Oleh: Wida Puspitosari
Suarakita.org – Seni memang memiliki banyak rupa dan dimensi. Banyak orang telah menggunakannya sebagai media untuk menyampaikan sikap atau bahkan perlawanan. Dalam rangka menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual dan kritik atas kurangnya kepedulian pada isu kemanusiaan, Teater Sastra Universitas Indonesia, pada Kamis malam (26/5) mempersembahkan sebuah pertunjukkan seni teater dengan konsep multi monolog berjudul “Namaku Yuyun, Aku Korban Kebodohan” yang disutradarai oleh I. Yudhi Soenarto.
Acara ini menampilkan Niniek L. Kariem (aktris dan psikolog), Topo Santoso (dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), I. Yudhi Soenarto (pengajar pada Fakultuas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), Maftuh Ihsan (Teater Sastra UI), Rendy Septiadi (Teater Sastra UI), Rasikh Fuadi (Teater Sastra UI) dan Denia Oktaviani (Teater Sastra UI). Pernyataan sikap terhadap kekerasan seksual yang akhir-akhir ini terjadi melalui konsep teater multi monolog menurut Yudi dimaksudkan sebagai efektivitas penyampaian ide. Menurutnya “penyampaian ide melalui konsep ini dirasa lebih sampai pada penonton dan waktu latihan yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak agar kasus-kasus terkait yang sedang terjadi bisa menemukan momentumnya.”
Pada tataran penampilan, babakan-babakan pada pementasan ini dipenuhi oleh kritik tajam terkait kondisi darurat kekerasan seksual, Monolog Topo Santoso misalnya, menegaskan jika Indonesia masih belum memiliki hukum yang tegas dalam menindak pelaku kekerasan. Perangkat hukum yang ada sekarang dirasa sangat konvensional karena masih mengacu pada konteks hukum kolonial dan perancangan solusi dengan menetapkan KUHP nasional masih jauh panggang dari api. Korban-korban kekerasan seksual dipandang sunyi dan sepi di mata hukum. Sejalan dengan hal di atas, menurut Niniek L. Karim melalui monolognya, penjatuhan hukuman dengan kebiri kimia yang diteken presiden beberapa hari kemarin terhadap pelaku kejahatan seksual bukanlah solusi tepat karena yang sakit dari pelaku bukanlah fisiknya, tapi jiwanya.
Tidak ketinggalan monolog-monolog yang disuguhkan oleh penampil dari Teater Sastra UI rupanya juga memberikan kesan haru tersendiri bagi penonton. Pada pementasan kali ini kita bisa mendengar bagaimana monolog yang dibawakan oleh Rendy (Pak Teguh) mengisyaratkan penyesalan sebagai guru sekolah yang merasa gagal mendidik beberapa siswa yang ternyata menjadi salah satu pelaku pemerkosa Yuyun. Sebagai Pemeran Yuyun, Denia juga berhasil menyihir penonton dengan monolognya sebagai perempuan muda yang harus merelakan cita-citanya menjadi guru kandas karena mati dibunuh secara tak manusiawi. Begitu juga Maftuh (wartawan) dan Rasikh (salah satu pemerkosa) juga tak kalah memberikan nuansa tegang dalam monolog-monolognya.
Di babak akhir pementasan, I. Yudi Soenarto melalui monolog dan musikalisasi puisinya mencoba mendedahkan bahwa nurani dewasa ini perlahan-lahan sirna seiring dengan hilangnya rasa saling melindungi diantara manusia – dimana kasus kekerasan seksual yang terjadi banyak dilakukan secara brutal dan tidak manusiawi. Dibutuhkan nurani untuk memulihkan itu semua. Salah satu bentuknya adalah tidak tinggal diam.