Search
Close this search box.

[Kisah] Kegelisahan Menghadapi Stigma Internal di Kelompok LGBT

Oleh: Oriel Calosa*

Suarakita.org – Beberapa waktu yang lalu ada seorang kawan yang membuat status yang menyatakan bahwa dia tidak akan pernah mau untuk melakukan VCT bahkan ketika dibayar dengan uang satu juta sekalipun. Bisa jadi, ini tanggapan ketika dirinya diajak untuk melakukan tes VCT dan kebetulan mendapatkan “Uang transport” pasca melakukan VCT. Tapi buat apa? Sedangkan dirinya sendiri merasa tidak pernah melakukan hubungan beresiko.

Jauh lebih janggal ketika ada yang menuliskan komentar “Gay dan  Transgender wajib melakukan VCT”. Itu hasil dari edukasi siapa? VCT adalah Voluntary Consulting and Testing yaitu Tes Suka Rela untuk mengetahui status HIV dalam dirinya, jadi kenapa Gay dan Transgender musti di berikan label “Wajib”? Karena stigma yang muncul adalah Gay selalu berganti-ganti pasangan? Standart SOP dari VCT JELAS mengungkapkan bahwa VCT ditujukan kepada mereka yang melakukan hubungan beresiko, yaitu hubungan tanpa kondom dengan seorang yang memiliki status HIV Positif. Tentu saja status HIV Positif entah diketahui atau tidak diketahui.

Menjadi Gay dan Transgender memang sulit, menggunakan label “Gay” atau “Transgender” saja langsung bisa diberikan label berdosa, menyalahi kodrat, dan lain sebagainya. Lalu bagaiman dengan mereka yang HIV Positif? Mereka mendapatkan stigma ganda dari statusnya bahkan oelh komunitasnya sendiri.

Kalau orang tidak mau VCT lalu dikatakan “Ah, kamu kok gak berani. Lebih baik tau sejak dini daripada terlambat” jadi, sepertinya mereka yang sudah VCT seperti diberikan kasta “Pemberani” dibanding mereka yang tidak mau atau takut untuk melakukan VCT.

Begitu VCT dan hasilnya negatif dan tidak ada perilaku yang beresiko, tetap saja diberikan label “Eh, kamu harus tes lagi tiga bulan berikutya yah”, tetapi jika positif dilabeli lagi “yah, kamu harus berhenti menjadi Gay jadi jangan ML (making love/melakukan sex .Red) sembarangan lagi”. So, mereka yang positif itu di anggap selalu melakukan hubungan seksual sembarangan?

Bahkan ketika tidak mau mengakses layanan kesehatan, yang ada ketika sakit dan mati diberikan label lagi “Mati konyol” atau “Mati sia-sia” karena dianggapnya mereka sudah diberitahukan tetapi tidak mau mengikuti “Saran dari pendamping” sementara ketakutan mereka dari awal VCT belum dijawab dengan baik, sedangkan tekanan dari keluarga dan lingkungan tidak diperhatikan dengan baik apalagi tekanan dari layanan kesehatan yang seringkali merasa jauh lebih mengerti seksualitas seseorang dibandingkan si empunya tubuh. Bahakan ketika seorang kawan yang meninggal dalam keadaan sangat kurus biarpun tanpa HIV seringkali kita sudah menjustifikasi bahwa mereka positif HIV?

Ah, betapa sulitnya menjadi seorang Gay. Bahkan, ketika seorang kawan yang HIV positif dan memberitahukan statusnya kepada sahabat dan pasanganya dan seketika tersebarlah berita tentang Si A yang positif HIV (Bahkan dibumbui dengan gambar) lalu mereka yang tadinya mengaku “Aktivis” angkat tangan dan mengatakan mereka adalah oknum. Jauh lebih disayangkan ketika sekali lagi kawan yang HIV Positif dipersalahkan lagi “Mangkanya, aku tuh udah bilang kalau mau terbuka tuh dilihat dulu orangnya” dan atau alasan lain yang intinya tetap saja jelas-jelas menyalahkan mereka yang HIV Positif. Padahal, seharusnya mereka bangga karena orang yang mereka dampingi sedang berusaha melindungi sahabat dan pasanganya.

