SuaraKita.org – Dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKtP), mendorong DPR untuk segera membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, sekaligus sebagai pengakuan dan penghormatan kepada perempuan korban kekerasan seksual, Departemen Kriminologi FISIP UI, PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan), Perempuan Berbagi, dan Program Studi Kajian Gender UI, bergotong royong mengadakan Nobar Film “PINK” dan Diskusi “Rape Culture & Women’s Consent Issue dalam Kekerasan Seksual terhadap Perempuan”, pada Kamis, 5 Desember 2016 lalu, di Aula Gedung Komunikasi FISIP UI, Depok.
Nonton bareng dan diskusi ini diikuti oleh lebih dari seratus peserta yang datang dari beberapa kalangan seperti mahasiswa, aktifis perempuan, aktifis kemanusiaan, akademisi, para penyintas, seniman, dan masih banyak lagi. Usai film diputar, terasa sekali suasana haru di ruangan apalagi setelah Chrissy Siahaan, yang menjadi pembawa acara kali ini, menangis. “Saya entah mengapa tidak bisa tertawa melihat film ini, saya menangis.”
Usai istirahat makan siang dan snack, diskusi pun dimulai. Pembicara pertama adalah Merlyn Sopjan dari PKBI. Merlyn menceritakan kisahnya sebagai seorang Transgender Perempuan di Indonesia. “Saya pernah ditawari seumlah uang oleh laki-laki, kemudian saya tolak, laki-laki itu kemudian berkata ‘Banci saja sok-sokan menolak!'”
Menurut Merlyn, stereotip perempuan yang minum minuman alkohol, merokok, dan lainnya itu harus diluruskan bukannya menjadikannya syarat mutlak untuk diperkosa. “Pola pikir masyarakat Indonesia harus di-brainstorm.”
Pembicara kedua yakni perwakilan dari Perempuan Berbagi, Dewi Nova, yang mengatakan bahwa film Pink ini menceritakan bagaimana budaya perkosaan itu bekerja. Perempuan yang membagi senyum pada laki-laki, pegang-pegang, dan mabuk itu selalu dipandang sebagai objek seksual oleh laki-lakinya.
“Banyak perda yang diskriminasi pada perempuan, contohnya Syariat Islam di Aceh, kalian bisa cek sendiri siapa yang paling banyak dicambuk.” tutur Dewi. Dalam film Pink ini, menurut Dewi konsteksnya berbeda dengan yang ada di Indonesia, “Di film ini karakter-karakternya sudah independen dan mapan. Tapi kalo saya, tinggal di desa yang sumber mata airnya sudah diambil oleh tambang, menjadikan saya tikap punya konsen itu.”
Selanjutnya, microfon berpindah ke tangan Nur Iman Subono, salah satu pegajar Ilmu Politik dan Kajian Gender di universitas Indonesia. Laki-laki yang biasa disapa Boni ini mengatakan seharusnya acara ini diadakan khusus untuk laki-laki, karena laki-laki lah yang harusnya dididik. “Data dari Pulih mengatakan bahwa hampir 90% pelaku kekerasan adalah laki-laki. Perempuan tidak perlu diajarkan untuk membela diri, tapi laki-lakinya yang harus diajarkan utnuk tidak memperkosa.”
Menurut Boni, laki-laki juga seharusnya berorganisasi untuk mendukung gerakan perempuan. “Dulu ada namanya Cantik (Cowok-Cowok Anti Kekerasan -Red), kalau sekarang ada yang namanya Aliansi Laki-laki Baru. Tapi organisasi laki-laki ini harus terhubung ke organisasi perempuan dan hanya sebagai pendukung, bukan Leading.”
Pembicara yang terakhir adalah Mamik Sri Supatmi, seorang Kriminolog Universitas Indonesia. Menurutnya, menyalahkan korban pemerkosaan akan berdampak pada berlipat gandanya jumlah korban. “Pemerkosaan juga terjadi di luar ekspetasi masyarakat yang patriakal. Menurut saya penting bagi korban mau berbicara, meskipun sulit untuk bicara. Yang lebih menarik, mengapa ia tidak bisa berbicara?”
Selesai pemateri menyampaikan materinya, kami beranjak pada sesi pertanyaan. Ada tiga penanya pada diskusi kali ini. Yang pertama adalah Amalia Bahar, menurutnya teks-teks keagamaan juga sangat mempengaruhi budaya perkosaan ini, “Kita juga harus menampilakn teks-teks secara general, sehingga bisa ditafsirkan secara berbeda. Kemudian, saya ingin bertanya, sudah sejauh mana advokasi yang dilakukan?”
Penanya selanjutnya, Helga Worotitjan yang seorang penyintas kekerasan domestik mengatakan, “Film ini bagus, tapi sayangnya saya tidak lagi merasakan sedih, tapi justru marah. Ini seperti menonton Cinderella, kita jangan terbuai dengan ending filmnya.”
Helga juga menekankan bahwa sekarang sedang terjadi rasisme di Indonesia. “Apa yang harus atau bisa kita lakukan setelah acara ini? Tidak ada lagi tempat-tempat aman untuk perempuan.”
Yang terakhir datang dari Ferena Debineva, salah satu founder dan chairperson dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC), Indonesia. Menurutnya perempuan tidak semudah itu untuk mengatakan ‘tidak’, “Kejadiannya tidak seindah di film. Ada konsen yang tidak kita lihat.”
Menurutnya juga, sekarang ini tidak ada lagi tempat yang aman untuk perempuan. “Ketika saya bilang kepada orang-orang bahwa saya dilecehkan oleh seseorang, mereka tidak percaya dan malah mengatakan ‘gak mungkin, dia kan ganteng, baik, innocent’, atau ketika saya bilang bahwa saya mengkaji seksualitas, orang-orang berpikiran ‘wah, bisa ‘dipake’ nih, kamu kan ahlinya‘. Kita jangan menganggap bahwa semuanya sudah setara padahal tidak begitu kenyataannya.”
Menjawab pertanyaan di atas, Merlyn mengatakan bahwa acara-acara seperti ini memang akan selalu menjadi basi karena tidak menghasilkan sebuah keputusan ataupun produk. “Tapi saya selalu punya harapan. Saya percaya orang-orang yang datang hari ini akan menjadi agen-agen perubahan.”
Menurut Dewi Nova, apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengenali apa dan siapa yang kita hadapi. Seperti watak patriakal, fundamentalisme, kapitalisme, dan yang lainnya. “Seberapa jauh kita sudah membersihkan diri kita dari watak-watak di atas? Meskipun pada akhirnya kita akan diganggu oleh mereka karena mereka merasa terganggu dengan kita yang tidak mau mengikuti regulasi mereka. Kita tidak akan mundur. Perempuan Berbagi juga pada awalnya mengadvokasi perempuan-perempuan korban kekerasan, namun itu terasa rutin sekali. Hampir setiap hari selalu ada korban, sedangkan sumber masalahnya kita biarkan.”
Jawaban Mamik hampir bernada sama seperti Dewi di atas, “Kalau kita menyerah, itu akan menyenangkan orang-orang jahat itu.”
Menurut Boni, sekarang ini orang-orang masih selalu menggunakan moralitas masa lalu di zaman sekarang yang sudah banyak berubah kondisinya. “Jika ditanya apa yang sedang kita lakukan, kita ini sedang mengubah peradaban.” tutupnya.