat mempengaruhi perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual. Pemerkosaan dan kekerasan seksual sangat sulit dibuktikan. Korban perempuan menanggung beban untuk membuktikan tuduhan mereka. Jika mereka gagal, dan pelaku mengklaim bahwa hubungan seks itu bersifat konsensual, polisi bisa menuduh pasangan tersebut melakukan hubungan seks di luar nikah (zina). Korban perkosaan bisa jadi dianggap pelaku perzinahan. Perempuan sudah menghadapi hambatan yang cukup besar untuk melaporkan kekerasan seksual – ini hanya akan membuat korban semakin banyak yang tidak mau melaporkan kasus mereka.

Ketentuan revisi zina juga dapat menyebabkan kriminalisasi pada anak-anak. Pendukung revisi tampaknya tidak memperhatikan hak anak-anak, terutama terkait dengan kekerasan seksual dan eksploitasi. Di bawah Undang-Undang Perlindungan Anak, jika orang dewasa melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur, anak di bawah umur akan dianggap sebagai korban dan dilindungi oleh negara. Tapi revisi pasal tentang zina tidak mengacu pada usia, dan menyebabkan tumpang tindih dan konflik dengan perlindungan yang ada dalam ketentuan lainnya. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 60 persen pelanggaran hak anak terkait dengan kekerasan seksual. Jika KUHP yang baru diterapkan, jutaan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, dapat dipenjara, memperburuk masalah kepadatan dalam penjara yang sudah akut yang dihadapi Indonesia.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang secara moral konservatif sehingga sedikit mengherankan bila banyak orang khawatir tentang hubungan seksual di luar nikah. Tapi untuk mendorong agar kebijakan kriminal menangani perbuatan yang dianggap berdosa atau melanggar nilai agama atau moral itu salah dan sangat berbahaya. Tidak semua tindakan amoral harus dikriminalisasi.

Jika revisi KUHP tersebut diloloskan dalam bentuknya saat ini, ini akan merupakan kemunduran besar bagi penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia. (R.A.W)


*Naila Rizqi Zakiah adalah seorang pengacara di LBH Masyarakat. LBH Masyarakat adalah organisasi nirlaba yang memberikan bantuan hukum gratis untuk kelompok yang terpinggirkan seperti LGBT, orang yang hidup dengan HIV (ODHA), pengguna narkoba, pekerja seks dan orang-orang yang menghadapi hukuman mati atau eksekusi di Indonesia.

 

Sumber:

Unimelb