Search
Close this search box.

[Opini] Analisis Gender atas Terorisme Berbasis Agama

Oleh: Sebastian Partogi*

Suarakita.org – Terorisme berbasis agama kerapkali diatribusikan pada banyak faktor risiko: dalam level mikro, ada unsur solidaritas dan kohesi yang berlebihan pada sebuah kelompok sosial (dalam hal ini adalah persekutuan radikal); dalam level mezzo, ada unsur ajaran dan dogma agama yang radikal serta faktor budaya negara tertentu yang terlalu menekankan pentingnya religiusitas (seperti di Indonesia) serta marjinalisasi kelompok sosial tertentu melalui prasangka dan diskriminasi; serta dalam level makro, ada ketimpangan ekonomi, kekerasan struktural.

Namun, terlepas dari berbagai faktor pendorong yang telah seringkali ditelaah tersebut, ada satu hal yang luput dari perhatian pengamat terorisme: isu gender. Pengamat politik dan terorisme berbasis agama Mark Juergensmeyer memaparkan analisis gender atas kelompok-kelompok keagamaan yang radikal dalam bukunya yang berjudul Terror in the Mind of God (2000). Dalam sebuah bab tersebut, Juergensmeyer menekankan bahwa aspek keadilan gender dan seksualitas (dalam hal ini terkait dengan lelaki yang termarjinalisasi – penjelasan lebih lanjut akan diberikan seiring berjalannya artikel ini) juga perlu diperhatikan.

Seperti apakah paparan Juergensmeyer? Ikutilah artikel berikut ini…

KAUM LELAKI YANG TERPINGGIRKAN

Menurut Juergensmeyer, mayoritas pelaku terorisme atas nama Tuhan, terutama yang dilakukan oleh pejuang Islam di negara Timur Tengah (misalnya kelompok Hamas di Palestina), adalah lelaki yang rata-rata berada pada usia pubertas mereka, yaitu antara 17 hingga awal 20-an.

Khusus untuk pelaku pengeboman bunuh diri ini, kebanyakan dilakukan oleh lelaki yang sedang berada di ambang pubertas, yang miskin, terpinggirkan, dan dalam waktu yang bersamaan mengalami gejolak seksualitas yang luar biasa. Hanya saja, karena kemiskinan mereka, mereka tidak dapat menyalurkan hasrat seksual dengan cara menikah, membina rumah tangga sesuai dengan norma sosial masyarakat Timur Tengah yang mengatur seksualitas (sayang Juergensmeyer tidak membahas kemungkinan bahwa lelaki-lelaki muda ini menggunakan pekerja seks, atau apakah pekerja seks bahkan ‘terlalu mahal’ untuk mereka).

Kejengkelan seksual ini kemudian beradu kelindan dengan keterputusan dan keterkucilan yang diciptakan oleh masyarakat sekular-kapitalis, marjinalisasi, ketidakadilan sosial dan ekonomi dan menciptakan rasa putus asa dalam diri individu, atau yang disebut oleh Bloch sebagai “penyusutan Ego”, dimana seorang individu merasa begitu kecil dan tak berdaya di tengah kekacauan masyarakat mereka dan kenyataan bahwa toh mereka akan mati suatu hari nanti.

Kenyataan absurd bahwa hidup begitu penuh penderitaan dan manusia akhirnya akan mati juga kemudian mendorong individu untuk terus mencari makna hidupnya, karena manusia pada dasarnya ingin mengalami “pemekaran Ego”: rasa berdaya dan kuat di tengah segala kekacauan dan absurditas hidup yang menyapa dirinya. Bagaimanakah saya bisa membuat kehidupan (dan, terpenting lagi) kematian saya bisa bermakna?

Disinilah kemudian ajaran radikal agama menyusup masuk. Melalui dinamika kelompok terorisme, dimana orang melalui beberapa proses integrasi kelompok kemudian dibantu mengembangkan pengabdian buta pada organisasi dan ideologinya atas nama sesuatu yang lebih besar (yaitu, dogma agama yang bermuara pada Tuhan), kemudian merasa menemukan kohesi sosial dan solidaritas yang jarang mereka temukan di dunia luar. Lalu lengkaplah komitmen seorang teroris.

Lantas, dimanakah aspek gender dan seksualitas dari kelompok terorisme ini? Ada banyak simbol-simbol seksual di dalamnya. Banyak pelaku pengeboman bunuh diri disebut sebagai “pengantin” dan mereka melakukan misi mereka dengan harapan akan disambut oleh “70 bidadari cantik di surga” setelah mereka mati dengan cara yang begitu mengenaskan dan mengerikan. Ketika dikaitkan dengan ide frustrasi seksual yang telah diungkapkan di atas, kita sekarang paham mengapa simbol-simbol ini digunakan dalam banyak kelompok terorisme, secara khusus oleh kelompok Hamas di Palestina, yang menjadi cakupan kajian Juergensmeyer dalam bukunya.

