Search
Close this search box.

[Opini] Keberpihakan Media pada Isu LGBT

Oleh: Wisesa Wirayuda

Gambaran Umum

Suarakita.org – Dua bulan terakhir, beberapa media cetak secara rutin mewartakan isu-isu hangat terkait dengan LGBT, media-media tersebut antara lain Majalah Gatra dan Majalah Sindo. Tidak hanya sekedar mewartakan, namun juga menjadikan isu LGBT sebagai headline. Momentum ini dijadikan sebagai “ajang tampil” oleh banyak pihak dari yang pro maupun kontra terhadap LGBT. Dari pihak aktivis sendiri, mereka menggunakan kesempatan ini untuk mengedukasi masyarakat tentang apa itu LGBT dan juga meralat persepsi-persepsi keliru tentang LGBT yang digambarkan dalam media-media tersebut.

Pada edisi 4-10 Februari 2016, Majalah berita mingguan Gatra menjadikan LGBT sebagai headline mereka dengan tajuk “Melawan Aksi LGBT di Kampus”. Dari judulnya tersebut sudah jelas bahwa posisi Gatra adalah kontra-LGBT. Ada 4 tulisan bertemakan LGBT yang dimuat oleh mereka dan diposisikan di halaman depan sebagai Laporan Utama mereka.

Ada satu artikel yang dirasa tidak sesuai dengan tema besar yang mereka pilih, yaitu atikel berjudul “Restorasi Orientasi Seksual”. Artikel tersebut bercerita tentang Agung Sugiarto (Sinyo) dan kegiatannya sebagai konsultan untuk penyuka sesama jenis. Artikel ini jauh sekali dari tema besar yang mereka angkat. Hal ini sangat disayangkan karena sebelumnya dalam artikel mereka yang berjudul “Arus LGBT Masuk Kampus” Gatra sudah membahas permasalahan LGBT di dalam kampus dari banyak kasus secara lengkap.

Kemudian, dalam artikel yang berjudul “Mereka yang Berupaya Kembali”, LGBT diposisikan menjadi sesuatu yang “harus dikembalikan kepada fitrahnya” dan terdapat banyak narasumber yang mengaku sudah berubah menjadi heteroseksual, lengkap dengan keterangan apakah orang tersebut sudah menikah secara heteroseksual atau belum.

Lain halnya dengan Majalah mingguan Sindo, yang juga menjadikan LGBT sebagai headline mereka pada edisi 1-7 Februari 2016 dengan tajuk “Unjuk Diri LGBT”, mereka menempatkan artikel-artikel bertemakan LGBT di halaman belakang, sedangkan di awal halaman mereka membahas tentang pengungsi Gafatar dan Negara Islam Indonesia (NII).

Pada salah satu artikelnya, mereka menyajikan sebuah data statistik yang menunjukkan penambahan jumlah gay dan transgender perempuan yang terus meningkat, bahkan sampai lebih dari 200%. Majalah Sindo mengutip data dari Kementrian Kesehatan pada tahun 2002 sampai 2011 yang sudah tentu datanya tidak relevan lagi di tahun sekarang.

Mengkritisi kata LSL, Christine Siahaan, seorang aktivis HIV/AIDS mengatakan, “LSL adalah lelaki suka lelaki atau lelaki seks dengan lelaki. Tapi sebenarnya LSL itu singkatan yang mengacu pada lelaki seks dengan lelaki. Simon Hardy pernah menulis sebuah tulisan tentang Anal Sex: Phallic Other Meanings. Yang menjelaskan perilaku ‘homoseksual’ di penjara-penjara antara lelaki straight (heteroseksual) itu tujuannya hanya untuk mengafirmasi maskulinitas mereka dengan cara penetrasi anal atau menerima fellatio (oral seks). Dengan demikian LSL tidaklah selalu gay karena ada juga pria heteroseksual yang melakukan seks dengan pria heteroseksual lain dan masih menganggap dirinya sebagai heteroseksual.”

Kesimpulannya, Sindo tidak melakukan liputan secara mendalam tentang LGBT sedalam liputan mereka tentang Pengungsi Gafatar atau tentang NII. Jika dilihat dari jumlah porsi halaman, Sindo memberikan 12 halaman untuk membahas Pengungsi Gafatar dan NII, sedangkan untuk isu LGBT yang dijadikan headline, Sindo hanya memberikan 7 halaman. Oleh karena itu, terlihat bahwa Sindo hanya menggunakan isu LGBT untuk menaikkan rating dan meningkatkan jumlah oplah.

Pada media elektronik, khususnya televisi, TvOne mengadakan sebuah debat pada tanggal 16 Februari 2016 dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan tajuk “Indonesia Lawyers Club: LGBT Marak, Apa Sikap Kita?”.

Dalam acaranya tersebut semuanya mendapatkan jatah berbicara satu kali, sehingga tidak terjadi dialog antar peserta debat. Kelompok yang pro-LGBT dipersilahkan untuk berbicara terlebih dahulu, sehingga tidak mendapatkan kesempatan untuk menyanggah pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh pihak yang kontra-LGBT.

Masih dalam acara yang sama, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ., M.P.H., seorang psikolog, mengatakan bahwa LGBT adalah gangguan jiwa dan dapat menular. Karena pernyataannya itu, Fidiansyah diminta untuk meminta maaf dan mengkoreksi perkataannya. Pada tanggal 17 Maret, Fidiansyah mengeluarkan pernyataan maafnya, namun masih menganggap LGBT sebagai sebuah gangguan jiwa. Ironisnya, pernyataan Fidiansjah tersebut menjadi kesimpulan dari acara debat itu.

