Oleh: Siti Rubaidah
SuaraKita.org – Margarethe Cammermeyer, seperti yang dikisahkan dalam otobiografinya, Serving in Silence (1994), dilahirkan pada tahun 1942 di Oslo. Cammermeyer adalah seorang Amerika keturunan Norwegia yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga konservatif dan tradisional. Hidup dengan latar belakang keluarga dan masyarakat heteroseksual yang masih memegang nilai-nilai konvensional di mana enkulturasi yang membedakan kaum laki-laki dengan perempuan menjadi sebuah tradisi, Cammermeyer tumbuh dan berkembang menjadi seorang perempuan yang lain daripada perempuan kebanyakan pada masanya. Tinggi dan kuat serta menyenangi hal-hal yang penuh tantangan seperti olahraga, menjadikan Cammermeyer seorang yang tomboy (Perempuan maskulin -Red).
Cammermeyer muda segera menyadari bahwa menjadi seorang perempuan pada waktu itu bukanlah merupakan suatu kebanggaan. Menurutnya, perempuan dengan segala ‘kelemahannya’ yang tersubordinasi oleh dominasi laki-laki memang memiliki ‘kekuatan’ untuk melakukan ataupun mendapatkan apa yang diinginkannya.
Apa yang telah dialami oleh Cammermeyer sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Penderitaan akibat Perang Dunia II yang mempengaruhi kehidupan keluarganya menjadi motivasi tersendiri baginya untuk terjun di bidang kemiliteran. Dominasi laki-laki yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam kehidupan militernya, mendorong Cammermeyer untuk menjadi seorang perempuan yang tidak kalah dengan kaum laki-laki, bahkan berusaha menjadi yang terbaik di bidangnya.
Sempat mengalami kehidupan rumah tangga “normal” yang bahagia -dengan bersuamikan seorang tentara yang bernama Harvey, dan mempunyai empat orang putra: Matt, David, Andy dan Tom- dan terbiasa dengan stereotip masyarakat terhadap ‘sex-gender system’ di lingkungannya, Margarethe Cammermeyer tetap merasa bahwa menjadi seorang heteroseksual seperti yang lainnya tidak membuatnya benar-benar nyaman dan bahagia, terutama setelah bercerai. Namun Cammermeyer tidak mempunyai keberanian dan kepastian untuk merasa sebagai seorang lesbian dan menjalani kehidupan heteroseksual yang melingkupinya. Awalnya, Cammermeyer termasuk seorang yang ‘homophobic’ seperti masyarakat umumnya pada waktu itu, yaitu pada masa tahun 1970-an dan 1980-an.
Meski demikian, seperti juga yang dialami oleh kaum homoseksual lainnya, Cammermeyer mengalami masa transisi di akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an di mana ia mulai menemukan identitasnya sebagai seorang lesbian dan menyadari pentingnya untuk terbuka walaupun harus menerima perlakuan diskriminasi dari orang-orang, bahkan sistem di lingkungannya. Karena itulah Cammermeyer bertekad berjuang melawan diskriminasi yang dialaminya dengan menjadi tentara dengan pangkat tertinggi pertama yang menentang ‘The Military’s Antigay Policy”.
Perjuangan yang dilakukan oleh Margarethe Cammermeyer untuk menentang diskriminasi yang menimpa dirinya, karena keterbukaannya sebagai seorang lesbian, jelas merefleksikan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi yang menjadi dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Amerika. Namun demikian, kemenangannya di peradilan militer untuk mempertahankan keberadaan kaum homoseksual di lingkungan kemiliteran tidak membuat Cammermeyer cepat merasa puas dan berhenti berjuang. Bahkan setelah melewati begitu banyak pengalaman berharga, Cammermeyer mengutarakan:
“I will continue to fight, now directing my energy to state and national civil rights bills to ensure that all Americans are protected by the Constitution. I want my sons and their children, my grandchildren, to live in an America that truly offers fredom and justice for all.” (Cammermeyer, 1994: 308).
Walaupun apa yang disuarakannya tidak menegaskan pembelaannya terhadap kaum homoseksual –khususnya lesbian- dan kaum perempuan, namun Cammermeyer selalu mendasari tindakan dalam perjuangannya dengan pengalamannya sebagai seorang tentara, seorang perawat, seorang perempuan, seorang ibu, seorang nenek, dan seorang lesbian yang hidup dengan pasangannya –Diane Divelbess- layaknya sebuah keluarga. Tidaklah mengherankan bila Cammermeyer memfokuskan perjuangannya pada isu-isu seputar kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan keluarga. Dengan dorongan berbagai kalangan ia memutuskan untuk mengikuti pemilihan anggota Kongres di Amerika tahun 1998 dan bergabung bersama Partai Demokrat yang program-program unggulannya sesuai dengan apa yang ingin diperjuangkannya.
