Oleh : Hartoyo
Irshad Manji, seorang feminis teolog asal Kanada yang menulis buku “Beriman Tanpa Rasa Takut” dan “Allah, Liberty and Love” ditolak oleh kelompok anti dialog (pro kekerasan), baik di Jakarta, Solo maupun Yogyakarta. Salah satu alasan penolakan karena persoalan personal Irshad, sebagai muslim, juga sebagai lesbian. Walau kita tahu, kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan anti toleransi menggunakan berbagai asalan untuk meyerang pemikiran yang berbeda.
Dari mulai seksualitas, ideologi (s0sialis-komunis-liberal), ras (Barat), jenis kelamin (perempuan), perbedaan pandangan agama (Ahmadiyah,Syiah sampai perbedaan agama (non muslim). Intinya semua yang berbeda, harus ditolak, diserbu, dipukul sampai dibunuh (kasus Ahmadiyah).
Kita bisa kilas balik tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok anti toleran ini, misalnya kegiatan Konferensi International Gay Lesbian Association (ILGA) Asia ke-4 batal dilaksanakan 26- 28 Maret 2010 di Surabaya Jawa Timur akibat tekanan dari kelompok garis keras yang tergabung dalam FUI dan FPI, juga dibubarkan. Padahal Konferensi itu telah mendapat rekomendasi dari Kepolisian Daerah Jatim Wilayah Kota Besar Resor Surabaya Selatan REKOM/67/III/ 2010/POLRES tanggal 3 Maret 2010. Anehnya polisi memilih tunduk pada intimidasi kelompok garis keras dibandingkan mempertahankan rekomendasi yang mereka keluarkan sendiri.
Ini menunjukkan kegagalan kepolisian dalam melindungi setiap warga negaranya untuk berkumpul dan berekspresi. Hak kami sebagai warga negara yang diatur dalam UUD 45 telah dikalahkan oleh kelompok garis keras. Tindakan mereka jelas-jelas melanggar hukum telah memaksakan kehendak pada orang lain dengan menggunakan kekerasan. Sulit dipikirkan mengapa polisi sebagai aparat negara telah kehilangan wibawa dan kekuatan di hadapan kelompok pelaku kekerasan. Bahkan Menteri Agama RI Surya Dharma Ali menyatakan pelaksana konferensi ILGA Asia dapat dipidanakan. Karena dapat dianggap sebagai bentuk penodaan agama dan pelecehan susila.
Tindakan pelarangan ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kita masih ingat pada tanggal 13 Februari 2010 para waria di Banda Aceh melakukan kegiatan malam sosial mendapatkan kecaman dari para ulama di Aceh. Menurut Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Ali di Banda Aceh bahwa “kegiatan itu telah menodai pelaksanaan syariat Islam di Aceh”. Demikian juga dengan kejadian di Tasikmalaya, yaitu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tasikmalaya Achef Noor Mubarok akan melakukan pembinaan kepada 900 gay yang bekerjasama dengan Departemen Agama (Depag) dan Polisi Resort (Polres) Kota Tasikmalaya, dengan alasannya karena gay dianggap sebagai penyakit mental dan dinilai sebuah adzab.
Kekeliruan umum dalam memahami homoseksualitas di Indonesia masih sangat kuat. Meskipun tuduhan bahwa homoseksualitas itu sama dengan “penyakit mental” “kelainan jiwa” dan beberapa keliruan lainnya sebenarnya telah lama dianulir. Pada tahun 1973 American Psychiatric Association (APA) menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa. Kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990 secara resmi mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Sehingga 17 Mei dijadikan momentum peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual.
Di Indonesia sendiri dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) jangan dianggap sebagai suatu gangguan. PPDGJ I-III oleh Depkes ditetapkan sebagai acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indoensia. Sehingga tuduhan oleh orang atau kelompok bahwa homoseksual selalu dikaitkan dengan gangguan jiwa ataupun penyakit hanya sebuah asumsi dan tuduhan yang tidak berasalan.
Saya pribadi adalah seorang gay yang hingga saat ini terus menghayati keislaman saya. Saya dibesarkan di keluarga dan masyarakat muslim Muhammadiyah. Saya muslim yang meyakini ajaran yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya: Muhammad Saw seperti sholat, puasa dan juga berbuat baik pada orang lain. Tidak ada perbedaan ritual ibadah yang saya lakukan dengan umat Islam pada umumnya. Keyakinan Islam saya bukanlah seperti keyakinan yang dituduh “sesat” oleh ulama, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Syiah.
