Search
Close this search box.

[KISAH] Aku Hidup Demi Ibu

Suarakita.org- Menurut situs www.wegiveadamn.org, dua dari lima remaja lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kerap berpikiran untuk melakukan bunuh diri.  Satu dari tiga diantara mereka yang berpikiran seperti itu  benar-benar melakukan bunuh diri.

“Aku benar- benar stres, I was so desperate, aku enggak bisa seumur hidup akting terus, aku benar benar tertekan, mungkin bunuh diri jalan terbaik”, ungkap Dwi, cowok feminim asal Tomohon, Sulawesi Utara, menceritakan pengalamannya via telepon kepada  Suara Kita, Jum’at 2 September 2016.

Dwi (bukan nama sebenarnya), lahir di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, 26 tahun lalu. Dia bercerita, sejak kecil dirinya memang berkelakuan feminim.  Dia merasa dirinya adalah transgender, tapi penampilannya yang masih terlihat cowok membuat dia merasa tidak pantas menyebut diri sebagai seorang transgender. Sejak masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dia kerap dijadikan objek kekerasan baik verbal maupun fisik  oleh teman-temannya juga Ayahnya.

Suatu ketika, saat Dwi berumur 14 tahun, Sang Ayah pulang ke rumah dan langsung marah-marah. Sang Ayah memarahi Dwi setelah dia dinasehati oleh temannya. Teman Sang Ayah yang berpapasan di jalan itu menilai kalau Dwi berkelakuan sudah sangat feminim. Sang Ayah pun merasa malu mendengar  penilaian kawannya itu. Setelah puas marah-marah, Sang Ayah langsung menghantam Dwi dengan kursi, “Bikin malu keluarga”, kata Sang Ayah.

Sejak saat itu Dwi kerap dijadikan sasaran kekerasan fisik dan verbal oleh ayahnya dari mulai umpatan bikin malu sampai direndam dalam kolam ikan. “Padahal sebelumnya tidak seperti itu.” ungkap Dwi.

Apa yang dialami Dwi saat SMP itu sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian  dan psikologis dia selanjutnya.  Masuk Sekolah Mengah Atas, Dwi bertekad untuk selalu ‘menjaga’ kelakuan agar tidak terlalu kelihatan feminim. “Setiap kata, setiap tindakan, aku pikirkan baik-baik, aku enggak mau kelihatan feminim, aku enggak mau mempermalukan keluarga.” kenang Dwi.

Hal itu berlanjut terus sampai Dwi masuk ke jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Negeri Manado. Dwi mengakui bahwa kehidupannya di masa kuliah lebih baik daripada sebelumnya, dia tidak mendapat cercaan dan sebagainya. Namun Dwi tetap merasa tertekan. “Hidup dalam akting terus-terusan mau sampai kapan?” ujar Dwi.

Hingga pada satu titik, di tahun 2011, Dwi berpikir bahwa mungkin dia bisa ‘sembuh’, bisa menjadi lelaki seutuhnya, lelaki yang maskulin. Untuk memenuhi keinginannya saat itu, Dwi pun terbang ke Semarang dan Jakarta untuk melakukan hipnoterapi. “Ini mungkin jalan keluar, dengan  cara aku melakukan terapi hipnoterapi bisa mengubah alam bawah sadarku, aku bisa 100% manly,” pikir Dwi saat itu.

Namun Terapis di klinik hipnoterapi itu berkata lain. Katanya yang seperti ini (lelaki kemayu – red) tidak bisa diubah. Bahkan Si Terapis mengungkapkan bahwa tidak ada sesi hipnoterapi yang bisa mengubah cowok kemayu menjadi manly (maskulin – red),  “Kamu harus bisa menerima diri  Kamu apa adanya, hipnoterapi itu bukan sulap.” nasihat Terapis saat itu.

Setelah mendengar nasihat Terapis, Dwi pun pulang ke  Manado dengan tekad kuat bahwa dia  harus menerima diri apa adanya. Namun  itu sulit sekali dilakukan Dwi. Hingga di tahun 2013, saat dia sudah semester akhir, saat itu pula Dwi sedang skripsi, dia dalam keadaan yang sangat stres. Perseteruan antara  suara hati dengan suara rasio berada di puncaknya. “Aku ingin pake pakaian perempuan, tapi aku takut penolakan.” ungkapnya.

Saat itulah Dwi berpikir bahwa mungkin bunuh diri adalah cara yang terbaik. Untuk melaksanakan niatnya itu, Dwi pun mencari informasi mengenai cara-cara bunuh diri. Ada beberapa pilihan, ada loncat dari kapal laut, sampai menabrakkan diri ke kendaraan.  Akhirnya Dwi berencana bunuh diri dengan menyilet nadi sambil berendam di bak air dan minum obat tidur dosis tinggi, konon katanya bunuh diri dengan cara ini paling tidak menyakitkan. “Jadi aku udah bulat akan mati dengan cara ini,” katanya.

Setelah merencanakan bunuh diri berhari-hari, Sang Ibu tiba-tiba menelpon Dwi.  Suara Sang Ibu terdengar sedih di telinga Dwi. Melalui telepon, Sang Ibu menceritakan kegelisahannya.  Sang Ibu bercerita kalau semalam dia bermimpi buruk, “Kamu sehat-sehat kan?” tanya Ibunya. Dwi  pun mengiyakan.

Sang Ibu melanjutkan, bahwa dia bermimpi sedang ada di satu persidangan. Dia melihat Dwi, anaknya, sedang dihakimi oleh beberapa hakim. Di persidangan itu Sang Ibu juga melihat banyak orang yang teriak-teriak minta Dwi untuk dihukum.  Spontan, Sang Ibu langsung memohon sambil menangis, “Tolong-tolong jangan dihukum anakku, dia tidak tahu apa yang dilakukan, tolong jangan dihukum.” cerita Sang Ibu.

Mendengar cerita Sang Ibu, Dwi syok dan terdiam. “Kamu baik-baik kan?” tanya Sang Ibu lagi. Dengan cepat Dwi jawab iya. “Aku baik-baik di sini, itu kan cuma mimpi” kata Dwi ke Sang Ibu. Di hadapan Sang Ibu, Dwi tidak mau menunjukkan kondisi dirinya yang sedang depresi. Setelah telepon ditutup, Dwi pun langsung menangis.

“Aku enggak boleh begini, Aku enggak boleh mengakhiri hidupku, kalau aku mengakhiri hidupku siapa lagi yang menjaga Ibu.” tekad Dwi dalam hati.

Sejak saat itu, Dwi berjanji akan tetap tegar. Bahwa dia harus hidup. Dia hidup bukan untuk dirinya sendiri.  “Aku harus hidup bukan cuma untuk diriku tapi untuk Ibuku juga.” ujarnya.

Menurut Dr. Hastaning Sakti, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro,  untuk mencegah seseorang melakukan tindak bunuh diri, harus  dibangkitkan kesadaran diri bahwa dirinya berharga, berguna, dan memiliki potensi.  (Teguh Iman)