Terjun di bidang politik untuk menjadi public officer, yang berarti juga memasuki dunia baru di luar dunia kemiliteran yang telah digelutinya selama lebih dari 30 tahun, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi Cammermeyer dan para pendukungnya. Popularitasnya sebagai pejuang hak asasi yang merepresentasikan kelompok-kelompok minoritas di Amerika, seperti kaum lesbian, kaum perempuan dan kaum homoseksual semakin meningkat.
Setelah otobiografinya difilmkan dan meraih banyak penghargaan, simpati masyarakat Amerika pun semakin mengalir, bahkan menarik perhatian dunia. Partisipasi politiknya pun kemudian menjadi isu nasional dan komoditas politik baik bagi mereka yang pro maupun yang kontra. Hal tersebut bisa menjadi keuntungan tersendiri sekaligus kerugian yang perlu diantisipasi oleh Cammermeyer dan pendukungnya. Keuntungannya jelas berupa dukungan bagi perjuangannya, baik berupa dukungan suara maupun dukungan dana dari berbagai kalangan. Sedangkan kerugiannya bisa berupa ‘ancaman’ dari kelompok oposisi terhadap perjuangan Cammermeyer dan para pendukungnya yang bisa mempengaruhi masyarakat umum dalam memberikan penilaiannya pada saat pemilihan berlangsung.
Cammermeyer yang menjadi kandidat anggota House of Representatives mewakili negara bagian Washington harus bisa memenangkan suara publik Washington terlebih dahulu. Ia harus dapat merebut simpati publik Washington dengan membuktikan diri bahwa ia mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan mereka melalui proses politik di dalam lembaga Kongres.
Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah Margarethe Cammermeyer yang telah menjadi figur nasional masyarakat Amerika mampu menjadi kandidat yang mewakili negara bagian Washington? Permasalahan yang muncul kemudian bukan terletak pada kapabilitas Cammermeyer untuk mempresentasikan kepentingan lokal di tingkat nasional, tetapi lebih pada kepercayaan publik Washington itu sendiri terhadap Cammermeyer sebagai kandidat yang akan mewakili mereka.
Pada kenyataanya, setelah menjalani proses pemilihan anggota Kongres yang cukup panjang, di mana sebelumnya ia telah memenangkan primary election dan menjadi kandidat dari Partai Demokrat, Cammermeyer harus menerima kekalahan dari Jack Metcalf –lawan politiknya dari kubu Partai Republik- dengan persentase perolehan suara 45 berbanding 55 (CNN.com,14 Januari 2002). Padahal kalau dilihat dari banyaknya sponsor yang mendukung dan dana yang didapatkan, serta program-program yang dikampanyekan oleh Cammermeyer –seperti Social Security and Medicare, LIMOs and Patient Protection, Education and Protecting Children– seharusnya Cammermeyer dapat memenangkan pemilihan tersebut. Kenyataannya, Cammermeyer kalah dengan Jack Metcalf yang merupakan politisi kawakan dan sudah berkecimpung di dunia politik lebih dari 40 tahun.
Cammermeyer menyatakan bahwa sebab-sebab kekalahannya: Pertama, disebabkan oleh tidak adanya pengalaman dari arus bawah (grassroot) yang mendukungnya. Kedua, orang-orang Partai Demokrat lama tidak mendukungnya karena tidak mengenalnya. Ketiga, kubu lawan merupakan politisi kawakan yang biasanya menang dalam persaingan politik. Keempat, ada beberapa perlawanan –atau lebih tepatnya, keengganan- dari publik karena takut pada penilaian sekitar bila mendukung seorang lesbian yang mengikuti pemilihan anggota Kongres.
Walaupun Cammermeyer selalu menekankan bahwa identitas sebagai lesbian bukanlah merupakan penyebab kekalahannya, dan bahkan identitas kandidat bukan merupakan suatu isu dan tidak boleh menjadi objek dalam kampanye, tetapi jelas terlihat bahwa identitas lesbiannya masih menjadi momok bagi sebagian masyarakat Amerika. Bahkan Jack Metcalf pun secara diplomatis masih mengkritik gaya hidup lesbian Cammermeyer yang dianggapnya menyimpang.
Sumber bahan:
Triana Ahdiati, Gerakan Feminis Lesbian, Studi Kasus Politik Amerika 1990-an, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007.