Search
Close this search box.

[Kisah] Cara Ady Melawan Tindakan Abusif

Oleh: Siti Rubaidah

Suarakita.org – Ditemani segelas lemon squash dan suasana yang cukup romantis di sebuah cafe taman di bilangan Tebet, Suara Kita berkenalan dan wawancara dengan Ady (bukan nama sebenarnya).  Sosok tamu Suara Kita kali ini adalah seorang mahasiswa berdomisili Depok.

Saat berkenalan terlihat bahwa sosok Ady sangat ramah dan hangat. Dia terlihat sangat feminim dan semampai dengan tinggi badan 170 cm dan berat badan 50 kg.  Berbalut kaos dan celana pendek hitam, dengan rambut sebahu bercat warna kuning keemasan dan riasan wajah serta celak mata yang eksentrik membuat sempurna penampilannya malam itu.

Setelah sesi perkenalan yang singkat, Ady tak segan menuturkan kisahnya kepada Suara Kita. Dari ceritanya yang polos banyak hal yang bisa menjadi pembelajaran. Di mana, kekerasan seringkali dihadapi oleh kaum homoseksual. Masyarakat menganggap mereka sebagai orang aneh dan menyimpang sehingga layak untuk dihina, dilecehkan, dan dipukul. Sementara itu sistem hukum di negara kita belum memberikan pembelaan dan perlindungan bagi kelompok ini. Sehingga mereka rentan, terpinggirkan dan menjadi kelompok minoritas yang terampas hak-haknya tanpa ada perlindungan.

“Awalnya aku kuliahjurusan Desain Interior di sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang cukup ternama di Jakarta. Tetapi di sana kurasa kurang homofriendly, walaupun banyak homonya tetapi yang muncul adalah senioritas. Di sana aku sering mendapatkan ancaman dan teror yang membuat tidak nyaman sehingga kuputuskan pindah,” papar Ady mengawali perkenalannya.

Disertai senyuman getir ia melanjutkan kisahnya. Ady adalah anak hasil hubungan di luar nikah atau kehamilan yang tidak dikehendaki oleh keluarganya. Sehingga ketika mamanya mengandung keluarga besarnya sangat membenci. Mereka menganggap bahwa kehamilan tersebut menjadi aib dan pemecah belah keluarga.

Setelah lahir, Ady  kecil seringkali mendapat perlakuan buruk dari keluarga. Latar belakang keluarganya yang Polisi dengan disiplin yang keras menjadi penyebab dirinya mendapatkan perlakuan keras dan kasar.

“Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Awalnya aku dan mama tinggal di rumah orang tua papa, tetapi karena banyak hal yang membuat tidak nyaman maka kami sering berpindah-pindah dan tinggal di rumah kontrakan. Kelas 4 Sekolah Dasar orang tuaku bercerai. Setelah itu ayah melarang kami bertemu dengan mama.”

Ady merasa sendirian karena hubungan dengan papanya  tidak dekat, dengan kakek dan nenek juga tidak dekat. Sementara kontak dengan mamanya sangat dibatasi. Ada sebuah kejadian yang membuat ia dan papanya tidak berbicara hampir 4 tahun.

“Suatu ketika aku membawa adik-adik bertemu mama. Saat pulang kami membawa sisa makanan ke rumah dan ketahuan oleh papa. Sedihnya papa membakar makanan kami. Aku bahkan tidak boleh punya HP karena takut akan kontak mama,” kenangnya.

Berbeda dengan adik-adiknya yang lebih dekat dengan ayah dan kakek-nenek, Ady justru merasa sendiri. Sebagai anak kecil yang masih SD pastilah ingin banyak cerita kepada orang tuanya. Tetapi karena ada larangan bertemu dan kontak mama maka membuat Ady sedih, bingung dan merasa terasing di rumah sendiri. Yang dilakukannya setiap hari tak lebih dari sekedar keluar masuk, makan-minum, minta duit dan tidur. Oleh karena itu ia memilih dekat dengan teman-teman dan jarang pulang ke rumah.

