SuaraKita.org – Hakim di Mahkamah Agung Taiwan telah memutuskan untuk mendukung kesetaraan pernikahan, keputusan ini adalah yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. Parlemen Taiwan sekarang diharapkan untuk mengubah undang-undang tersebut atau mengeluarkan undang-undang baru. Selama ini undang-undang pernikahan Taiwan dianggap tidak konstitusional. Keputusan untuk mendukung kesetaraan pernikahan yang dikeluarkan pada Rabu (24/5) kemarin timbul di saat komunitas LGBT menghadapi diskriminasi yang meningkat di wilayah tersebut.
Komunitas LGBT berharap para legislator hanya akan mengubah undang-undang pernikahan yang sudah ada agar mereka mendapatkan hak yang setara termasuk dalam hak adopsi, mengasuh anak, hukum waris, dan membuat keputusan satu sama lain dalam keadaan darurat medis. Mereka khawatir parlemen tidak akan melakukan itu dan malah akan menyusun undang-undang baru yang hanya mengakui dan memberi mereka beberapa hak, namun perlakuannya tidak setara dalam segala hal.
Namun kelompok agama dan kalangan orang tua menentang langkah tersebut dengan mengatakan bahwa mereka akan melobi parlemen agar tidak mengeluarkan undang-undang tentang legalisasi. Mereka berpendapat bahwa hal penting yang mempengaruhi keseluruhan masyarakat seharusnya tidak diputuskan hanya oleh beberapa orang hakim agung, namun oleh rakyat dalam sebuah referendum.
Taiwan dikenal dengan nilai-nilai liberal dan menyelenggarakan acara Taiwan Pride Parade setiap tahun. Momentum untuk kesetaraan perkawinan telah dibangun sejak tahun lalu, ketika Presiden Tsai Ing-wen, yang secara terbuka mendukung langkah tersebut, mulai berkuasa. Namun perdebatan tersebut telah memicu sebuah serangan balasan, dengan demonstrasi massa oleh kaum konservatif dalam beberapa bulan terakhir.
Sekarang, panel yang terdiri dari 14 hakim agung telah memutuskan untuk mendukung kesetaraan pernikahan. Parlemen Taiwan, yang dikenal sebagai Legislatif Yuan, akan memulai proses untuk mengubah undang-undang tersebut. Jalan Rancangan Undang-Undang untuk kesetaraan pernikahan menuju parlemen telah terbuka, walaupun proses tersebut agak melambat karena oposisi dari kalangan tradisionalis, yang tidak ingin Taiwan menjadi tempat pertama di Asia untuk kesetaraan pernikahan. (R.A.W)
Sumber: