Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Amahl Azwar tahu semua risikonya. Ketika dia masih muda, Amahl adalah penggemar film Tom Hanks, Philadelphia – sebuah film tentang homoseksualitas dan HIV. Dia juga menyaksikan Kupu-Kupu Ungu, serial lokal yang mencoba meningkatkan kesadaran akan HIV di tahun 90an. Tapi Amahl masih saja melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan sesama lelaki. Dia akhirnya tertular HIV.

“Ketika seorang lelaki yang sedikit lebih ganteng tertarik kepada saya, dan dia tidak ingin menggunakan kondom, saya menyerah,” tulisnya dalam sebuah esai. “Itu terjadi berkali-kali, saya tidak menghitung, jadi ketika kesehatan saya mulai memburuk akhir tahun, saya sudah tahu apa yang terjadi pada tubuh saya. Kebodohan saya baru saja membuat saya tertular. “

Amahl tidak sendirian. Epidemi HIV di Indonesia pertumbuhannya terpasuk cepat  di Asia (dengan Filipina sebagai negara yang paling cepat). Sementara negara telah membuat langkah-langkah dalam memperlambat infeksi baru di kalangan pengguna narkoba suntikan, pejabat kesehatan telah berjuang untuk menghentikan infeksi baru di antara komunitas LGBT di Indonesia.

Pada tahun 2002, infeksi HIV di antara lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (“LSL” bahasa LSM) mencapai 2,4 persen. Pada tahun 2015, angka itu sepuluh kali lebih tinggi, mencapai 25,8 persen, menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Secara nasional, sebanyak 26 persen LSL HIV positif, menurut sebuah survei oleh UNAIDS.

Dan di Jakarta, infeksi HIV secara keseluruhan masih terus meningkat. Ada hampir 600 kasus baru di ibukota Indonesia pada tahun lalu, namun menurut pejabat komisi, sulit untuk mengetahui apakah kenaikan ini berasal dari kenaikan infeksi baru atau taktik survei yang lebih baik.

Diperkirakan ada 92.920 orang yang hidup dengan HIV di Jakarta, menurut Kementerian Kesehatan. Namun pada tahun 2015, pejabat kementerian hanya mengidentifikasi 47.440 kasus, yang berarti bahwa puluhan ribu orang HIV positif tetap berada di bawah tanah, tidak sadar, atau tanpa pengobatan. Kementerian Kesehatan mengharapkan untuk mencapai semuanya pada tahun 2020.

“Sampai saat itu kami akan mendorong orang-orang untuk memeriksakan diri mereka dengan sukarela sehingga kami dapat mengidentifikasi orang-orang dengan HIV yang tidak mengetahui status mereka,” kata Kristina Suharto, kepala bidang promosi dan pencegahan Komisi Pencegahan AIDS Propinsi DKI Jakarta.

Tapi semakin sulit menemukan kasus baru tersebut. Indonesia sedang berada di tengah kepanikan anti-LGBT. Kaum fundamentalis agama mencoba meyakinkan pengadilan untuk melarang hubungan sesama jenis. Seorang pejabat tinggi pemerintah menyebut komunitas LGBT sebagai ancaman lebih berbahaya daripada bom nuklir dan senjata dalam sebuah “perang proxy” yang sedang berlangsung dengan Barat. Polisi Syariah di provinsi Aceh baru-baru ini menangkap dua lelaki yang ditangkap oleh warga yang diduga melakukan hubungan seks di rumah pribadi-sebuah tindakan yang mendorong terjadinya kecaman global sedemikian rupa sehingga pihak berwenang diperintahkan untuk menghentikan hukum cambuk yang dilakukan di depan umum.

Ini menyebabkan lelaki gay seperti Paijo berpikir dua kali sebelum mengungkapkan orientasi seksualnya secara terbuka.

“Saya telah mengetahui tentang serangan dan tindakan polisi terhadap LGBT, baru-baru ini, seperti 2 bulan yang lalu,” kata Paijo.  “Saya belum akan menyensor diri sendiri, hanya saja saya menjadi lebih selektif terhadap siapa saja yang berinteraksi dengan saya, pekerjaan apa yang saya jalani, dan lingkungan apa yang saya tempati. Saya mengunci semua media sosial saya dan melakukan pembersihan menyeluruh terhadap akses internet saya. “

Di jalanan, kepanikan tersebut memicu serangkaian tindak kekerasan dan penangkapan di klub malam ramah-gay, kamar hotel, dan tempat tinggal pribadi. Polisi mengatakan bahwa orang-orang tersebut melanggar undang-undang anti-pornografi di Indonesia, sebuah undang-undang kontroversial yang memungkinkan petugas melakukan penggerebekan terhadap sesuatu yang dianggap “tidak bermoral” atau “menyimpang”.

