Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Bagi suku Maori yang merasa tidak cocok dengan konsep gender dan seksualitas yang telah disusun sedemikian rupa, istilah takatāpui dapat membuat mereka merasa lega.

Elizabeth Kerekere, seorang ilmuwan berpendapat bahwa suku Maori pra-kolonial merupakan orang-orang yang eksperimental secara seksual yang secara terbuka menerima gender dan fluiditas seksual.

Siapa pun yang merasa tidak cocok dengan heteroseksualitas dianggap “takatāpui”.

Elizabeth Kerekere, yang mengidentifikasi sebagai lesbian, telah menghabiskan lima tahun menulis tesisnya dan menemukan bukti bahwa takatāpui baru ada di masyarakat pra-kolonial. Hasil penelitiannya baru-baru ini dirilis di Universitas Victoria.

Elizabeth Kerekere, yang mengidentifikasi sebagai lesbian, telah menghabiskan lima tahun menulis tesisnya dan menemukan bukti bahwa takatāpui baru ada di masyarakat pra-kolonial. Hasil penelitiannya baru-baru ini dirilis di Universitas Victoria. 

Sekarang dia sedang dalam misi untuk menormalisasi istilah tersebut dan menciptakan penerimaan bagi LGBT Maori.

“Takatāpui adalah bagian dari whanau (sekelompok orang dalam masyarakat), kami tidak terpisah, kami tidak dikucilkan, kami tidak difitnah karena menjadi diri kami sendiri,” kata Elizabeth Kerekere.

Budaya Polinesia lainnya memiliki konsep serupa untuk orang-orang non-biner seperti fa’afafine di Samoa, māhū di Hawaii, dan fakaleiti di Tonga.

Elizabeth Kerekere yang kini berusia 51 tahun mengatakan bahwa cerita takatāpui dapat dilihat dalam kisah kepala suku Wiremu Maihi Te Rangikāheke yang menceritakan kisah cinta Maori yang terkenal antara Hinemoa dan Tūtānekai. Dalam versi Te Rangikāheke ketika Tūtānekai jatuh cinta dan menikahi Hinemoa, dia menyesali hilangnya sebuah hubungan yang intim dengan seorang lelaki bernama Tiki, yang merupakan hoa takatāpui (pasangan sesama jenis) nya.

Elizabeth Kerekere mengatakan fakta bahwa mereka intim secara seksual cukup jelas.

“Beberapa orang mengatakan itu bukan tindakan seksual, tapi apa arti “intim” menurut Anda?”

Maori adalah suku yang positif secara seksual sebelum kolonisasi. Hal ini bisa dilihat pada cerita dan nyanyian, kata Elizabeth Kerekere, seperti waiata (nyanyian) tentang seorang perempuan tua yang bernyanyi tentang bagaimana dia dapat berkeliling negeri trsebut dengan vaginanya.

“Seks adalah bagian normal dari kehidupan. Ada banyak kebanggaan dalam hal keterampilan. Jika Anda ingin berhubungan seks, sebaiknya Anda melakukannya dengan baik.”

Tesis Elizabeth Kerekere mengutip kisah misionaris William Yates dikirim pulang ke Inggris karena terlibat dalam masturbasi dan oral seks bersama lebih dari 100 lelaki muda Maori. Yang menarik adalah bahwa dalam berita pengadilan dikatakan bahwa “suku Maori tidak merasa malu dan tidak percaya ada yang salah,” kata Elizabeth Kerekere.

“William Yates dianggap sangat memalukan Gereja karena kemanapun dia pergi, dia terus melakukannya.

“Kuncinya adalah bahwa itu diterima oleh suku Maori.”

Seiring budaya Inggris yang menyebar ke Maori, kebebasan seksual dimusnahkan, kata Elizabeth Kerekere. perempuan dan anak-anak dipandang sebagai budak dan pelayan lelaki.

“Kolonisasi mengubah segalanya – ekspresi seksualitas kami, perempuan yang mengendalikan tubuh mereka sendiri, kepemimpinan perempuan.

“Kami kehilangan semua itu, memiliki fluiditas, menjadi polimino … seksualitas kami dicuri.”

Elizabeth Kerekere menganalisis 150 peribahasa tentang jenis kelamin, hubungan dan seksualitas untuk tesisnya. Dia menggambar dan melukis untuk menemukan pola dalam citra mereka. Kebakaran dan “ngobrol di malam hari” adalah metafora umum untuk seks, katanya.

Saat itulah dia menemukan whakatauki (pepatah) “Nga korero ahiahi o Hinewha” yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “obrolan malam antara perempuan”. Setelah melihat metafora lain Elizabeth Kerekere meyakini itu sebenarnya berarti seks antara dua  perempuan atau lebih.

“Obrolan di malam hari ‘sering merupakan kiasan untuk seks. Bila Anda melihat semua contoh  lain dan di masing-masing peribahasa itu berarti seks, artinya “obrolan” ini juga berarti seks.

“Anda tidak bisa berhubungan seks di siang hari, itu berarti Anda malas. Ada banyak whakatauki tentang seks di malam hari.

“Ini adalah bukti baru takatāpui yang pertama dalam beberapa dasawarsa. Ketika saya menemukannya, saya sangat bersemangat.”

Elizabeth Kerekere percaya bahwa dia telah menemukan dua whakatauki lainnya, yang menyinggung hubungan lelaki poliamori dan yang lain adalah perempuan poliamori.

Organisasi Rainbow Youth baru saja merilis buku kedua mereka mengenai takatāpui yang berjudul Growing up Takatāpui: Whānau Journeys untuk melibatkan keluarga dalam perkembangan hidup anak mereka.

Manajer komunikasi organisasi tersebut, Toni Duder mengatakan dengan menggunakan konsep tersebut adalah sebuah cara untuk menghormati budaya Maori dan gagasan mereka seputar gender dan seksualitas.

“Menggunakan kata takatāpui mengatakan bahwa Anda signifikan, ini adalah bagian dari ke-Maori-an Anda, merasa nyaman dengan siapa Anda sebenarnya.

“Menjadi orang suku Maori dan memiliki keberagaman jenis kelamin atau seksualitas, adalah bukan hal yang bertentangan. Sebenarnya mereka benar-benar cocok satu sama lain.” (R.A.W)

 

Sumber:

NZherald