Terkadang, berharap bahwa yang terlontar itu bukan dari mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai “Penggiat Isu HIV” atau bahkan mengakui dirinya sebagai “Aktivis HIV” yang bahkan diambil dari komunitas sendiri. Tetapi, realita mengungkapkan betapa rapuhnya pemahaman Gender dan Seksualitas seorang aktivis isu HIV yang bahkan diambil dari mereka yang menjadi bagian dari komunitas.

Jadi, jangan heran jika ada petugas lapangan yang dengan Percaya Dirinya menuliskan status “Habis mendampingi seorang ODHA” atau “Makin banyak yah yang HIV Positif” jangan heran jika ada kawan-kawan yang dengan serta merta ketika kita harus berusaha menyadarkan akan Hak Akses Kesehatan Dasar masih saja ada yang bersuara nyinyir “Mereka buat karokean saja bisa masak buat kesehatan sendiri tidak mampu”. Lalu bagaimana Gay yang hanya bekerja sebagai penjual cilok? Atau Gay yang seorang buruh pabrik dan tidak berani menggunakan BPJS karena ketakutan dikeluarkan dari pekerjaan hingga akhirnya menggunakan dana pribadi namun tetap saja tidak mampu. Apakah di benak mereka Gay itu masih identik dengan hedonisme? Hura-hura? Kalau iya, tentu saya bertanya tentang motivasi mereka yang mengaku sebagai “Aktivis Isu HIV” dalam Komunitas. Wajar bila saya lebih membahasakan mereka sebagai “Pekerja” disbanding “Aktivis sosial”, tentu saja perspektif “Pekerja” tidak selalu identik dengan kerja dan digaji tetapi bisa saja dari pola pikir mereka terhadap Isu HIV itu sendiri.

Jadi, tidak heran jika mereka yang HIV Positif merasa menyesal telah bersedia untuk menjalani tes VCT. Tidak heran jika ada mereka yang tidak bersedia untuk menjalani Tes VCT, jika ada banyak kawan-kawan yang lost follow up dalam terapi ARV (Antiretroviral). Akhirnya lebih gampang menyalahkan dan mencari kambing hitam.

Berhentilah membangun stigma dalam komunitas, bukankah kita seringkali tidak nyaman jika ada yang menuliskan “No Cubby, No Ngondek, No Sissy?”. Jika masih banyak yang tidak bersedia mengikuti tes VCT tanyakan apakah “Keamanan” mereka benar-benar terlindungi? Jika masih banyak yang tidak bersedia untuk melakukan Terapi ARV, pertanyakan motivasi awal untuk melakukan VCT seberapa jauh kita menganggapnya sebagai subjek. Bukan lagi objek jangkauan untuk memenuhi target jumlah peserta VCT.

Tanyakan juga seberapa nyaman dan amankah mereka menjalani pengobatan selama di layanan kesehatan, seberapa sadarkah bahwa mereka bukan lagi sebuah objek penderita kelas kedua dari kelompok minoritas tetapi ikut menjadi subjek utama untuk melakukan upaya pencegahan HIV. Tanyakan pula seberapa mudahkah mereka mengakses layanan kondom dan pelicin, apakah mereka masih dihantui kecemasan jika membeli kondom atau pelicin?.

Jadi, hentikan “Rape Culture” dalam minoritas yang selalu menjadikan korban sebagai kambing hitam kesalahan sehingga membudayakan kekerasan seksual hanya karena tidak berani mengungkapkan statusnya, karena ketakutannya terhadap stigma yang muncul kepada dirinya, karena akan selalu ada alasan untuk menghakimi Gay dan Transgender.

 

*Penulis adalah Founder Rumah Pelangi Indonesia. Oriel aktif menulis untuk Suarakita.org. Oriel bisa dihubungi melalui emailnya oriel.calosa@gmail.com