SuaraKita.org – Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Prof. Dr. Syamsu Qamar Badu, M.Pd memutuskan untuk mengambil tindakan tegas terhadap mahasiswa lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di kampus. Syamsu berencana membentuk tim khusus untuk memantau para mahasiswa yang mengidentifikasi dirinya sebagai LGBT. Mereka akan diwajibkan untuk menghadiri sesi khusus agar dapat “disembuhkan”, dan jika mereka menentang kewajiban tersebut, universitas akan menjatuhkan sanksi berat terhadap mereka. Pihak universitas mengancam akan menggunakan seluruh instrumen yang bisa digunakan. “Salah satunya dengan mencabut beasiswa, jika dia adalah penerima beasiswa, serta fasilitas lainnya,” kata Syamsu.
Menurut seorang pegiat isu LGBT di Gorontalo, kebijakan rektor UNG itu diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Menurutnya, tidak mudah bagi seorang LGBT untuk mencicipi pendidikan tertinggi seperti di universitas. Banyak kalangan LGBT putus sekolah di tengah jalan, karena berbagai tindakan diskriminatif, mulai dari ejekan hingga kekerasan fisik. Maka kebijakan rektor UNG merupakan bentuk diskriminasi. “Dari mana si rektor bisa mengidentifikasi seseorang LGBT atau tidak? Kalau pun dia laki-laki kemayu belum tentu dia gay, begitupun sebaliknya,” katanya. Sementara itu, pegiat LGBT lainnya juga menilai kebijakan itu tidak mempunyai dasar yang kuat, serta lemah secara ilmu pengetahuan. Orientasi seksual, menurutnya merupakan perkara privat dan tidak bisa dipaksakan. “Itu sangat berbahaya dan menciptakan ketidakadilan di institusi pendidikan,” ujar pegiat tersebut yang juga seorang mahasiswa.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia , Prof. Intan Ahmad, mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan rencana untuk mencabut beasiswa dan fasilitas kampus lainnya jika mahasiswa LGBT tetap mengidentifikasi diri mereka sebagai LGBT. “Menurut saya, mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan beasiswa sebagai warga negara terlepas dari ras, agama, dan lainnya, saya berencana untuk mengunjungi UNG untuk membahas masalah ini dengan rektor. Saya menyarankan agar UNG tidak mencabut beasiswa untuk mereka” kata Intan.
Terlepas dari perdebatan pro dan kontra tentang LGBT di Indonesia tidak lantas bisa membuat institusi pendidikan seperti UNG, semena-mena melakukan tindakan diskriminatif terhadap mahasiswa LGBT. Untuk itu Koalisi Pembela Keberagaman menyatakan sikap sebagai berikut:
- Menghentikan tindak-tindak diskriminasi dan ketidakadilan berdasarkan orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender (SOGIE), dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh Universitas Negri Gorontalo.
- Mengakui secara resmi bahwa orang-orang dengan SOGIE (Sexual Orientation Gender Identity) yang beragam, sebagai Mahasiswa Universitas Negri Gorontalo.
- Menjamin hak untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat bagi setiap mahasiswa Universitas Negri Gorontalo dengan memastikan agar tidak ada diskriminasi dalam proses tersebut.
- Mencabut pernyataan dan kebijakan diskriminatif terhadap mahasiswa LGBT yang dapat mengganggu proses pembelajaran dan akses mendapatkan pendidikan.
- Menjamin tersedianya perlindungan sosial dan pendidikan non diskriminatif dan setara bagi orang-orang dengan orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender yang beragam.
- Semua mahasiswa harus mendapat kesempatan dan kesetaraan yang sama dalam memperoleh pendidikan untuk mengembangkan potensi diri.
KOALISI PEMBELA KEBERAGAMAN
- Suara Kita
- Arus Pelangi
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Manado
- Forum Berdikari Tomohon (FOBERTO)
- Gamacca
- GWL Kawanua Sulut
- KDS Smile Plus
- Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan
- Komunitas Sehati Makassar
- Manado Men Community
- MALEO SULTENG
- Sanubari Sulawesi Utara (SALUT)
- Satu Hati Manado
- Lapeksdam NU Kota Gorontalo
- GusDurian Gorontalo
- Padjadjaran Resource Center on Gender and Human Rights Studies (PadGHRS) Bandung.
Sumber