Search
Close this search box.

[Opini] Rezim Heteronormativitas, Adat Ketimuran, dan Nasionalisme

“The less justified a man is in claiming excellence for his own self, the more ready he is to claim all excellence for his nation, his religion, his race, or his holy cause.”

– Eric Hoffer

Oleh: Wida Puspitosari

SuaraKita.org – Bulan November selain dikenal sebagai bulan paling romantis sepanjang tahun juga dikenal sebagai bulan perayaan toleransi dan kenangan atas perjuangan transgender di seluruh dunia. Romantisme ini terpotret pada peristiwa-peristiwa solidaritas yang diadakan di jalanan kota seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Kendati beberapa minggu sebelumnya Indonesia tengah mengalami kemerosotan potret diri karena adanya selebrasi intoleransi, namun beberapa lapisan warga negara yang lain rupanya tidak mau kalah menyampaikan sepenggal harapan dan solidaritasnya kepada kelompok minoritas seperti transgender pada tanggal 20 November kemarin.

Sebagian masyarakat Indonesia pada tanggal 20 November tidak pernah lupa memperingati hari ini: Transgender Day of Remembrance (TDoR), hari mengenang seorang transgender Amerika yang mati dibunuh. Kenangan itu tidak hanya dimunculkan melalui ingatan atas hari-hari pedih seorang transgender, namun juga debat publik menyoal tekanan sosial yang membuat sebagian besar lapisan sosial kita turut menjadi pelanggeng kekerasan terhadapnya. Jika kita mau membuka diri pada wacana besar yang sedang membelenggu kehidupan transgender, isu dominannya secara berlangganan pada heteronormativitas. Konteks heteronormativitas pada umumnya sering dimaknai sebagai ide besar yang mengatur seluruh perikehidupan seksualitas manusia. Pengaturan ini secara tegas mendikte bahwa semua latar seksualitas setiap orang wajib mengikuti tata cara yang dipegang oleh kelompok yang memiliki norma seksual mayoritas – bahkan kini ia menjalar hingga ranah konstitusional. Hal ini, dengan sedih hati saya katakan bahwa heteronormativas sebenarnya telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan bernegara – beberapa diantaranya terpotret pada kebijakan formal dan informal. Konsekuensi logis atas kondisi ini secara otomatis bermuara pada hilangnya akses sosial-ekonomi-budaya-politik kelompok transgender dalam proses pembangunan – karena transgenderisme sendiri merupakan latar seksualitas yang tidak dapat diterima dalam heteronormativitas.

Ketika saya bertemu dengan intelektual seksualitas Dede Oetomo, diskusi kritis mengenai heteronormativas ini menurutnya juga menurun pada wacana ‘adat ketimuran’. Sebagaimana yang kita tahu, sebagian besar masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi adat ketimuran; definisinya, bahwa setiap warga negara Indonesia ditabukan untuk mengikuti segala hal yang berkaitan dengan nuansa ‘kebaratan’, katakanlah transgenderime. Hal ini tentu menggelitik saya dan Dede saat itu, mengingat produsen wacana ‘adat ketimuran’ itu sendiri sebenarnya adalah ‘barat’. Mengapa demikian? Jadi begini, jika kita pernah membaca buku Edward Said (Orientalism) dan Samuel Huntington (The Clash of Civilization and Remaking the World Order) tentang masyarakat timur misalnya, pandangan ketimuran merupakan proses pelanggengan kekuasan barat atas timur melalui wacana-wacana eksotisme yang menyangkut nilai, norma, adat, geopolitik dan kemunduran masyarakatnya (peliyanan ala mereka). Proses ‘eksotisasi’ ini sendiri tidak berjalan instan. Sebagaimana proses pembentukan pengetahuan kolektif, ia membutuhkan waktu berabad-abad untuk dilanggengkan, salah satunya melalui belenggu penjajahan, dan bangsa Indonesia tak pelak mengalaminya. Masyarakat ketimuran dalam hal ini Indonesia, secara tak sadar dan berabad-abad lamanya, sebetulnya telah mengkonsumsi wacana yang justru datang dari kelompok penindas. Sehingga, jangan salahkan alam semesta dan seisinya jika bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran ini pada akhirnya justru dikenal sebagai bangsa penindas – salah satu korbannya, kelompok minoritas transgender.

Di sisi lain, seiring dengan dinjunjung-tingginya adat ketimuran, nasionalisme yang tumbuh dari bangsa Indonesia alih-alih adalah nasionalisme yang tidak sebegitu murni sebagaimana yang digadang-gadang selama ini. Bilamana nasionalisme adalah identifikasi kesetiaan emosi kita pada bangsa dan negara yang berteguh pada adat ketimuran, lantas satu hal yang patut dijadikan pertanyaan penting adalah: apakah kita merasa bangga menjadi nasionalis sekaligus heteronormatif? Bagaimana mungkin seorang menjadi nasionalis dan heteronormatif? Pada kondisi ini, sayangnya, banyak masyarakat kita tidak memahami esensi kesejerahan sebuah bangsa dan konsepsi mengenai nasionalisme itu sendiri. Kendati demikian, tak sedikit pula yang menganggap jika mereka yang tidak memegang adat ketimuran adalah bukan nasionalis, atau, mereka yang tidak tunduk pada heteronormativitas bukanlah juga nasionalis? Sungguh, memahami nasionalisme tidak dapat serta merta dilakukan dengan hanya menganggukkan kepala pada sebuah model kebijakan. Jika saya boleh berkaca pada postulat Hobsbawn (1992), nasionalisme adalah sebuah penciptaan negara-bangsa yang terikat kuat dengan kebersamaan emosional serta perjuangan komunitas terbayangnya. Karena nasionalisme sendiri adalah ide tentang perjuangan, maka seorang nasionalis sepatutnya adalah seorang yang peka pada isu penindasan. Menjadi pembela hak-hak minortitas adalah watak utama seorang nasionalis.