Penggerebekan tersebut mendorong komunitas LGBT di negara itu lebih jauh ke bawah tanah, sehingga membuat organisasi pencegahan HIV menjadi lebih sulit terhubung dengan komunitas yang berisiko. Unit pengujian keliling seperti yang dijalankan oleh Yayasan Suwitno digunakan untuk menawarkan tes dan konseling HIV yang aman di tempat nongkrong LGBT yang populer di Jakarta. Namun LSM tersebut memarkir unit bergerak di tengah kekhawatiran bahwa stafnya akan ditangkap dalam sebuah penggerebekan.

“Orang-orang ketakutan,” kata Fajar Prabowo, seorang pimpinan program di Yayasan Suwitno. “Sangat sulit membuat orang datang ke klinik. Sekarang lebih sulit lagi untuk mencapainya.”

Fasilitas pengujian konvensional menghadapi ancaman serupa. LSM Gaya Warna Lentera Indonesia (GWR-INA) telah bertahun-tahun membela hak masyarakat LGBT untuk melakukan tes dan menerima perawatan di fasilitas kesehatan nasional. LSM berjuang melawan diskriminasi, mencoba memerangi stigma untuk meminta tes HIV atau mengakui bahwa Anda gay, lesbian, atau transgender.

Namun beberapa pusat kesehatan sekarang menolak untuk melakukan tes HIV untuk anggota komunitas LGBT. Tempat lain menawarkan pengujian, namun masih melakukan diskriminasi, mengkritik atau mempermalukan orang-orang yang datang dan meminta tes HIV, Kata Slamet Raharjo, seorang aktivis di GWL-INA. Sentimen anti-LGBT ini menciptakan lingkungan di mana orang terlalu takut untuk mencari pertolongan medis.

“Pemerintah terlalu membesar-besarkan,” kata Slamet. “Di satu sisi, pemerintah memiliki program penanggulangan HIV / AIDS untuk komunitas gay, transgender, dan komunitas LSL, namun di sisi lain, mereka melepaskan semua peraturan yang melarang komunitas LGBT. Keduanya bertentangan satu sama lain.”

Masyarakat juga semakin sulit dijangkau, kata Slamet. LSM tersebut mencoba mencari cara baru untuk menjangkau orang-orang, mengalihkan fokusnya ke pertemuan yang lebih kecil, lebih pribadi dan tertutup sehingga mereka dapat menghindari pandangan mencibir dari para fundamentalis religius.

“Mereka tidak lagi datang ke tempat di mana mereka biasanya berkumpul atau mencari pasangan seksual karena tokoh agama dan fundamentalis yang intoleran cenderung menutup tempat-tempat itu,” katanya. “Jadi sulit untuk bertemu dengan mereka dan berbagi informasi dan konsultasi yang diperlukan. Kami tidak dapat membuat sesuatu yang besar. Kami tidak dapat mempromosikan acara kami secara terbuka.”

Indonesia melaporkan kasus HIV pertamanya pada tahun 1987. Sejak itu, lebih dari 13.000 orang telah meninggal dunia saat pemerintah berjuang untuk memerangi epidemi dan stigmatisasi yang terus berlanjut. Indonesia diberi peringatan dalam laporan PBB 2014 bahwa mereka “tertinggal” dalam perang global melawan HIV / AIDS.

Pejabat kesehatan bergegas untuk mengintensifkan upaya untuk menguji, mencegah, dan mengobati infeksi HIV baru. Tapi sekarang, dengan tindakan anti-LGBT yang menimbulkan ketakutan, banyak yang bertanya-tanya apakah survei nasional berikutnya akan lebih buruk lagi.

“Semua tindak penggerebekan oleh polisi – yang berpotensi menyalahgunakan hak asasi manusia – telah berdampak,” kata Slamet. “Sejak 2016, jumlah individu transgender dan gay yang melakukan tes HIV terus menurun.” (R.A.W)

Sumber:

Vice