Mungkin simbol-simbol seksual itu tidak hanya melambangkan frustrasi seksual, karena toh banyak juga teroris yang sudah menikah dan memiliki istri lebih dari satu. Ketika ide frustrasi seksual gagal menjelaskan unsur seksual dalam aksi-aksi terorisme, maka konsep chauvinisme lelaki muncul: gambaran lelaki sebagai makhluk yang superior dengan ‘keperkasaan seksual’ dan kuasa atas tubuh perempuan dimunculkan sebagai simbol yang menggiurkan, yang akhirnya mendorong lelaki-lelaki muda nekad menyobek-nyobek tubuhnya dalam aksi bom bunuh diri. Ini adalah ‘obat’ yang menidurkan sesaat ketakutan dasariah manusia akan kematian; terutama kematian yang begitu brutal dan menyakitkan sehingga para lelaki tersebut berani melakukan aksi-aksi teror mereka.

MASKULINITAS RAPUH YANG KIAN TERANCAM

Feminis Marilyn French pernah bertanya, kalau memang lelaki itu pada dasarnya superior dan berkuasa, mengapa mereka perlu begitu repotnya menunjukkan supremasi mereka, sebagaimana yang ditunjukkan oleh simbol-simbol seksual dalam aksi-aksi terorisme yang telah dicantumkan di atas?

“Anjing yang menggonggong paling keras adalah anjing yang paling merasa terancam oleh ketakutan,” seorang sahabat saya yang sastrawan pernah berkata. Ungkapan tersebut adalah jawaban yang bagus untuk pertanyaan Marilyn French di atas. Bentuk tindakan ekstrim bernuansa ‘seksual’ yang disimbolkan para teroris dalam ‘aksi gagah’ mereka, sebetulnya adalah cerminan atas rasa tidak aman, sebagaimana juga telah dijelaskan panjang lebar mengenai ketimpangan sosial di atas.

Rasa tidak aman ini juga menjadi sebuah petunjuk untuk jawaban atas pertanyaan besar berikutnya: mengapa kelompok-kelompok ekstrimis keagamaan, baik ISIS yang mengeksekusi kaum homoseksual dengan melemparkan lelaki yang tertuduh gay dari atas gedung tinggi maupun kelompok ‘Kristen Wahabi’ (istilah guyon yang pernah dilemparkan sahabat saya – penulis­) di Amerika Serikat yang senantiasa melancarkan serangan mereka terhadap kaum LGBT dan gerakan perempuan (khususnya gerakan otonomi reproduksi, yang disimbolkan dengan pengeboman klinik-klinik aborsi serta penembakan / pembunuhan terhadap dokter aborsi)?

Jawabannya: kaum lelaki merasa dirinya terancam! Setelah beribu tahun menguasai semua aspek dalam masyarakat (sosial, politik, ekonomi, akademis, dst) dan membungkam kaum perempuan dan LGBT, akhirnya dua kelompok besar ini mulai menunjukkan gigi mereka, bahwa mereka juga sama dengan laki-laki, dan bahkan bisa mulai menggusur posisi laki-laki yang awalnya begitu tak tergoyahkan dalam masyarakat.

Banyak laki-laki yang sekarang terpinggirkan dalam masyarakat karena keistimewaan yang mereka miliki telah pudar: kartu VIP yang dulu pernah mereka miliki hanya karena mereka laki-laki telah mulai disita oleh perkembangan peradaban. Saat ini mereka harus bertarung secara adil dengan rekan mereka yang perempuan dan LGBT untuk memperebutkan posisi dalam masyarakat. Dan tentu saja, sebagaimana dalam tiap pertandingan yang adil, pasti ada pihak yang terkalahkan. Kemenangan mutlak laki-laki hanya karena gender mereka sudah tidak bisa lagi diandalkan. Ancaman luar biasa!

Sementara di sisi lain, tuntutan-tuntutan masyarakat patriarkis terhadap lelaki untuk memenuhi standar-standar maskulin, bahwa mereka harus kaya, memiliki status tinggi di masyarakat, memiliki kekuasaan seksual, berpengaruh dan lain sebagainya, tidak pernah mereda. Tentu ini menyebabkan banyak lelaki yang gagal memenuhi tuntutan tersebut menjadi putus asa dan merasa impoten hingga ke dalam kulit mereka. Saat putus asa seperti ini, dogma agama yang begitu absolut, keras dan kaku serta memihak terhadap lelaki [heteroseksual] tampak sebagai jawaban yang bisa diandalkan. Para lelaki ini menggunakannya untuk melakukan serangan balik terhadap masyarakat yang tengah berubah dan mencaplok potongan kue mereka karena mulai mempertimbangkan perempuan dan LGBT. Tidak heran bahwa kelompok-kelompok keagamaan yang radikal didominasi atau boleh dikata dikuasai seluruhnya oleh para lelaki.

