Search
Close this search box.

[Liputan] Diskusi Publik: “Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Pilgub DKI?”

Oleh: Dewi Nova*

SuaraKita.org – Selasa, 1 November 2016, Presiden RI Joko Widodo mengundang ulama dari MUI, NU dan Muhamadiyah terkait aksi bela Islam pada 4 November 2016. Pertemuan itu,  menurut Rois Syuriah, Pengurus Besar NU Ahmad Ishomuddin,  menghasilkan kesepakatan penyikapan dari ketiga institusi ulama terkait aksi 4 November. Kesepakatan tersebut antara lain, ketiga lembaga ulama bersepakat tidak menganjurkan umat Islam melakukan demonstrasi, guna menjauhkan dari kerusakan yang lebih besar dan untuk menjaga kesatuan NKRI. Sedangkan kepada yang memilih melakukan aksi,  agar mempercayakan proses hukum kasus Ahok pada kewenangan negara dan menjalankan demonstrasi yang aman dan tertib. Penjelasan itu disampaikan Ahmad pada diskusi publik “Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Pilgub DKI?” yang diselenggarakan di The Wahid Institute, Jakarta (1/11/2016).

Penjelasan Ahmad Ishomuddin mendapat tanggapan dari panelis Sidney Jones yang mempertanyakan mengapa pemerintah baru bersikap pada H-3 sebelum aksi bela Islam. Mengapa langkah-langkah yang lebih strategis tidak dilakukan negara jauh hari, sebelum aksi 4 November semakin rentan ditunggangi kepentingan kelompok garis keras.  Perempuan, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict ini juga mengingatkan pembiaran negara, antara lain, terhadap pernyataan politisi Fadli Zon yang menyatakan tidak bertanggung jawab bila Ahok tidak diproses secara hukum. Mengapa ancaman seperti itu dibiarkan menjadi  cara kerja berpolitik di Republik Indonesia.  Terkait penegakan hukum, Sidney mengkritik hukuman pemenjaraan yang hanya 6 bulan pada anggota FPI yang memaksakan kehendak pada tahun 2014. “Orang seperti takut melawan pemaksaan kehendak, karena mereka takut dicap tidak menghormati Islam,” tutur Sidney. Hal itu menurutnya menunjukan bagaimana agama diperalat. Situasi seperti itu harusnya dapat dicegah dan menjadi tanggung jawab pemerintah RI.

Terkait pernyataan Ahok di pulau Seribu, Sidney menanggapi bahwa banyak orang tersinggung oleh Ahok itu fakta, tetapi pengolahan rasa tersingung menjadi aksi 4 November itu hal lain. Sidney menyayangkan,  pemerintah tidak tanggap mengantisipasi sejak dini. Akibatnya, kini aksi 4 November menjadi kendaraan bagi banyak kepentingan kelompok garis keras. Kepentingan lain tersebut terindikasi dengan penyebaran foto orang-orang berseting Suriah yang menunjukan tulisan –hukum Ahok dan Peti Mati– yang tersebar di sosial media. Sidney juga mengajak wartawan untuk terus melakukan penyelidikan media, dari mana dana besar untuk aksi bela Islam bersumber?

Hal lain yang perlu dipahami bahwa kebebasan berekpresi tidak sama dengan menyebar kebencian. Karena menyebar kebencian adalah tindakan melanggar hukum yang telah diatur dalam hukum pidana. “Jangan sampai kampanye memuculkan anti Cina mengatasnamakan kebebasan berekpresi,” tegas Sidney.

Menutup diskusi publik tersebut Ahmad Ishomuddin juga menyampaikan bahwa suasana warga yang semakin  intoleran juga karena mereka tidak mengerti agama dan berbangsa dengan benar. Karena itu, ia menganjurkan umat Islam untuk belajar berbangsa selain beragama.

* Ibu Rumah Tangga dan Penulis buku  Perempuan Kopi dapat dihubungi melalui  dewinova.wahyuni@gmail.com