Search
Close this search box.

[Kisah] Zanele Muholi, Lesbian Kulit Hitam dan Mata Lensa

Oleh: Wida Puspitosari

Suarakita.org – Seorang fotografer dan aktivis, Zanele Muholi, kini tengah dalam misinya untuk mengangkat kembali harkat komunitas lesbian di negaranya. Sebagaimana yang telah kita ketahui, di Afrika Selatan, kelompok lesbian dicatat sebagai golongan yang banyak mengalami kejahatan seksual tingkat tinggi – dimana insiden yang paling intens dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab tersebut ialah melalui “corrective rape”. Corrective rape merupakan pameo yang terkenal diantara para ‘bandit kelamin’ yang hendak melakukan pemerkosaan terhadap perempuan lesbian Afrika Selatan dengan niatan kamuflase ingin mengobati orientasi seksual mereka agar menjadi ‘normal’.

Harian Inggris The Telegraph, pada tanggal 21 Mei 2015 rupanya pernah melansir sebuah laporan mengenai fenomena gunung es ini. Ia menyebutkan jika corrective rape merupakan ekspresi homofobik yang tengah marak terjadi di negara post-apartheid dan post-colonial seperti Afrika Selatan. Kejahatan atas nama kebencian terhadap golongan lesbian ini menemui titik kulminasinya ketika sebanyak sepuluh perempuan lesbian diperkosa secara brutal setiap minggunya[1]. Ironinya, banyak diantara mereka yang justru memiliki sedikit keyakinan untuk melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian. Alasan logis yang mampu memperkuat argumen para korban sendiri merujuk pada undang-undang anti kekerasan seksual yang tidak banyak diperhatikan oleh pemerintah dan minimnya sumberdaya manusia untuk mengakomodir isu tersebut.

Berkaca dari fenomena krisis di atas, Muholi secara epik melancarkan misi diplomatiknya melalui cara lain, yakni fotografi. Pada Nopember tahun lalu, ia berkesempatan untuk memamerkan karya uniknya di Brooklyn Museum, Amerika Serikat. Sebagian besar tangkapan mata lensanya memuat tema-tema diskriminasi seksualitas dan keseteraan gender di Afrika Selatan termasuk diantaranya kejahatan seksual yang secara intens diterima oleh golongan lesbian.

Bagi Muholi, fotografi sendiri merupakan cerminan bagi kita semua, bahwa sejarah visual tentang hilangnya kemanusiaan diejawantahkan sebagai potret dan arsip tentang tatanan sosial yang pasif memberikan lokus ekspresi gender dan orientasi seksual di Afrika pada konteks kotemporernya. Dengan adanya wajah korban dehumanisasi ini, tambah Muholi, diharapkan mampu melahirkan perjuangan untuk kesetaraan di masa depan – dimana diskriminasi seksual tehadap golongan lesbian tidak dapat lagi ditoleransi.

 

 

[1] Sumber: http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/11608361/Corrective-rape-The-homophobic-fallout-of-post-apartheid-South-Africa.html