MEWUJUDKAN MASYARAKAT INKLUSIF

“[Sometimes] A buddy needs a good cry, especially the guys. Times have been very hard right now. VERY. HARD. It’s a real unstable place to be [for men] cause finally it’s been acknowledged that women, we have serious place. And we do. But we’re not gonna go anywhere by not acknowledging that the men do too”

“[Terkadang] Setiap orang perlu menangis tersedu-sedu, terutama kaum lelaki. Saat ini adalah saat yang sangat sulit. SANGAT. SULIT. Ini adalah tempat yang begitu tidak stabil [untuk lelaki] karena pada akhirnya telah diakui bahwa sebagai perempuan, kita memiliki tempat yang serius. Dan itu memang benar. Tetapi kita tidak akan pergi kemana-mana dengan tidak mengakui bahwa lelaki juga memiliki [hak yang sama]”

(Tori Amos, sebagaimana diutarakan dalam wawancara pada 27 Februari 1992 – tautan; terjemahan bebas oleh penulis)

Sebuah disclaimer sebelum saya melanjutkan lebih jauh: saya bukannya sedang mengadvokasi gerakan untuk “menyelamatkan laki-laki”; jauh dari itu. Sebagai seorang feminis, tentu saya tidak tertarik untuk menyuarakan wacana reaksioner macam itu.

Yang ingin saya katakan adalah bahwa para pejuang gerakan progresif perlu menyadari bahwa seiring dengan kemajuan dalam hal persamaan hak yang telah dinikmati oleh perempuan dan LGBT pada saat ini, terdapat juga ekses sampingan yaitu semakin termarjinalkannya kelompok laki-laki tertentu, yang menyebabkan bersemainya ideologi keras dan ganas sebagai kompensasi.

Untuk mengobati hal ini, saya menyarankan beberapa hal:

  • Masyarakat kapitalis/individualis perlu mengurangi ekspektasi sosial yang dibebankan pada anggotanya dalam artian makna sukses yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Makna sukses – terutama terhadap kaum lelaki – yang sering kali dilekatkan pada kepemilikan materi dan pengaruh dalam masyarakat pada kenyataannya sulit dicapai dan tidak realistis. Kita perlu melepaskan diri dari pengejaran makna sukses individualis yang sarat akan simbol-simbol hierarki dan kekuasaan dan memperkuat lagi makna sukses yang lebih komunal dengan menjalin kebersamaan yang bermakna dalam pintalan kohesi sosial yang erat, sehingga tidak ada orang yang merasa dirinya tersisih, terhina ataupun tak berharga. Ini dapat dilakukan dengan dihidupkannya kembali kegiatan komunal seperti gotong royong, adanya komunitas-komunitas hobi, terutama di masyarakat urban dimana tradisi kebersamaan mulai runtuh – untuk menjaga agar semua orang merasa tersatukan dalam komunitas dan bahwa hidup mereka berharga.
  • Kelompok-kelompok elit intelektual perlu mengakrabkan diri dengan komunitas dan dengan demikian menyebarkan gagasan-gagasan kritis mereka. Apabila mereka hanya bersibuk dengan klik-klik eksklusif mereka, menyombongkan betapa cerdasnya mereka, pada akhirnya ilmu mereka tidak akan lebih berharga daripada sekadar narsisisme intelektual. Lebih buruk lagi apabila mereka memberi cap bagi orang lain sebagai “bodoh” dan “tak berpendidikan”. Ini hanya akan mempertajam rasa terhina dan tersisih dari kelompok-kelompok marjinal yang tak mendapat akses terhadap pendidikan, dan memberikan bensin pada kebencian yang sebetulnya sudah menyala pada kelompok intektual yang “liberal”. Pendekatan berbasis komunitas dapat dilakukan oleh pemuka agama intelektual progresif yang memberi ceramah di rumah ibadah lokal (ketika para intelektual ini hanya memberi ceramah di seminar-seminar elit di kampus-kampus atau hotel berbintang lima apakah kita terkejut ketika rumah ibadah kita dikuasai mereka yang berpikiran keras?).

 

Para sastrawan juga dapat mendekatkan diri ke masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Wiji Thukul yang seringkali melakukan kegiatan sastranya di kampung-kampung. Dengan demikian, selain jarak antara kaum intelek dan akar rumput semakin diperkecil, yang berakibat mudahnya pertukaran ide-ide kritis; masyarakat juga merasa dihargai dan tidak terputus atau tersisihkan oleh mereka yang ‘elit’. Dengan demikian, disilusi pada sekularisme (yang seringkali menjadi asas utama pemicu terorisme) dapat dipangkas, karena semua orang merasa bahwa sekularisme dan segala macam produknya (pendidikan, kreativitas, kebebasan berpikir dst) juga bisa dinikmati semua orang, alih-alih hanya dinikmati kaum elit dan malah berakibat terhadap semakin terpinggirnya orang-orang “kecil”.

Akhirnya, sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata sastrawan Indonesia Okky Madasari, dalam suatu kesempatan dimana saya cukup beruntung untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan beliau: “feminisme bagi saya adalah keadilan bagi perempuan DAN laki-laki.” Semoga ini bisa jadi titik tolak bagi kita menciptakan masyarakat yang inklusif dalam upaya mencegah timbulnya tindakan terorisme.

 

*Sebastian Partogi adalah wartawan dan copywriter di harian The Jakarta Post.