Pada tanggal 11 Februari, KompasTV sebelumnya juga membahas tentang LGBT dalam acara debatnya dengan tema “LGBT Haruskah Dicemaskan?”. Berbeda dengan kesimpulan yang didapat dari acara ILC di TvOne, KompasTV memberikan kesimpulan yang berbunyi “Jangan ada kekerasan pada siapapun di Indonesia. Apalagi itu hanya karena adanya perbedaan orientasi seksual” dan juga penekanan bahwa tugas media seharusnya adalah untuk mengedukasi masyarakat.

 

Dimana Seharusnya Posisi Media?

Menurut Bill Kovach & Tom Rosenstiel dalam buku mereka yang berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme (2006) menjelaskan bahwa ada 9 nilai-nilai yang bukan hanya perlu menjadi pegangan para jurnalis, melainkan lebih jauh menjadi tuntutan warga masyarakat bagi kalangan media. Sembilan nilai ini diperoleh dari hasil wawancara dengan 3.000 orang, di antaranya 300 jurnalis, selama 103,5 jam, oleh Committee of Concerned Journalists*. Nilai-nilai tersebut adalah:

  1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran.
  2. Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga.
  3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
  4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput.
  5. Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan.
  6. Jurnalisme harus menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik.
  7. Jurnalis harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan.
  8. Jurnalis harus menjaga berita dalam proporsi dan menjadikannya komprehensif.
  9. Jurnalis punya kewajiban terhadap nurani.

9 Nilai-nilai tersebut bisa dikatakan adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh masyarakat, sekaligus bentuk tanggung jawab jurnalis sebagai pembawa pesan-pesan yang benar dan juga menyejukkan, bukan untuk memperkeruh keadaan atau menjadi “kambing hitam”. Sederhananya, posisi media seharusnya berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan memberikan 9 nilai-nilai tersebut.

Mengutip sebuah artikel di DeGorontalo.co tentang Himbauan AJI Terkait Pemberitaan LGBT. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melihat ini adalah bentuk perhatian media pada kelompok marjinal ini. Hanya saja AJI Indonesia menilai beberapa pemberitaan berindikasi melanggar UU Pers, Kode Etik Jurnalistik maupun Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012.

Dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pasal 6 pers nasional diamanatkan melaksanakan peranan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

Kemudian dalam Kode Etik  yang dirumuskan 29 organisasi profesi pada 2006, pasal 1 yang berbunyi: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Sedangkan pada Pasal 8 berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.” Pada bagian penafsiran pasal ini dijelaskan, prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas dan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pun dalam Pedoman Prilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) 2012, Bab XI pasal 15 ayat 1, mengamatkan tentang perlindungan kepala orang dan kelompok masyarakat tertentu, termasuk didalamnya, “Orang atau kelompok dengan orientasi seksual atau identitas gender tertentu.” Pada ayat 2 mengatur lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan atau menyajikan program yang menertawakan, menghina atau merendahkan kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya orang atau kelompok dengan orientasi seksual atau identitas gender tertentu.

Sedangkan pada BAB XVIII P3SPS juga menekankan lembaga penyiaran mengedepankan Prinsip-Prinsip Jurnalistik. Di antaranya menjunjung prinsip keberimbangan, adil, tidak beritikad buruk dll.

AJI Indonesia melihat terdapat beberapa kelalaian sesuai ketentuan di atas. Media cenderung tidak berimbang, tidak jernih mengulas permasalahan, serta berpontensi melakukan kekerasan simbolik terhadap kelompok marjinal dalam pemberitaan. AJI Indonesia juga mengimbau media tidak melakukan diskriminasi, menaati KEJ dan P3SPS 2012 dalam pemberitaan. AJI juga mendorong Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan amanat undang-undang, untuk masa depan pers Indonesia yang lebih baik.

Menurut Syam Terrajana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Chief Editor di deGorontalo.co, “Jurnalis dan kerja jurnalisme itu, pada dasarnya harus berprinsip “voices to the voiceless”, prinsip itu sudah ada nilainya dalam UU pers dan kode etik. Yang membuat kacau itu ketika jurnalisnya bias. Di satu sisi kita berjuang untuk kebebasan berpendapat, di sisi lain malah disalahgunakan untuk hal-hal tendenaous, hate of speech, dan sebagainya. Sanksi paling mujarab, saya kira ada pada pembaca, caranya? Tinggalkan media yang kontennya tak bermutu.”

Sebagai pekerja di sebuah media, saya pun mengerti bahwa ada politik atau kepentingan-kepentingan di dalam media itu sendiri, atau bisa dikatakan tidak ada media yang sepenuhnya netral. Mengambil sikap kontra pun saya rasa tidak menjadi masalah karena kemerdekaan berpikir dimulai dari adanya perbedaan berpikir, hanya saja kita tetaplah harus memberikan informasi yang benar, utuh, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Melakukan liputan terhadap kelompok minoritas, seperti LGBT, kita tidak hanya menempatkan mereka sebagai objek berita belaka, namun kita juga harus melihat mereka sebagai manusia yang setara dengan kita, dengan kata lain kita tidak harus menghilangkan rasa kemanusiaan kita.

*https://pembatasbuku.wordpress.com/2011/05/26/sembilan-elemen-jurnalisme/

 

Daftar Pustaka

Buku

Kovach, Bill., Tom Rosenstiel., (2006). Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau.

Sen, Krishna., David T. Hill., (2001). Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Majalah

Bahtiar, Fahmi W., Yohannes Tobing, Ferdi Christian., 2016. “LGBT Semakin Terang Benderang”. Sindo No. 48 Tahun IV.

Sarwono, Sarlito Wirawan., 2016. “LGBT Gaul”. Gatra XXII