Pertanyaan yang sering mengganggu saya adalah mengapa kebencian sebagian ulama yang dalam hal ini diwakili kelompok garis keras sangat besar kepada homoseksual? Tak hanya sebagian ulama yang memiliki kebencian terhadap homoseksual, tetapi juga pemerintah. Hampir semua peraturan daerah tentang pelacuran, maksiat, perbuatan asusila memasukan kelompok homoseksual sama dengan pelacuran. Seperti yang terdapat pada Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran, pasal 8 ayat 1 dan 2 meyebutkan bahwa: Pelacuran adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar bertujuan mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Yang termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah a. homoseks; b. lesbian;
Pandangan keagamaan dan peraturan di atas mengingatkan saya ketika belajar agama pada masa saya kecil bahwa Allah Swt menjanjikan surga bagi seorang muslim. Rasulullah Saw bersabda melalui Abu Dzar: “Jibril berkata kepadaku, ‘Barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu kepada Allah maka dia pasti masuk surga atau tidak masuk neraka” (HR. Bukhari). Di dalam Al-Quran sendiri terdapat teks yang tertulis: “Adapun orang – orang yang kafir dan mendustakan ayat – ayat kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah: 39)
“Orang kafir” dalam pemahaman yang saya adalah orang-orang yang tidak percaya kepada ajaran Allah Swt dan Muhammad Saw. Artinya kalau dikaji secara sederhana walau saya seorang gay tetapi sepanjang saya beriman saya tetap bersangka baik pada Allah bahwa saya termasuk yang dijanjikan masuk surga. Walau doktrin surga yang dijanjikan selama ini tidak begitu menarik bagi saya. Surga yang digambarkan dengan bidadari-bidadari yang cantik dan awet muda. Padahal saya tidak ada ketertarikan sama sekali dengan perempuan. Surga yang terbayangkan oleh saya adalah surga yang berisi laki-laki dewasa yang ganteng dan baik-baik.
Sesuatu hal yang sangat sulit dan mungkin mustahil kalau saya harus meninggalkan rasa cinta dan ketertarikan kepada laki-laki. Sama sulitnya ketika saya harus meninggalkan Islam sebagai agama yang saya yakini. Dua hal ini tak mungkin dilepaskan dari saya meskipun dengan paksaan, kekerasan hingga kehilangan jiwa. Dalam situasi ini apakah kemudian saya akan meyalahkan Allah Swt yang telah menciptakan saya sebagai seorang gay?
Mengapa non-muslim yang katanya “kafir” jauh dipandang lebih “baik” oleh para ulama dan masyarakat muslim di Indonesia dibanding kami: kalangan homoseksual yang masih beriman? Meskipun saya sadari tidak sepenuhnya teman-teman non muslim mendapatkan hak-hak yang sama, tetapi minimal jauh lebih baik dibandingkan dengan saya sebagai seorang gay. Teman-teman non muslim masih memiliki perlindungan hukum yang jelas, baik di ruang politik maupun ekonomi.
Bahkan sudah banyak kebijakan nasional maupun international yang menghargai dan melindungi perbedaan karena keyakinan agamanya, tetapi nasib ini belum berlaku untuk kami sebagai homoseksual. Jangankan dipenuhi dan dilindungi hak-haknya, malah mengkriminalkan homoseksual sebagai seorang pelacur, sakit jiwa dan tuduhan yang menyeramkan lainnya.
Mengapa hujatan dan hinaan terus dilekatkan kepada kami sebagai kelompok pendosa dan pembawa bencana bagi kehidupan manusia? Bukankah semua muslim bersaudara? Bukankah penghormatan kepada setiap orang adalah esensi dari ajaran Islam? pertanyaan-pertanyaan tadi terus berkecamuk dalam sanubari saya, tetapi saya percaya bahwa hanya Allah Swt yang paling berhak apakah homoseksual itu berdosa atau tidak.
Note: Tulisan ini mendapatkan tambahan pada paragraf pertama, yang tulisan awal pernah dimuat di Jakartaglobe, 16 April 2010 dalam versi bahasa Inggris.
http://www.thejakartaglobe.com/opinion/longing-for-acceptance-homosexuals-in-indonesia-find-hatred-and-discrimination/369876