Search
Close this search box.

Samra Habib: “Saya belum pernah merasa lebih Muslim dari ini sebelumnya”

SuaraKita.org – Jum’at 27 desember jam 14:45, saat dimana hidup saya berubah.

Waktu itu saya merasa lelah fisik dan mental saat menjadi perawat bagi mantan pasangan saya yang sedang kemoterapi dan jam kerja yang panjang sebagai editor sebuah majalah. Saya putus asa dalam mencari kenyamanan, dukungan, bimbingan spiritual dan komunitas. Sebuah badai membawa saya ke masjid Unity di pusat kota Toronto, satu dari sekian banyak tempat di dunia yang menerima dengan terbuka seorang queer muslim seperti saya.

Dibesarkan di Pakistan, iman merupakan bagian terbesar dari tumbuh kembang saya. Beberapa kenangan masa kecil yang paling berharga buat saya adalah tradisi Islam yang mendekatkan saya kepada keluarga. Sampai sekarang, tidak ada yang bisa membuat saya tetap fokus selain mendengarkan alunan suara adzan dari apartemen saya di toronto atau di tengah padatnya jalanan di Cihangir

Tapi, sebagian besar dari usia 20an saya, saya merasakan bahwa Islam itu bagaikan orang tua yang sudah tidak sayang lagi kepada anaknya. Saya queer dan tidak memakai jilbab. Dan tidak ada keraguan ketika mengatakan rasa malu yang saya miliki sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan saya dengan keimanan.  Setelah hampir satu dekade tidak pernah menginjakkan kaki ke dalam masjid, saya lapar secara spiritual. Walaupun saya tetap mempertahankan hubungan pribadi dengan Allah, saya merindukan sebuah komunitas spiritual yang tidak menghakimi dimana saya  bisa bertemu dengan orang lain yang seperti saya.

Tempat ibadah yang terbuka bagi LGBTIQ seringkali terselubung demi menjaga privasi jamaahnya. Jika kita tidak memiliki teman sesama queer muslim atau kenal dengan imam yang queer rasanya mustahi; untuk mengatahui bahwa tempat seperti itu ada. Saya mengetahui informasi tentang masjid Unity dari rekan sesama aktivis yang berada dalam satu lingkaran sosial dengan El-Farouk Khaki. Pengacara hak asasi manusia ini mendirikan masjid unity bersama pasangannya Troy Jackson dan Laurie Silvers, seorang akademisi.

Selama kunjungan pertama saya, saya terkesan oleh bagaimana masjid Unity tidak dipisahkan berdasarkan gender. Saya tumbuh dengan pekerti yang ditanamkan bahwa perempuan dilarang terlihat di masjid oleh laki-laki. Kami beribadah di lantai bawah tanah, sedangkan laki-laki menguasai seluruh lantai masjid. Kami bahkan memiliki jalan keluar-masuk sendiri, untuk menghindari interaksi dengan laki-laki. Kemudian, saya mencoba untuk menahan air mata saat menyaksikan seorang transgender mengumandangkan adzan yang menyentuh ikatan hubungan saya dengan Islam. Akhirnya saya menemukan tempat saya.

Hari itu kami saling berbagi tentang apa isi dari do’a kami. Saya berharap mantan saya cepat sembuh, pengungsi yang sedang sidang imigrasi agar berjalan lancar, dan orang lain ingin berdoa untuk pasangan yang sedang sakit. Jamaah LGBTIQ bergabung dengan jamaah heteroseksual, memperkuat gagasan bahwa Islam bukanlah agama monolitik. Hubungan setiap muslim dengan Islam dibentuk oleh kelas, geografi dan konteks budaya, sehingga memunculkan interpretasi yang berbeda tentang agama dengan 1,6 miliar  pengikutnya. Namun, kompleksitas dan pengalaman bernuansa sering diabaikan. Kunjungan berikutnya saya merasa seperti sesi terapi kelompok yang dikombinasikan dengan ritual keagamaan akrab – kecuali kali ini, saya tidak berusaha menyembunyikan kepala saya yang baru dicukur dalam jilbab saya atau menutupi tato saya untuk menghindari dihakimi oleh ibu-ibu majelis taklim masjid. Saya  merasa seperti menjadi didi sendiri. Tidak hanya diterima, tetapi didukung.

Datang ke masjid membuat hubungan pribadi saya dengan Islam mulai terpulihkan, dan kita semua  dapat bertanya dan membayangkan apa artinya menjadi Muslim di abad ke-21 dan bagaimana menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kita saat ini.Begitu banyak pengalaman keimanan saya terhubung ke tradisi budaya dan interpretasi agama. Sekarang sebagai orang dewasa, saya secara aktif dapat memilih tradisi saya sendiri, yang terasa memiliki kekuatan. Di satu sisi, saya tidak pernah merasa lebih Muslim daripada yang saya rasakan sekarang.

*Samra Habib adalah seorang fotografer, penulis, editor dan aktivis kelahiran pakistan yang tinggal di Toronto Kanada

Sumber

theguardian