“Aku mempunyai seorang paman yang entah kenapa sangat membenciku. Dengan alasan yang tidak jelas dia marah dan bersikap abusif terhadap aku yang masih kanak-kanak. Suatu hari, saat ayah dan keluargaku ke luar kota, dia menyekap aku di kamar, menutup kepalaku dengan bantal dan memukuli aku. Untung kemudian datang PRT kami dan mencoba melepaskan aku dari perlakuan kasar pamanku. Tapi pamanku berdalih bahwa dia memukuli karena aku menggunakan narkoba. Padahal aku sama sekali tidak melakukannya.”

Pasca kejadian itu, ia dan adik-adiknya terpaksa pergi dari rumah dan menginap di rumah tetangga. Ketika mamanya datang, mereka dilarang untuk bertemu. Padahal kondisi Ady sangat parah, biru lebam seluruh badan akibat dipukuli. Tetangga yang care berusaha untuk melaporkan kejadian. Tetapi mungkin karena latar belakang keluarga yang Polisi dan cukup terpandang maka laporannya musnah begitu saja. Dan anehnya, seminggu setelah kejadian tetangga yang menolong tiba-tiba pindah rumah. Sangat misterius untuk Ady

Termasuk ketika dirinya mengadu kepada guru di sekolah, Ady malah mendapatkan jawaban yang tidak masuk akal, “Mungkin itu salah kamu, coba kamu introspeksi diri lagi.”

Atas kejadian tersebut, Ady berusaha menghubungi Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dipimpin oleh Kak Seto. Ia mendapatkan informasi tentang adanya Komisi Nasional Perlindungan Anak dari seorang teman yang kebetulan ayahnya bergabung di sana.

Ketika Ady menceritakan kronologi kejadian ada rasa simpati dan kasihan, tetapi sayang setelah melapor tidak ada tindakan apapun. Ia menduga, apakah karena mereka kenal dengan keluarganya sehingga kasus ini tidak ditindaklanjuti? Dan pertanyaan ini sampai sekarang belum terjawab juga.

Tak berhenti sampai disitu, Ady juga melaporkan kekerasan yang dialaminya ke lembaga-lembaga LGBT Internasional yang diketahuinya dengan cara browsing di internet. Saat itu dirinya menganggap di Indonesia belum ada lembaga semacam itu. Setelah banyak yang memberikan saran dan masukan agar melaporkan kekerasan yang dialaminya ke lembaga lain.

“Waktu itu aku masih SMP. Sangat tidak mengenakkan datang bolak-balik ke beberapa lembaga, kemudian menceritakan kejadian yang sama secara berulang-ulang, sangat menguras tenaga dan membuat capek, “ jawabnya kesal.

Begitulah penuturan kisah sedih Ady yang kemudian membuatnya terus mencari keadilan dan berjuang. Kini dirinya sudah bukan anak kecil lagi. Sejak diusir oleh Pamannya tahun 2016, Ady mengaku sempat menginap selama 2 bulan di rumah Pendeta Gereja Komunitas Anugerah di Salemba. Dari sanalah kemudian dirinya berkenalan dengan banyak komunitas, seperti Arus Pelangi, Suara Kita, Jakarta Feminist Discussion Group dan SGRC.

Menurutnya, “Kalau di kampus aku lebih pilih-pilih teman karena seringkali mereka ofensif ke aku. Tetapi ketika di komunitas–komunitas yang mendukung, seperti Jakarta Feminis Discussion Grup, dimana orang-orangnya sangat ramah, maka aku lebih positif. Ketika di jalan karena aku bermake-up maka sering di harrast. Tetapi kini teman-temanku yang protektif.”

Kini dirinya telah tumbuh menjadi remaja yang aktif dalam berbagai komunitas dengan segudang aktifitas yang produktif.