Suarakita.org – Bertepatan dengan International Day Against Homophobia, Biphobia, and Transphobia (IDAHOT) pada tanggal 17 Mei, Himpunan Mahasiswa Antropologi divisi Sosial Masyarakat Universitas Indonesia mengadakan acara seminar diskusi edukasi dengan tema “Understanding Sexuality Diversity”.
“Acara ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan juga memberikan pengetahuan mengenai seksualitas itu sendiri.” tutur Cindy selaku ketua pelaksana acara tersebut.
Diskusi kali ini dipandu oleh Armadina Az-Zahra, yang seorang mahasiswa jurusan Antropologi dan juga seorang penulis lepas untuk isu-isu sosial budaya, yang salah satunya mengenai isu-isu gender dan seksualtas. “Definisi seksualitas menurut WHO, seksualitas itu adalah satu aspek inti dari manusia sepanjang hidupnya yang meliputi seks, identitas dan peran gender, preferensi seksual, erotisme, kemesraan, kenikmatan, yang semuanya itu dipengaruhi oleh beberapa aspek yang salah duanya adalah aspek klinis dan aspek kultural.”
Berlanjut kepada pemaparan dr., Ryu Hasan, Sp., BS. soal betapa sederhananya persoalan seks, referensi seks, dan gender. “Kalau bicara mengenai seks, referensi seks, gender, itu sebetulnya sederhana. Kehidupan ini berawal dari hal yang sederhana. Manusianya saja yang merumit-rumitkan.”
Penentuan seks atau jenis kelamin ditentukan banyak faktor. “Genetik, XY itu laki-laki, XX itu perempuan. Namun bagaimana yang genetiknya XXY atau XYY?” tanya Dr. Ryu. “yang berikutnya ada Gonadal, Hormonal, Morphological, Behavioral, dan Identity.” Dr. Ryu juga menyampaikan bahwa Organ pertama yang tercipta pada manusia adalah Otak sehingga bagaimana nantinya manusia itu terlahir, dipengaruhi oleh otaknya terlebih dahulu. “You are what your brain.” katanya.
Dr. Ryu juga memaparkan bahwa manusia semuanya berjenis kelamin perempuan pada awalnya. “Manusia pada dasarnya semua perempuan pada awalnya. Sampai umur delapan minggu di dalam kandungan manusia itu bentuknya adalah perempuan. Seperti bentuk mamalia lainnya. Perubahan hormon yang menyebabkan bentuk perempuan itu sebagian menjadi bentuk laki-laki. Jadi pada dasarnya laki-laki adalah perempuan yang salah hormon.” Diikuti dengan gelak tawa peserta diskusi. “Itu yang menyebabkan mengapa lebih banyak cowok yang kecewek-cewek-an ketimbang cewek yang kecowok-cowok-an. Karena pada dasarnya semuanya adalah perempuan, jadi jika ada cowok yang kecewek-cewek-an, jangan dihina karena dia adalah cowok yang kembali ke fitrahnya.” Tawa kembali terdengar setelahnya.
Pemateri selanjutnya adalah Yohan David Misero, Staf Advokasi dan Komunikasi LBH Masyarakat yang menjelaskan LGBTIQ+ di mata hukum. “Jika dipertanyakan, apakah ada atau tidak peraturan yang jelas diskriminatif terhadap LGBTIQ, saya bisa bilang, mungkin tidak ada. Terkecuali undang-undang pornografi yang jelas-jelas mengatakan homoseksualitas itu adalah perilaku seks yang menyimpang yang setelah pemaparan Dr Ryu tadi, kita bisa memperdebatkan apa itu menyimang. Undang-undang diskriminatif berada pada PERDA. Contohnya Undang-undang tentang Pelacuran di Palembang, dan disebut sebagai penyimpangan pada PERDA Padang.”
“Secara umum, peraturan yang diskrimitatif kepada LGBTIQ bisa dikatakan tidak ada, hanya saja ada diskriminasi ketika pelaksanaan peraturan. Contohnya kepada teman-teman waria yang dirampok yang malah dipaksa untuk oral seks.” lanjut Yohan.
Selanjutnya Har Toyo selaku Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita memaparkan bagaimana kondisi LGBTIQ di Indonesia. “Saya senang sekali ketika moderator mengatakan LGBTIQ plus (LGBTIQ+ -Red.) itu sebenarnya menjelaskan bahwa plus-plus-nya itu tak terhingga. Menurut saya itu. Jadi ketika ada yang menilai bahwa saya ini laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminim, biarkan. Yang penting saya promosi Srikendes*.” Gelak tawa pada peserta diskusi kembali bergema.
“Mengapa saya dan kawan-kawan LGBTIQ berjuang? Kami berjuang agar kami setara karena ada diskriminasi seperti yang dikatakan Yohan dari LBH Masyarakat. Kalau saya seperti ini, kemudian saya dipukul, lalu saya lapor polisi, polisi akan mengatakan ‘Kamu sih punya penis penampilannya begitu’. Jadi tidak ada empati pada keberagaman orang. Itulah yang sedang kita perjuangkan, bahwa setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri, bebas berpenampilan, berhak menyebutkan dirinya perempuan atau laki-laki, mau menjadi feminin atau maskulin, atau tidak keduanya.”
“Negara tidak boleh diskriminatif, sehingga kami boleh bekerja, mendapatkan akses kesehatan. Jadi yang sebenarnya kami perjuangkan adalah kebebasan seseorang untuk menentukan orientasi seksualnya sendiri, mana orientasi seksual yang membuatnya nyaman dengan dirinya.” Lanjut Har Toyo.
Pemateri terakhir adalah Irwan M. Nidayana, salah satu dosen di jurusan Antropologi yang memaparkan keberagaman gender dalam kebudayaan Indonesia. “Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan kebudayaannya, sederhananya begitu. Salah satu prinsip Antropologi adalah selalu mengapresiasi keberagaman budaya, itu dasar dalam Antropologi. Dan jika kita membicarakan keberagaman budaya itu, kita juga membicarakan keberagaman gender.” Irwan menyebutkan beberapa kebudayaan di Indonesia yang mempunyai keberagaman gender, contohnya kebudayaan Bissu. Menurut Irwan makna Bhineka Tunggal Ika juga bermakna keberagaman akan gender di Indonesia.
Sesi tanya-jawab menjadi terasa kritis terlihat dari banyak sekali peserta-peserta yang mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Dan acara berakhir ketika jarum jam menunjukkan pukul enam sore. (Esa)