Search
Close this search box.

[Liputan] Bincang Tokoh Bersama Lentera Anak Pelangi: Bagaimana Keadaan Anak dengan HIV di Indonesia?

Oleh: Wisesa Wirayuda

Suarakita.org – Hari Sabtu, 30 Juli 2016, Suara Kita mengundang Natasya Evalyne Sitorus atau akrab dipanggil Tasya, seorang aktivis anak dengan HIV perwakilan dari Lentera Anak Pelangi. Bincang Tokoh kali ini merupakan salah satu acara Suara Kita dalam menyambut Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli lalu.

Lentera Anak Pelangi didirikan dan digagas oleh Prof. Irwanto. “Karena beliau melihat banyak kasus-kasus HIV tapi belum ada satupun lembaga yang mengurusi kasus anak-anak dengan HIV. Padahal kasus anak-anak dengan HIV ini sudah mulai bermunculan. Barulah tiga tahun terakhir ini terasa orang-orang mulai peduli pada isu anak dengan HIV ini, yang sebelumnya semua sibuk mengurusi kasus-kasus HIV lain. Padahal kalau dipikir-pikir, anak-anak ini juga lahir dari adanya teman-teman populasi kunci juga.” Tutur aktivis yang bergabung dengan Lentera Anak Pelangi sejak 2009 ini.

“Mengapa kami memberi kata ‘pelangi’ karena kami juga ingin memberikan warna bagi kehidupan anak-anak ini. Mereka lahir di keluarga yang miskin, atau orang tua yang menelantarkan mereka. Sebagian besar sudah tidak punya orang tua, sudah menjadi yatim piatu dan tinggal bersama neneknya. Maka dari itu kami ingin memberikan warna pada kehidupan anak-anak ini.” Lanjut Tasya ketika menjelaskan mengapa nama Lentera Anak Pelangi dipakai. “Ada yang bilang, ‘namanya Lentera Anak Pelangi, ya? Pelangi itu ada hubungannya dengan LGBT ya?’ katanya. Saya kesal, emang kalaupun kami mengurusi LGBT, so what? Saya bangga dengan nama Lentera Anak Pelangi.”

Sesuai perundang-undangan di Indonesia, anak adalah seseorang dengan umur delapan belas ke bawah. “Jadi misalkan dia bentuknya baru janin yang sangat kecil pun dia sudah seharusnya dilindungi oleh negara. Sudah dilindungi oleh undang-undang perlindungan anak.” Kata Tasya.

Sejauh ini, Lentera Anak Pelangi sudah mengurusi total 93 anak dengan rentan usia dari nol sampai lima belas tahun. Tasya kemudian menjelaskan, “Anak-anak ini seratus persen tertular HIV sejak lahir dari ibunya. Jadi bukan karena perilaku beresiko, atau transfusi darah, atau oprasi dan lain sebagainya. Maka dari itu memperkenalkan mereka pada lingkungan HIV yang dewasa akan sulit.”

13872421_10154378396857290_1409426203_n
Doc. Suara Kita

Oleh karena itu, Lentera Anak Pelangi memiliki program psikososial,  “Kami punya program psikososial juga. Jadi kami berusaha memberikan lingkungan dimana anak-anak benar-benar merasa anak-anak. Karena di lingkungan rumahnya sang anak ini dia terbiasa melihat misalnya ayahnya yang aktif menggunakan narkoba. Kita juga berusaha menunjukan anak-anak ini potensi mereka, jadi jika nanti anak-anak ini tahu bahwa mereka terinveksi HIV, mereka bisa tahu bahwa masih ada di diri mereka yang masih bisa dibanggakan. ‘Oh meskipun aku HIV tapi aku masih bisa menolong orang, aku juga bisa mandiri, saya masih dicintai’, hal-hal ini yang membuat sang anak ini sama seperti anak-anak lain.”

Tidak berhenti di lingkungan rumah saja, ada juga kasus anak yang terpaksa pindah sekolah karena adanya desakan orang tua murid lain setelah mengetahui status HIV sang anak. “Dua per tiga orang tua murid menuntut kepada kepala sekolah untuk mengeluarkan anak ini. Dan dampaknya setelah itu panjang, tidak sesederhana mencarikan anak ini sekolah dan seterusnya. Sang anak sudah terlanjur terluka.”

Ada yang bertanya, “Dimana peran LSM HIV dewasa terhadap isu anakdengan HIV ini? Bagaimana ideologi mereka itu?” Tasya menjawab, “Sebenarnya bukan salah mereka juga, mereka memang berdiri untuk mengurusi isu masing-masing, jadi ada pikiran seperti ‘isu gue aja belum selesai, ngapain ngurusin isu lain?’. Kemudian, kami berjejaring dengan mereka ketika misalkan Ibu dari anak yang HIV ini tidak bisa kami tangani lagi, kita urusin anaknya, lalu kami minta pertolongan pada LSM yang menangani Ibu dengan HIV. Di Lentera Anak Pelangi pun tim intinya hanya ada enam orang, sisanya volunteer semua termasuk doktornya. Jadi jika teman-teman mau bantu, bantulah dengan kemampuan masing-masing.”

Masih banyak yang harus dibahas mengenai isu Anak dan HIV ini, namun sayang waktu berdiskusi sudah pada akhirnya. Sampai jumpa di Bincang Tokoh berikutnya. Selamat Hari Anak Nasional.

 

Website Lentera Anak Pelangi bisa diakses dari sini.