Oleh: Vasava Shakti
Suarakita.org – Ini adalah kisah tentang seorang tokoh muda yang menjadi inspirasi bagi komunitas dan tempatnya bekerja. Mylo (bukan nama sebenarnya) adalah seorang Networker yang bekerja keras untuk membangun jaringan usaha dan komunitas di Bogor. Misinya, yaitu mengajak siapapun tanpa memandang latar belakang (agama, orientasi seksual, etnis, ras) untuk terlibat aktif dalam project-project yang memajukan kota dan komunitasnya tanpa ada diskriminasi. Kesuksesan Mylo untuk membangun networking dan usaha yang inklusif tidak ia dapat begitu saja. Sejak usia muda, Mylo adalah seorang anti-sosial (ansos) yang terus mendapatkan tekanan dari lingkungan, tidak hanya karena persoalan orientasi seksualnya yang tidak sejalan dengan heteronormativitas namun juga karena penolakan (rejection) terhadap dirinya yang kerap ia rasakan sepanjang hidupnya. Berikut sekilas kisah transformasi Mylo dari seorang anti-sosial menjadi pembangun jaringan sosial inklusif.
Mylo adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia memiliki seorang adik laki-laki dan seorang adik perempuan, keduanya sekandung meskipun tak semua sebapak. Orang tuanya bercerai ketika ia menempuh sekolah dasar, lalu ibunya menikah lagi ketika ia SMP. Mylo pun memiliki satu lagi adik perempuan dari bapak kandungnya dengan pernikahan lain, walaupun ia akui tidak dekat karena ia dan adiknya memilih untuk “ikut” ibu. Dibesarkan oleh ibu, Mylo menjadi sosok yang kurang dekat dengan bapaknya, walaupun demikian ibu adalah sosok yang menurutnya judgemental terhadap dirinya sejak ia masih kecil. Pengalaman hidup Mylo selalu dipenuhi dengan tindakan-tindakan perundungan yang ia dapatkan dari lingkungan sekitarnya. Sejak ia menginjak level taman kanak-kanak ia kerap diberikan cap dan sebutan aneh dari lingkungannya. Perundungan yang ia dapatkan dari keluarga dan lingkungan (tetangga) ini awalnya tidak terkait langsung dengan identitas gender atau ekspresi seksualitas, namun terlebih karena stigma terhadap dirnya sebagai anak yang berfikir dan berperilaku secara berbeda. Serangan psikologis yang ia dapatkan dari lingkungan sekitarnya tertuju pada ego dan self.
“Misalnya, pas kecil dahulu gue suka banget naik delman. Eh gara-gara suka manggil kusir delman orang-orang disekitar jadi manggil gue delman. Selain itu gue dulu orangnya gampang kebawa perasaan. Nah sama sepupu dan orang tua gue, gue sering dipanggil tisu,” papar Mylo ketika ditemui dalam sebuah café di Bogor.
Beberapa contoh yang ia sebutkan di atas bukan hanya sekedar ucapan atau panggilan, tapi itu adalah awal dari diskriminasi yang semakin tahun semakin berat ia rasakan. Sebagai anak yang sensitif terhdapa perilaku dan perlakuan orang, ia mengalami banyak trauma dan kekerasan simbolik/verbal, bahkan dari keluarganya sendiri.
Di sekolah Mylo bisa dikatakan sebagai siswa berprestasi. Namun pergaulannya di Sekolah Dasar tidak lepas dari perilaku diskriminatif. Misalnya dalam persoalan ibadah beberapa teman sebayanya seringkali membahas persoalan solat dan tidak segan-segan menjauhi temannya yang tidak memiliki pengetahuan agama dengan baik.
“SD gue dulu itu Sekolah Dasar Negeri, tapi ada beberapa anak yang beda-bedain temennya berdasarkan pemahaman agamanya. Misalnya ada temen yang ga tau jumlah rakaat solat tertentu, maka dia di cap ga pernah ibadah. Bagi gue pengkotak-kotakan ini berlebihan bagi seorang siswa SD,” tegas Mylo.
Jenjang sekolah menengah pertamapun tidak membuat mylo terlepas dari bullying, Mylo menjadi bahan olok-olokan dan taruhan yang sampai pada upaya-upaya pelecehan. Misalnya setiap kali teman-temannya bertaruh, maka hukuman bagi yang kalah adalah memegang tangan Mylo dan bergandengan mengelilingi sekolah, atau bagi siapapun yang mau berteman dengannya maka akan dijauhi. Olok-olok dan pelecehan yang dialami Mylo ini tidak hanya akibat dari gesturnya yang dianggap “melambai” namun juga karena ia dianggap tidak dapat membaur dengan teman-temannya. Walaupun kerap mendapatkan perundungan dari teman-teman sebayanya Mylo berupaya untuk melampiaskan kemarahan dan kesedihannnya menjadi semangat untuk belajar dan berprestasi.
Salah satu titik perubahan dalam hidup Mylo terjadi ketika ia menginjak bangku sekolah menengah atas. Ia mulai bersikap kritis terhadap persoalan disekelilingnya. Ia bertanya mengapa perbedaan selalu diperdebatkan masyarakat, bukankah kemanusiaan dan rasa kebersamaan seharusnya lebih diutamakan. Mylo mulai berfikir seperti ini ketika pertama kali ia menyentuh dunia literatur diluar buku-buku sekolah. Melalui novel dan buku filsafat, Mylo menemukan hal-hal baru yang merangsangnya untuk berfikir tentang hal-hal yang umumnya tidak terpikirkan oleh anak-anak seusianya. Mylo sudah mencapai pemikiran yang lebih matang tentang persoalan seksualitas anak muda seusianya. Dia mulai berfikir tentang interaksi laki-laki dan perempuan, mengapa gender harus dikotak-kotakan, dan mulai menyadari seksualitas dirinya sendiri. Baru setelah itu Mylo bisa menyadari mengapa dirinya sering dianggap berbeda dengan orang lain. Mylo merasa dirinya lebih nyaman bersama dengan teman atau saudara laki-laki ketimbang perempuan. Penyadaran pertama inilah yang membuat Mylo mengalami stres dan depresi karena tidak dapat menerima dirinya sendiri.
“Dulu gue, saking engga bisa menerima diri gue sendiri, akhirnya depresi dan hampir bunuh diri. Nah keluarga gue ngeliat sikap aneh gue sehari-hari dan mengira gue kecanduan narkoba. Akhirnya gue dibawa ke dokter buat tes urin. Namun keluarga gue bisa lihat sendiri hasilnya kalo gue bukan pecandu,” ucapnya tertegun, mengingat masa lalu.
Kehidupan Mylo tidak berakhir secara tragis, karena ditengah-tengah perjalanannya ketika duduk di bangku kuliah, ia bertemu dengan orang-orang baru yang membantunya untuk bangkit dan berdiri. Ia mulai aktif untuk melakukan kegiatan sukarelawan kemanusiaan, aktif di komunitas-komunitas seperti UKM olahraga, dan turut serta dalam beberapa forum diskusi antar mahasiswa. Ia berpartisipasi dalam beberapa pelatihan menulis, fotografi, desain grafis, dan seni yang membantunya untuk membangun kepercayaan diri dan mengasah kemampuan untuk bersosialiasi dengan orang lain. Sejak saat itu, ia tidak lagi menjadi seorang anti-sosial yang dikucilkan, namun seorang tokoh muda yang memiliki keberanian, termasuk keberanian untuk coming out kepada teman-teman dan rekan kerjanya.
“Gue bersyukur, setelah gue kuliah gue bisa berteman dengan banyak orang baru dan belajar dari mereka. Setelah mendapatkan ilmunya, sekarang gue punya keinginan untuk mengajarkan ilmu ini untuk orang lain. Ini adalah karunia dari tuhan buat gue. Gue bisa coming out ke temen-temen kampus dan tempat kerja tanpa takut akan di hina dan di jauhi lagi,” ujarnya.
Mylo pun berharap, suatu hari ia dapat juga coming out terhadap keluarga, sesuatu yang belum ia lakukan hingga hari ini.
Sekarang Mylo adalah seorang penulis, aktivis, dan networker sukses yang bekerja di salah satu kafe terkenal di Bogor. Ia bermimpi untuk terus menginsipirasi lingkungan sekitarnya untuk maju dan bekerja sama tanpa diskriminasi dan perundungan, sesuatu yang ia sering dapatkan dahulu. Mylo telah membuktikan, bahwa rasa cemas, depresi, dan stres yang di dapatkan dari diskriminasi dan perundungan dapat dikuasai dan disalurkan menjadi energi positif untuk peduli dengan sesama manusia lainnya, tanpa memandang latar belakang dan identitas. Tak hanya rekan-rekan bisnis, pelayan di kafenya pun memiliki pengalaman yang baik bersama Mylo. Pelayan itu mengatakan “Saya senang bergaul dengan mas mylo. Saya ga sangka, walaupun dia dulu sering dipandang miring oleh orang karena dia gay, dia membalasnya dengan sikap yang ramah terhadap mereka. Ia mengajarkan pegawai atau bawahannya untuk berfikir terbuka dan ga beda-bedakan orang lain. Disini semua orang sayang mas mylo, dan semua orang termasuk klienpun, hormat padanya.”
Ketika di tanya, Mylo mengatakan bahwa itu adalah upaya dia untuk membangun inklusifitas dan memajukan kota tempat ia mencari nafkah.
“Saya berharap bahwa Bogor bisa menjadi rumah bagi siapa saja yang mencari kehangatan dan kebersamaan atas nama inklusifitas kemanusiaan,” tutup Mylo.